Ketika Pers Mahasiswa Ditekan, Kampus Bisa Apa?
Datang Juga dari Dalam Kampus
Sherani Soraya Putri merupakan seorang anggota muda ketika itu. Sherani menjadi anggota BPPM Pasoendan yang mengalami tindakan represif dari pihak kampus, terkait penggalian informasi tentang kasus penipuan pembayaran DPP kuliah pada tahun 2019 lalu. Kala itu, pihak yang disangkakan sebagai pelaku mengatasnamakan bagian dari pihak kampus sebagai motif untuk menipu korban, yang merupakan salah satu mahasiswa di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) Unpas.
Berangkat dari hal itu, Sherani mengulik lebih jauh persoalan penipuan tersebut, dengan menjadwalkan wawancara bersama dua narasumber selaku pihak yang bertanggung jawab, atas kejadian penipuan pembayaran DPP yang berada di ruang lingkup kampus. Mereka diantaranya pihak administrasi keuangan dan satuan keamanan (satpam) kampus.
Lebih lanjut, Sherani mengabarkan jadwal wawancara kepada pihak Satpam perempuan yang pada saat kejadian penipuan berada di area tersebut. Namun, sebelum wawancara berlangsung, Sherani didatangi langsung oleh satpam yang bersangkutan ketika hendak beribadah di masjid kampus. Dia diminta datang ke kantor satpam di Fisip Unpas. Dalam pertemuan itu, ada desakan halus kepada sang reporter untuk tidak melanjutkan penelusuran terkait kasus penipuan yang sedang terjadi di kampus.
“Waktu itu sebenarnya tidak memberikan ultimatum banget. Melalui obrolan santai, ia menyarankan agar liputan beritanya tidak lanjut diterbitkan” tutur Sherani ketika diwawancarai via telepon pada 23 Juli 2023 siang.
Pada saat itu, Ketua Satpam mencoba kembali menarik simpati reporter agar tidak menindaklanjuti proses liputan, dengan menyatakan bahwa bila persoalan ini diteruskan, maka akan mengancam pekerjaan mereka. “Mending jangan diterusin aja, Mbak,” kata Sherani menirukan ucapan sang satpam ketika diwawancarai via telepon pada 29 juli 2023 siang.
Pihak kampus turut menuturkan pernyataan senada, agar kasus penipuan ini juga tidak dilanjutkan. Dengan sikap memberikan tanggapan negatif, dan bahkan tuduhan kepada korban, serta reporter BPPM Pasoendan. Dalihnya, korban sendiri yang teledor dan bersalah dalam proses pembayaran uang kuliah. Si petugas administrasi bahkan mengatakan agar proses reportase tidak usah diteruskan.
Menurut Sherani, tekanan yang dialami sebagai reporter dibungkus dalam cara-cara halus dan bahasa diplomatis. Namun tujuannya tetap sama, yakni menggagalkan Persma melanjutkan dan menuntaskan liputan mereka tentang isu kampus.
Tindak represif kedua dialami Sherani dalam proses pencarian data keuangan kampus yang meniadakan peringanan untuk mahasiswa pada tahun 2021. Ketika itu, ia mewawancarai salah satu birokrat kampus, namun intimidasi dan cercaan yang didapatkan.
“Kalau memang pihak kampus itu ingin menyatakan kebenaran, seharusnya nggak perlu takut karena kan kita ingin membuat satu berita yang berimbang,” ucap Sherani.
Namun, tindakan represif tidak berhenti sampai di situ. Tuduhan kembali dilontarkan pada sang reporter dan LPM-nya.
“Dia malah mencerca si persma ini dia bilang kayak ‘Ahh udahlah tugas kalian tuh cuman ngeberitain jelek-jeleknya tentang kampus’. Seakan-akan dia tuh berpikir bahwa persma itu ditunggangi gitu, dikasih sesuatu hal-lah, dengan menerbitkan isu isu yang seperti itu,” ucapnya.
