JUMPA PERS ALIANSI SIMPUL PUAN MENGULAS TENTANG PERJUANGAN DAN HAK-HAK PEREMPUAN
Gambar: Aliansi Simpul Puan sedang melangsungkan konferensi bertemakan 'Perjuangkan Perempuan dan Queer Melawan Kapitalisme dan Patriarki' (4/3/2023) Sumber: Arya Rizaldi |
BPPM Pasoendan – Aliansi Simpulpuan menyuarakan hak-hak perempuan dalam mendapatakan ruang aman dan peraturan yang sesuai dan adil, guna mengutarakan kebebasan berekspresi agar dapat diterima oleh negara. Hal tersebut disampaikan Simpul Puan dalam konferensi pers mereka pada hari Sabtu (4/3/23) lalu, yang diselengarakan di Bale RW 02, Dago Elos, Kota Bandung.
Jumpa pers Simpul Puan itu membahas
topik perjuangan gerakan perempuan melalui peringatan Internasional Women Day
(IWD). Gerakan tersebut melibatkan banyak elemen masyarakat di dalamnya. Beberapa
di antarnya seperti, Greet UPI, Federasi Serikat Buruh Wanita, dan Srikandi
Pasundan.
Aminah, Ketua Federasi Serikat
Buruh Wanita, menceritakan kondisi yang di alami oleh para kaum buruh wanita di
bawah pemerintahan patriarki seperti sekarang ini. Aminah menerangkan, terdapat
dampak yang besar yang dirasakan oleh para buruh wanita, seperti Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) di saat pandemic Covid-19.
“Bahwa dari Covid-19 yang
seharusnya sudah selesai tapi menurut kami buruh-buruh itu malah dampaknya
lebih besar, karena apa kami, buruh terutama perempuan, adanya Covid-19 ini
benar-benar sangat merugikan karena perusahaan justru memanfaatkan Covid ini
(untuk) mem-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) buruh-buruh perempuan, karena
buruh-buruh perempuan banyak tuntutan seperti menjadi penghalang bagi
perusahaan” ujar Aminah.
Menurut Aminah, isi dari konferensi
pers Simpul Puan tersebut menjelaskan kondisi kaum buruh perempuan yang merasa
terugikan akibat PHK oleh perusahaan. Mereka menggunakan alasan pandemi Covid-19,
sehingga buruh wanita yang di PHK tidak mendapatkan pesangon.
Aminah berharap pada Internasional
Women Day (IWD) kali ini, suara-suara serta tuntutan-tuntutan yang disampaikan
dapat didengar dan diterima oleh pemerintah. Aminah melanjutkan, keluhan-keluhan
ini tidak hanya terjadi kepada buruh pabrik saja, melainkan terjadi juga di
kalangan petani yang mendapatkan dampak lebih parah.
Aminah melanjutkan, ia akan
menuntut beberapa undang-undang yang kurang baik yang berdampak buruk bagi kaum
buruh dalam momen peringatan IWD pada 8 Maret 2023 mendatang.
“Momen IWD itu besok saya akan
menuntut salah satunya adalah bagaimana dibatalakanya undang-undang, bukan
dibatalkan, dihapus undang-undang ketenagakerjaan, omnibuslaw ya, dalam artian
juga meminta disahkanya (Rancangan) Undang-Undang PPRT (Perlindungan Pekerja Rumah Tangga) yang
sekarang lagi viral” ucapnya.
Sedikit berbeda dengan Aminah, salah
satu anggota Srikandi Pasundan, Farah, menyampaikan pesan mengenai kondisi
ketidakadilan yang di alami oleh transpuan yang ada di Kota Bandung. Farah merasa
sampai saat ini masih banyak kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh
pemerintah, terlebih lagi sulitnya transpuan untuk memiliki akses guna mendapatkan
pekerjaan.
“Karena selama ini masih banyak
kekerasan-kekerasan yang menimpa dari pemerintah seperti persekusi, atau
kekerasan premanisme kaya gitu, dan banyak juga ya transpuan-transpuan di Kota
Bandung itu sulitnya untuk akses untuk mendapatkan pekerjaan,” ujar Farah.
Persoalan lainnya adalah indentitas
transpuan yang di salah gunakan oleh beberapa oknum untuk meminjam uang pada
pinjaman online. Selain itu, kesepian yang dialami oleh transpuan membuat
beberapa dari mereka memilih untuk mengakhiri hidup.
Lembaga lain yang juga bergerak
mengenai isu-isu gender adalah Greet UPI. Salah satu anggotanya Nida, yang juga turut hadir dalam jumpa pers Aliansi Simpul Puan tersebut menyampaikan
perihal masalah-masalah mengenai tidak jelasnya penerapan aturan Pencegehan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di ruang lingkup
kampus.
“Misal seperti mekasnisme pemebentukanya
belum ada transparansi lebih lanjut, belum ada mentoring evaluasi bagaimana
satgas PPKS ini dibentuk, tentunya hal tersebut Kemendikbudristek (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi) perlu
menindak lanjuti perguruan tinggi yang belum mengimplementasikan Permendikbud
nomor 30 ini.” ucap Nida.
Nida juga menyampaikan bahwasanya perguruan
tinggi harus dapat menjadi ruang aman dalam hal melawan kekerasan seksual.
Terlebih kekerasan yang berbasis gender tidak boleh terjadi di lingkungan
kampus, dan kampus harus fokus dalam menyelesaikan kekerasan seksual dan
diskriminasi gender dari sudut pandang korban.
“Jadi kampus harus menjadi ruang
aman dari kekerasan gender dan seksual, tidak ada diskriminasi kebebasan
berekspresi dan indentitas gender, tidak ada lagi kampus yang merepresi
kegiatan perjuangan pergerakan anti kekerasan seksual, kampus pun harus fokus,
fokus dalam menyelesaikan kekerasan seksual dalam menggunakan perspektif korban,”
pungkas Nida.
Terakhir sebagai informasi, Komisi Nasioanl Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia dalam satu dekade terakhir sebanyak 40 ribu lebih kasus. Lebih lanjut, selama periode bulan Januari hingga November 2022 kasus kekerasan seksual di Indonesia mencapai 3.014 kasus.
Penulis: Arya Rizaldi
Editor: Benta
Beri Komentar