Header Ads

"Sungai Cikapundung: Dari Surga Selfie Jadi Surga Sampah?"

 

Ilustrasi: Muchamad Purnama Wijaya

Bandung - Sungai Cikapundung, salah satu ikon Bandung yang selalu menawarkan keindahan alam dengan sentuhan urban, seharusnya bisa jadi peluang emas bagi warga sekitar untuk menggali pendapatan. Dengan dibangunnya Teras Cikapundung dan berbagai objek wisata di sepanjang sungai ini, siapa sih yang nggak terpikir untuk nyambi jualan cilok, kopi, atau bahkan cendera mata lucu-lucu buat wisatawan? Sayangnya, harapan ini malah berubah jadi mimpi buruk bagi lingkungan. Bukannya dapat cuan sehat, kita malah ngasih bonus "sampah" buat sungai yang malang ini.

Mengutip dari bandungbergerak.id, Sungai Cikapundung yang merupakan anak Sungai Citarum ini, mengalami dampak dari kebiasaan perilaku masyarakat dalam membuang sampah sembarang. Terdapat ribuan rumah penduduk di aliran sungai yang membuang limbah mencapai 2,5 juta liter setiap harinya. Mayoritasnya merupakan limbah rumah tangga masyarakat.

Bayangkan, Teras Cikapundung dan bantaran sungai yang tadinya dibayangkan sebagai tempat hangout seru dengan udara segar, malah berubah jadi spot foto Instagramable tapi kurang ramah lingkungan. Orang-orang yang datang, bukannya menjaga kebersihan, malah dengan santainya buang plastik bekas minuman di sungai, sambil merasa udah cukup nyumbang karena beli es krim dari pedagang lokal. Padahal, kalau terus-terusan begini, Cikapundung nggak cuma jadi jelek, tapi juga bisa jadi ancaman nyata buat warga dan ekosistem sekitarnya.


Ketika Wisata Jadi "Bisnis Tanpa Hati"

Di atas kertas, objek wisata seperti ini memang terdengar keren—membawa keuntungan buat warga lokal, menciptakan lapangan pekerjaan, dan menggerakkan ekonomi mikro. Tapi kenyataannya, ketika tata kelola wisata nggak dipikirkan matang-matang, apa yang terjadi? Sampah! Sampah di mana-mana! Alih-alih jadi ladang rezeki bagi warga, wisata di Cikapundung malah seringkali jadi ladang masalah. Dan ini bukan sekadar soal pedagang liar atau macet di sekitaran area wisata, tapi dampaknya yang menghantam langsung ke sungai dan lingkungan.

Udah nggak terhitung lagi berapa banyak plastik, botol, dan limbah lainnya yang hanyut ke Cikapundung gara-gara kurangnya pengawasan dan kesadaran wisatawan. Padahal, sungai ini dulunya jadi tempat warga main air dan berinteraksi dengan alam. Kini, tubing atau arung jeram di Cikapundung bukan cuma sekadar olahraga, tapi juga jadi "petualangan sampah". Bayangin aja, serunya menyusuri aliran sungai sambil ngeliat sampah nyangkut di ban! Seru, ya? (Ironis banget!)


Peluang yang Keblinger

Sebenarnya, kalau ditata dengan baik, wisata bantaran sungai seperti Cikapundung bisa jadi peluang besar buat warga sekitar. Warga bisa berjualan, membuat ekowisata yang mendidik, atau bahkan membuka jasa tur sungai yang eco-friendly. Tapi apa daya, kesadaran itu masih jauh dari kenyataan. Yang ada, kita malah ngasih kesempatan buat kerusakan lingkungan semakin parah. Warga yang nggak mendapat keuntungan besar dari wisata malah ikut terpengaruh dengan masalah kebersihan sungai.

Dan ironisnya, semakin kotor sungai ini, semakin sulit juga untuk menjadikan tempat ini sebagai daya tarik wisata yang sustainable. Apa yang tersisa kalau Cikapundung jadi kumuh dan tercemar? Siapa yang mau datang ke tempat yang dulu indah tapi sekarang dipenuhi sampah? Wisatawan mungkin datang sekali, selfie, lalu kapok. Sementara warga lokal, yang seharusnya diuntungkan, malah harus hidup dengan kerusakan lingkungan yang makin lama makin susah diperbaiki.

Limbah sampah yang disebabkan oleh aktivitas objek wisata di sekitar bantaran Sungai Cikapundung dapat memicu berbagai masalah kesehatan bagi warga yang tinggal di sekitarnya. Sampah, terutama yang bersifat organik, plastik, dan limbah cair, dapat mencemari air sungai, tanah, serta udara, yang pada akhirnya berdampak negatif pada kesehatan.

Limbah organik dan kotoran yang masuk ke sungai bisa membawa bakteri yang bisa menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan E. coli, Vibrio cholerae, dan Salmonella yang kemudian mengontaminasi sumber air yang digunakan warga untuk keperluan sehari-hari. Sampah yang menumpuk dan menyumbat aliran sungai dapat menciptakan genangan air yang menjadi tempat berkembang biak nyamuk Aedes aegypti (penyebab demam berdarah) dan Anopheles (penyebab malaria). Jika populasi nyamuk di sekitar sungai meningkat, risiko penularan penyakit ini pun akan semakin tinggi.

Air adalah sumber kehidupan bagi manusia dan semua makhluk hidup di bumi. Sayangnya, sumber air seperti Sungai Cikapundung yang memiliki potensi besar untuk menjadi aset berharga jika dikelola dengan baik, justru berubah menjadi masalah yang merugikan banyak pihak. Padahal, dengan tata kelola yang tepat, sungai ini bisa menjadi peluang emas yang membawa manfaat bagi lingkungan, masyarakat, dan perekonomian secara bersamaan.


Solusi? Jangan Cuma Bisnis, Pikirkan Juga Lingkungan!

Mungkin ini saatnya kita berhenti melihat Cikapundung sebagai "mesin uang" semata, tapi juga sebagai bagian dari ekosistem yang harus dijaga. Pemerintah kota perlu lebih serius memikirkan tata kelola wisata sungai yang nggak cuma menghasilkan cuan, tapi juga menjaga keberlanjutan lingkungan. Warga lokal juga seharusnya dilibatkan lebih aktif, nggak cuma sebagai pedagang atau pelengkap wisata, tapi sebagai penjaga utama kelestarian sungai.

Wisatawan juga punya tanggung jawab! Jangan cuma datang, foto-foto, terus ninggalin jejak sampah. Kalau kamu bisa bawa minuman botol ke Cikapundung, masa sih susah banget bawa botol kosongnya pulang? Simple kan? Mulailah untuk sadar bahwa tempat wisata bukan cuma tempat untuk dinikmati, tapi juga dijaga kelestariannya.

Akhirnya, kalau kita nggak mulai peduli dari sekarang, jangan kaget kalau beberapa tahun lagi Sungai Cikapundung yang indah ini bakal benar-benar berubah jadi "surga sampah." Dan kalau itu terjadi, siapa yang bisa disalahkan selain kita sendiri? Jadi, yuk mulai berubah!


Referensi

https://www.liputan6.com/lifestyle/read/5623747/baru-3-hari-dibersihkan-pandawara-sungai-citarum-kembali-dipenuhi-sampah?page=4

https://www.detik.com/jabar/berita/d-7357872/hikayat-sungai-cikapundung-dulu-bersahabat-kini-bersekat


Penulis: Desheila Alamanda, Mahasiswa Administrasi Publik FISIP UNPAS 2022.
Penyunting: Muchamad Purnama Wijaya


Tidak ada komentar