Mengabaikan intimidasi via panggilan telepon itu, yang menyangkut pertanyaan tentang identitas kemahasiswaan, Sherani melanjutkan kerja memvalidasi dan mengonfirmasi keresahan yang dialami mahasiswa terkait pembayaran uang kuliah.
Reportase yang dikerjakan oleh Sherani tidak tuntas karena keterbatasan akses menggali data keuangan. Berita urung terbit. Namun Sherani terpantik untuk membuat sebuah opini yang kemudian dipublikasikan di akun Instagram pada 21 Juli 2021 dengan judul “Menyoal Relaksasi Uang Kuliah”. Opini itu yang memicu pemanggilan oleh Dekan via chat WhatsApp dengan memberikan klarifikasi, bahwasannya urusan bantuan biaya DPP untuk mahasiswa merupakan kebijakan di bawah rektorat.
Menghadapi tekanan-tekanan dari pihak kampus, Sherani mengaku tidak terlalu takut. Yang ada justru memunculkan perasaan kesal dan kaget karena dibentak-bentak oleh pejabat kampus. Meski mulanya cukup dibuat khawatir jika nanti permasalahan pemberitaan ini akan berimbas ke perkuliahan yang sedang ditempuh, Sherani tak larut. Dia memilih untuk tetap yakin pada apa yang dikerjakan karena memang seperti itulah tugas pers kampus. Lagipula, dia percaya masih ada harapan di kampus.
“Akan gegabah juga kalau misalnya pihak kampus itu nge-DO (Drop Out) karena nerbitin berita kaya gini.” ucapnya.
Janji Melindungi
Wadek III Kemahasiswaan FISIP Universitas Pasundan (Unpas) Bandung Sumardhani menyebut BPPM Pasoendan dapat menjadi wadah yang tepat bagi para mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi untuk mempraktikkan apa yang mereka pelajari di ruang kelas. “Tempat praktik-lah,” ujar Dhani, sapaan akrab sang Wadek III, ketika ditemui pada 31 juli 2023 siang.
Ditegaskan Dhani, pihak kampus akan memberikan dukungan bagi persma untuk memberitakan isu sensitif terkait birokrat kampus, dengan syarat ada pengecekan kembali terhadap berita yang akan terbit. Alasannya, pembaca berita tidak hanya mahasiswa namun juga masyarakat luas.
“Sebelum itu naik menjadi sebuah liputan yang bisa didengar dan dibaca oleh orang lain, kan harus check and re-check dulu. Apalagi kalau menyangkut pemberitaan, dibaca bukan oleh warga FISIP, mungkin semua manusia,” tuturnya.
Menanggapi kasus-kasus tekanan atau tindak represif dari luar kampus, Dhani meminta awak persma untuk mengikuti mekanisme pelaporan langsung ke Wadek III Kemahasiswaan. Ia menyebut langkah ini sebagai bagian dari perlindungan kebebasan akademik.
“Kalau berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi dia sebagai anggota BPPM, ada liputan terus ada tekanan, ada intimidasi, nah itu laporkan,” ucapnya.
Tentang berita-berita kritis yang diterbitkan oleh persma, Wadek III tidak mempermasalahkannya. Namun, ia juga mengajak para mahasiswa untuk menyampaikannya dengan cara berbeda, seperti lewat acara yang diselenggarakan oleh lembaga kemahasiswaan.
“Kan ada ruang-ruang yang namanya rapat dengar pendapat, kalau bahasa DPM mah. Ada Satu Hari bersama Pak Bani. Ada Forum Silaturahmi. Silahkan itu, mekanisme itu lakukan gitu,” ujarnya
Dari Mitigasi Risiko ke Langkah Advokasi
Forum Komunikasi Pers Mahasiswa Bandung (FKPMB) mencatat total 38 Lembaga Pers Mahasiswa di kawasan Bandung Raya. Tak hanya sEntra, tindak represi nyatanya juga alami oleh banyak LPM lain di berbagai kampus. Pelakunya beragam, mulai dari sesama mahasiswa, organisasi mahasiswa, pejabat kampus, hingga pihak eksternal kampus serta aparat.
