Header Ads

Bandung 214 Tahun: Dari Jalan Raya Pos ke Jalan Raya Macet - Pembangunan atau Perbaikan yang Tertunda?

Desain: Alif Latif Abdillah

Sejak berdiri pada tahun 1808/1809, Kota Bandung telah mengalami perjalanan panjang yang penuh dinamika. Awalnya hanya berperan sebagai ibukota Kabupaten Bandung, kini Bandung berkembang menjadi kota metropolitan yang vital di Indonesia. Perubahan-perubahan tersebut, bagaimanapun, tidak lepas dari tantangan besar, terutama terkait infrastruktur, pengelolaan lingkungan, dan kebijakan pemerintahan. Untuk itu kita perlu menelisik lebih dalam berbagai kebijakan pembangunan di Bandung selama 214 tahun terakhir dan mengevaluasi dampaknya pada masyarakat serta lingkungan.

Bandung dibentuk oleh Bupati R.A. Wiranatakusumah II, yang memutuskan lokasi strategis kota ini di dataran tinggi Jawa Barat. Pembangunan awal Bandung didorong oleh proyek-proyek besar kolonial seperti pembuatan Jalan Raya Pos yang diperintahkan oleh Daendels, yang kemudian menjadi tulang punggung bagi transportasi di Jawa Barat. Pembangunan jalan ini melibatkan masyarakat pribumi, yang memberikan fondasi penting bagi infrastruktur modern Bandung. Namun, proyek ini, meskipun penting, mencerminkan eksploitasi tenaga kerja lokal yang menjadi karakteristik umum pembangunan pada masa kolonial.

Seiring berjalannya waktu, Kota Bandung menghadapi tantangan yang lebih rumit terkait pengelolaan infrastrukturnya. Pembangunan infrastruktur yang masif dan cepat, seperti jalan tol dan flyover, disambut dengan harapan mengurangi kemacetan yang semakin mengkhawatirkan. Namun, proyek tol dalam kota, yang diharapkan menjadi solusi jangka panjang, terus tertunda selama 17 tahun karena kendala anggaran, ketidakpastian kebijakan, serta ketidaksepakatan dalam pembagian keuntungan dari proyek tersebut. Penundaan ini menimbulkan kritik bahwa pembangunan tol sebenarnya kurang relevan dalam konteks krisis iklim yang makin mendesak, mengingat pembangunan tol dapat mendorong peningkatan penggunaan kendaraan pribadi dan memperparah polusi udara.

Kemacetan di Bandung telah berkembang menjadi masalah struktural yang sulit diatasi. Meskipun pembangunan infrastruktur terus dilakukan, lonjakan jumlah kendaraan pribadi dan kurangnya transportasi publik yang memadai menghambat upaya penyelesaian. Bahkan, di beberapa daerah, terutama di pusat perdagangan, drainase kota mengalami kerusakan yang signifikan, semakin memperparah kemacetan saat musim hujan karena banjir yang kerap terjadi.

Dalam era otonomi daerah, di mana Kota Bandung memiliki lebih banyak keleluasaan dalam menentukan kebijakan pembangunan, hasil yang diharapkan tidak sepenuhnya tercapai. Banyak kebijakan pembangunan di kota ini yang gagal mencapai hasil optimal, terutama dalam aspek pengelolaan anggaran dan infrastruktur. Misalnya, dari 2.000 km sistem drainase yang dimiliki kota, sekitar 50% mengalami kerusakan parah, mengakibatkan banjir yang memperburuk kondisi jalan dan merusak fasilitas publik di pusat-pusat komersial dan wilayah pemekaran.

Kebijakan pengelolaan lalu lintas juga tidak menunjukkan peningkatan yang berarti. Kemacetan yang kian hari semakin parah diperburuk oleh keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) dan pasar-pasar tradisional yang sering mengambil badan jalan, sehingga mempersempit ruang lalu lintas. Pemerintah kota tampaknya belum mampu menyeimbangkan kebutuhan antara menjaga kelangsungan ekonomi informal dengan menjaga kelancaran lalu lintas dan tata ruang kota.

Salah satu kritik terbesar terhadap kebijakan pemerintah Kota Bandung adalah ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan tuntutan pembangunan yang berkelanjutan. Kebijakan pembangunan tol dalam kota yang kontroversial hanya dianggap sebagai solusi jangka pendek, tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap lingkungan. Kota Bandung juga dianggap kurang tanggap dalam menghadapi isu-isu pemanasan global dan krisis iklim, yang semakin mendesak.

Padahal, dengan meningkatnya frekuensi banjir dan suhu udara yang terus naik, penting bagi kebijakan pembangunan untuk mengintegrasikan solusi berkelanjutan yang kreatif dan adaptif. Sayangnya, upaya pemerintah untuk menyediakan transportasi publik yang layak belum optimal. Bandung masih bergantung pada kendaraan pribadi, yang tidak hanya memperburuk kemacetan tetapi juga menambah tingkat polusi kota.

