"Sungai Cikapundung: Dari Surga Selfie Jadi Surga Sampah?"
Bandung - Sungai Cikapundung, salah satu ikon Bandung yang selalu menawarkan keindahan alam dengan sentuhan urban, seharusnya bisa jadi peluang emas bagi warga sekitar untuk menggali pendapatan. Dengan dibangunnya Teras Cikapundung dan berbagai objek wisata di sepanjang sungai ini, siapa sih yang nggak terpikir untuk nyambi jualan cilok, kopi, atau bahkan cendera mata lucu-lucu buat wisatawan? Sayangnya, harapan ini malah berubah jadi mimpi buruk bagi lingkungan. Bukannya dapat cuan sehat, kita malah ngasih bonus "sampah" buat sungai yang malang ini.
Mengutip dari bandungbergerak.id, Sungai Cikapundung yang merupakan anak Sungai Citarum ini, mengalami dampak dari kebiasaan perilaku masyarakat dalam membuang sampah sembarang. Terdapat ribuan rumah penduduk di aliran sungai yang membuang limbah mencapai 2,5 juta liter setiap harinya. Mayoritasnya merupakan limbah rumah tangga masyarakat.
Bayangkan, Teras Cikapundung dan bantaran sungai
yang tadinya dibayangkan sebagai tempat hangout
seru dengan udara segar, malah berubah jadi spot foto Instagramable tapi kurang
ramah lingkungan. Orang-orang yang datang, bukannya menjaga kebersihan, malah
dengan santainya buang plastik bekas minuman di sungai, sambil merasa udah
cukup nyumbang karena beli es krim dari pedagang lokal. Padahal, kalau
terus-terusan begini, Cikapundung nggak cuma jadi jelek, tapi juga bisa jadi
ancaman nyata buat warga dan ekosistem sekitarnya.
Ketika Wisata Jadi "Bisnis Tanpa
Hati"
Di atas kertas, objek wisata seperti ini memang
terdengar keren—membawa keuntungan buat warga lokal, menciptakan lapangan
pekerjaan, dan menggerakkan ekonomi mikro. Tapi kenyataannya, ketika tata
kelola wisata nggak dipikirkan matang-matang, apa yang terjadi? Sampah! Sampah
di mana-mana! Alih-alih jadi ladang rezeki bagi warga, wisata di Cikapundung
malah seringkali jadi ladang masalah. Dan ini bukan sekadar soal pedagang liar
atau macet di sekitaran area wisata, tapi dampaknya yang menghantam langsung ke
sungai dan lingkungan.
Udah nggak terhitung lagi berapa banyak plastik,
botol, dan limbah lainnya yang hanyut ke Cikapundung gara-gara kurangnya
pengawasan dan kesadaran wisatawan. Padahal, sungai ini dulunya jadi tempat
warga main air dan berinteraksi dengan alam. Kini, tubing atau arung jeram di
Cikapundung bukan cuma sekadar olahraga, tapi juga jadi "petualangan
sampah". Bayangin aja, serunya menyusuri aliran sungai sambil ngeliat
sampah nyangkut di ban! Seru, ya? (Ironis banget!)
Peluang yang Keblinger
Sebenarnya, kalau ditata dengan baik, wisata
bantaran sungai seperti Cikapundung bisa jadi peluang besar buat warga sekitar.
Warga bisa berjualan, membuat ekowisata yang mendidik, atau bahkan membuka jasa
tur sungai yang eco-friendly. Tapi apa daya, kesadaran itu masih jauh dari
kenyataan. Yang ada, kita malah ngasih kesempatan buat kerusakan lingkungan
semakin parah. Warga yang nggak mendapat keuntungan besar dari wisata malah
ikut terpengaruh dengan masalah kebersihan sungai.
Dan ironisnya, semakin kotor sungai ini, semakin
sulit juga untuk menjadikan tempat ini sebagai daya tarik wisata yang
sustainable. Apa yang tersisa kalau Cikapundung jadi kumuh dan tercemar? Siapa
yang mau datang ke tempat yang dulu indah tapi sekarang dipenuhi sampah?
Wisatawan mungkin datang sekali, selfie, lalu kapok. Sementara warga lokal,
yang seharusnya diuntungkan, malah harus hidup dengan kerusakan lingkungan yang
makin lama makin susah diperbaiki.
Limbah sampah yang disebabkan oleh aktivitas
objek wisata di sekitar bantaran Sungai Cikapundung dapat memicu berbagai
masalah kesehatan bagi warga yang tinggal di sekitarnya. Sampah, terutama yang
bersifat organik, plastik, dan limbah cair, dapat mencemari air sungai, tanah,
serta udara, yang pada akhirnya berdampak negatif pada kesehatan.
Limbah organik dan kotoran yang masuk ke sungai
bisa membawa bakteri yang bisa menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan E.
coli, Vibrio cholerae, dan Salmonella yang kemudian
mengontaminasi sumber air yang digunakan warga untuk keperluan sehari-hari.
Sampah yang menumpuk dan menyumbat aliran sungai dapat menciptakan genangan air
yang menjadi tempat berkembang biak nyamuk Aedes aegypti (penyebab demam berdarah) dan Anopheles (penyebab malaria).
Jika populasi nyamuk di sekitar sungai meningkat, risiko penularan penyakit ini
pun akan semakin tinggi.
Air adalah sumber kehidupan bagi manusia dan
semua makhluk hidup di bumi. Sayangnya, sumber air seperti Sungai Cikapundung
yang memiliki potensi besar untuk menjadi aset berharga jika dikelola dengan
baik, justru berubah menjadi masalah yang merugikan banyak pihak. Padahal,
dengan tata kelola yang tepat, sungai ini bisa menjadi peluang emas yang
membawa manfaat bagi lingkungan, masyarakat, dan perekonomian secara bersamaan.
Solusi? Jangan Cuma Bisnis, Pikirkan Juga
Lingkungan!
Mungkin ini saatnya kita berhenti melihat
Cikapundung sebagai "mesin uang" semata, tapi juga sebagai bagian
dari ekosistem yang harus dijaga. Pemerintah kota perlu lebih serius memikirkan
tata kelola wisata sungai yang nggak cuma menghasilkan cuan, tapi juga menjaga
keberlanjutan lingkungan. Warga lokal juga seharusnya dilibatkan lebih aktif,
nggak cuma sebagai pedagang atau pelengkap wisata, tapi sebagai penjaga utama
kelestarian sungai.
Wisatawan juga punya tanggung jawab! Jangan cuma
datang, foto-foto, terus ninggalin jejak sampah. Kalau kamu bisa bawa minuman
botol ke Cikapundung, masa sih susah banget bawa botol kosongnya pulang? Simple
kan? Mulailah untuk sadar bahwa tempat wisata bukan cuma tempat untuk
dinikmati, tapi juga dijaga kelestariannya.
Akhirnya, kalau kita nggak mulai peduli dari
sekarang, jangan kaget kalau beberapa tahun lagi Sungai Cikapundung yang indah
ini bakal benar-benar berubah jadi "surga sampah." Dan kalau itu
terjadi, siapa yang bisa disalahkan selain kita sendiri? Jadi, yuk mulai
berubah!
Referensi
https://www.detik.com/jabar/berita/d-7357872/hikayat-sungai-cikapundung-dulu-bersahabat-kini-bersekat
Beri Komentar