Murujuk hasil survei yang dihimpun secara kolaboratif oleh Bandungbergerak.id dan enam LPM di Bandung Raya pada Mei-Juni 2023 lalu, tercatat total 34 kasus kekerasan yang menimpa pers mahasiswa di Bandung Raya dalam rentang waktu 10 terakhir. Dari 34 kasus tersebut, teridentifikasi sejumlah 61 tindak represi dalam berbagai macam bentuk.
Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suaka UIN Sunan Gunung Djati menjadi pers mahasiswa dengan kasus tertinggi, yaitu lima kasus. LPM Akasara Telkom University dan LPM Jumpa Universitas Pasundan (Unpas) menyusul dengan masing-masing empat kasus tindak represif.
Dilihat dari jenisnya, tindak kekerasan verbal menjadi yang paling banyak terjadi, sebanyak 15 kasus, disusul dengan ancaman pencabutan berita sebanyak 14 kasus. Di peringkat ketiga, terdapat kasus intimidasi dan teror sebanyak 10 kasus.
Dilihat dari pelaku tindak represif, pihak-pihak di lingkungan kampus, mulai dari pejabat dan staf kampus hingga organisasi mahasiswa lain, ada di urutan pertama. Pejabat kampus menjadi pelaku tindak kekerasan terbanyak dengan sembilan kasus, disusul mahasiswa dan organisasi mahasiswa dengan masing-masing tujuh kasus. Sementara itu, staf kampus tercatat menjadi pelaku enam kasus tindak represif terhadap persma.
Ahmad Fauzan Sazli, Koordinator Divisi Advokasi dan Ketenagakerjaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung mendorong persma untuk berupaya seoptimal mungkin memitigasi terjadinya tindak kekerasan. Salah satu langkah paling efektif adalah terus belajar memahami dan mempraktikkan kode etik jurnalistik.
“Jadi temen-temen dapat menghindar dari jerat hukum, ancaman kekerasan, dan sebagainya karena temen-temen sudah melakukan (liputan) sesuai dengan kode etik jurnalistik yang benar. Itu sih yang paling penting dalam mitigasi risiko,” ujar Fauzan saat diwawancarai Jumat, 21 Juli 2023 di Sekretariat AJI Bandung.
Tentang payung hukum kerja kejurnalistikan, Fauzan mengajak persma untuk tidak ragu. Ada di bawah institusi perguruan tinggi, kerja persma dilindungi sebagi bagian dari kebebasan akdemik. Selain itu, ada pasal 28 Undang-undang Dasar yang menjadi payung hukum utama.
Direktur LBH Bandung Lasma Natalia menegaskan pentingnya jejaring untuk mendukung kerja persma. Ditegaskan Lasma, LBH Bandung berkomitmen untuk memberikan pendampingan advokasi kepada setiap persma yang mengalami tindak kekerasan terkait kerja jurnalistik yang mereka lakukan. Langkah awal yang sangat penting adalah secara tekun melakukan pencatatan kasus.
“Kedua, harus punya SOP, minimal mirip dengan media yang biasa,” tutur Lasma. “Gak harus perfect, tapi minimal (SOP) pemberitaan dan proses pemberitaan harus punya.”
Penulis: Arya Rizaldi
Editor: Tri Joko Her Riadi/BandungBergerak.id
*Berita ini merupakan hasil liputan kolaboratif bersama BandungBergerak.id, LPM Aksara (Telkom University), LPM Jumpa (Universitas Pasundan), LPM DJatinangor (Universitas Padjadjaran), BPPM Pasoendan (Universitas Pasundan), LPM Suaka (UIN Sunan Gunung Djati) dan PKM sEntra (Universitas Widyatama dalam rangkaian program #PersmaMasihRentan. Program peliputan ini didukung oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN)*
Beri Komentar