Mengutip dari detik.com, Pj Wali Kota Bandung A Koswara mengatakan, “Diperlukan kesiapan yang matang untuk menjadikan Bandung sebagai kota metropolitan. "Bandung untuk menjadi kota metropolitan yang layak huni, berkelanjutan itu memerlukan kesiapan yang cukup banyak dan program yang berkelanjutan tidak terputus," ucap Koswara usai upacara peringatan HJKB di Balai Kota Bandung. Sementara Ketua DPRD Kota Bandung Asep Mulyadi menambahkan, pihaknya akan beriringan dengan Pemkot Bandung sesuai tugas dan fungsi legislatif untuk mengawasi jalannya program-program pemerintah.

"Kita melakukan pengawasan atas apa yang jadi rencana pemerintah dan sudah disampaikan Pj Wali Kota bahwa Bandung harus siap menyongsong kota metropolitan, artinya kami perlu melakukan pengawasan agar program itu sesuai dengan arah kebijakan," ungkapnya.

Namun, di sisi lan Asep menyoroti persoalan kemiskinan dan daya beli masyarakat.yang harus segera dituntaskan di Kota Bandung karena menurutnya dua hal itu berdampak luas terhadap persoalan lain di Kota Bandung.

Selama 214 tahun terakhir, Bandung mengalami perkembangan pesat dalam banyak aspek, namun pembangunan kota ini juga dibayangi oleh berbagai tantangan besar. Keterlambatan proyek-proyek infrastruktur seperti tol dalam kota dan pengelolaan lalu lintas yang kurang efektif memperburuk kondisi sosial-ekonomi dan lingkungan. Kebijakan yang tidak berkelanjutan serta pengabaian terhadap pengelolaan lingkungan semakin memperparah permasalahan ini. Untuk itu, diperlukan kebijakan yang lebih inovatif, berkelanjutan, dan peka terhadap kondisi lingkungan agar pembangunan Kota Bandung dapat memberikan manfaat yang lebih besar dan jangka panjang bagi masyarakat.


Penulis: Ridho Dawam Mulkillah

Editor: Sheryl Risnanda


REFERENSI

Rahmasary, A. N., Koop, H. A. S., & van Leeuwen, C. J. (2020). Assessing Bandung's governance challenges of water, waste, and climate change: Lessons from urban Indonesia. Integrated Environmental Assessment and Management, 17(3), 434-444. https://doi.org/10.1002/ieam.4334

Tarigan, A. S. K., Sagala, S., Samsura, D. A. A., Fiisabiilillah, D. F., Simarmata, H. A., & Nababan, M. (2016). Bandung City, Indonesia. Cities, 50, 100-110. https://doi.org/10.1016/j.cities.2015.09.005

Bao, P. N., Abfertiawan, M. S., Kumar, P., & Hakim, M. F. (2020). Challenges and opportunities for septage management in the urban areas of Indonesia – Case study in Bandung City. Journal of Engineering and Technological Sciences, 52(4), 481-500. https://doi.org/10.5614/j.eng.technol.sci.2020.52.4.3

Widiastuti, I., & Suryawati, N. (2021). Implementation of smart city development policy in Bandung City, Indonesia. IJEBD (International Journal of Entrepreneurship and Business Development). https://doi.org/10.29138/ijebd.v4i1.1271

Waskitawati, D., Widianingsih, I., & Gunawan, B. (2019). The effectiveness of infrastructure development for wastewater service in decentralized Indonesia: Case of Bandung Municipality. Tataloka, 21(2), 216-224. https://doi.org/10.14710/TATALOKA.21.2.216-224

BAPPEDA Kota Bandung (2011). Identifikasi Potensi dan Perencanaan Lahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Bandung Tahun 2011.

BAPPEDA Kota Bandung (2011). Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bandung 2011-2031.

Kurnia Jaka Saputra (2013). Analisis Potensi Daya Tarik Wisata Kawasan Braga Sebagai Wisata Heritage. repository.upi.edu

Suci Ramadhani Putri (2014). Sistem Rekomendasi Potensi Lahan RTH Kota Bandung Berbasis WebGIS Menggunakan Metode Simple Additive Weighting (SAW).

BPS Kota Bandung (2020). Kota Bandung Dalam Angka 2020.

Koran Gala (2024). Sejarah Singkat Berdirinya Kota Bandung yang Pekan Ini akan Berulang Tahun ke-214.

WEBSITE BERITA

https://www.detik.com/jabar/berita/d-7557109/menginjak-usia-214-tahun-bandung-menyongsong-jadi-kota-metropolitan

Tidak ada komentar