Header Ads

SELAYANG PANDANG MENGENAL TIRTO ADHI SOERJO

 

Gambar: Tirto Adhi Soerjo
Sumber: Wikipedia

Saat ini, sudah banyak media pers di Indonesia yang menerbitkan surat kabarnya sendiri. Tentunya hal ini berbeda dengan masa dimana, Indonesia masih menyandang nama Hindia Belanda. Saat itu tidak ada surat kabar yang dimilki oleh kaum bumiputra. Karena saat itu adalah era dimana Indonesia masih dijajah bangsa kolonial. Semua surat kabar adalah milik bangsa kolonial. Hingga akhirnya muncul seorang pria pribumi berdarah bangsawan, yang berani mendirikan surat kabarnya sendiri, pria itu bernama Tirto Adhi Soerjo.

Tirto Adhi Soerjo adalah pria yang menyandang nama Raden Mas. Gelar Raden Mas merupakan gelar atau nama yang hanya dapat dimilki oleh seseorang pria Jawa yang memiliki darah keningratan. Tirto Adhi Soerjo dilahirkan ke dunia pada tahun 1880, di Blora, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Raden Ngbehi Muammad Chan Tirtodipuro, yang menjabat sebagai Bupati Bojonegoro di masa pemerintahan kolonial Belanda.

Versi lain dari tahun kelahiran dari Tirto Adhi Soerjo tertulis dalam buku yang perjudul “Perdjoangan Indonesia dalam Sejarah” yang terbit pada tahun 1962.  Dalam buku tersebut terdapat puisi dari penyair yang bernama Priatman, puisi yang berjudul “Di Indonesia 1875-1917” mengatakan jika Tirto lahir pada tahun 1975. Namun sastrawan legendaris Indonesia, Pramoedya Ananta Toer menyangkal hal tersebut di dalam bukunya yang bertajuk “Sang Pemula”.

Pramoedya Ananta Toer lebih percaya jika Tirto Adhi Soerjo lahir pada tahun 1880, seperti apa yang tercatat pada dokumen berjudul “De Opkomst van de Nationalistische Beweging in Nedelandsch-Indie” tahun 1954. Dokumen itu menyebutkan jika Tirto Adhi Soerjo lahir tahun 1880. Meskipun batu nisan di makam Tirto Adhi Soerjo yang terletak di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Blender, Kota Bogor, tersitir bahwa Tirto lahir tahun 1975.

Tirto Adhi Soerjo adalah seorang pelajar lulusan HBS (Hoogere Burgerschool). Sekolah HBS adalah sekolah menengah umum, yang didirikan pada tahun 1863 oleh pemerintah kolonial Belanda. HBS merupakan sekolah yang tidak dapat diinjak oleh kaum pribumi biasa. Karena sekolah ini hanya diperuntukan kepada bangsa Eropa, Tionghoa dan elite pribumi berdarah ningrat seperti Tirto. Bahasa yang digunakan dalam proses belajar mengajarnya pun menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Melayu.

Lulus dari HBS, Tirto Adhi Soerjo melanjutkan pendidikan ke sekolah yang bernama STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artshen), yang terletak di kota Batavia – kini dikenal dengan nama Jakarta. Ketika sekolah di STOVIA, Tirto menekuni pendidikan kedokteran. Pendidikan kedokteran Tirto di STOVIA tidak terselesaikan, lantaran Tirto sudah melanggar aturan, dengan membuat resep ilegal yang diberikan kepada teman tionghoanya.

Selama bersekolah di STOVIA, Tirto sudah sering mengirimkan tulisan-tulisannya ke surat kabar yang ada pada saat itu. Tirto kerap mengirim tulisannya ke surat kabar seperti, “Bintang Betawi,” “Chabar Hindia Olanda,” “Pewarta Priangan,” dan “Pembrita Betawi.” Isi tulisan yang dikirimkannya cenderung membahas mengenai kondisi sosial-politik pada masa itu. Tirto mulai mengenal dan belajar dunia jurnalistik setelah dirinya bertemu dengan Karel Wijbrands, pemimpin redaksi dari surat kabar berbahasa Belanda, “Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie.”

Dari Wijbrands lah Tirto belajar bagaimana dunia jurnalistik, hingga bagaimana cara membuat surat kabar sendiri. Hal-hal yang diajarkan Wijbrands kepada Tirto seperti bagaimana memahami pemerintahan yang dimainkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Wijbrans meminta Tirto untuk mempelajari dan memahami hukum-hukum yang berlaku pada saat itu. Wijbrands juga mengajarkan Tirto bagaimana cara menghantam kekuasan kolonial melalui tulisan. Cerita tentang Tirto dan Wijbrans ini dikisahkan oleh Pramoedya Ananta Toer, dalam bukunya bertajuk “Sang Pemula.”

Setelah mendapat bekal dari Karel Wijbrands, Tirto memberanikan diri untuk membuat surat kabarnya sendiri. Pada tanggal 7 Januari 1903, Tirto mulai mendirikan surat kabar pertamanya, surat kabar itu bernama “Soenda Berita.” Surat kabar yang terletak di Cianjur, Jawa Barat itu menjadi surat kabar pertama yang dimiliki oleh kaum pribumi. Tidak hanya itu, Soenda Berita menjadi surat kabar yang dibiayai dan dikelola oleh kaum pribumi itu sendiri. Itu artinya tidak ada campur tangan dari bangsa kolonial.

Soenda Berita lah yang menjadi cikal bakal pers nasional. Soenda Berita memiliki kredo atau jargon, ‘Kepoenyaan kami Pribumi.’ Pada surat kabar pertamanya, Tirto menaruh harapan bahwa ia ingin menggunakan surat kabarnya sebagai kendaraan untuk mencapai cita-cita perjuangan menuju kemerdekaan dan untuk kemajuan bangsanya. Sayangnya Soenda Berita tidak berumur panjang. Tiga tahun setelah pertama kali terbit, pada tahun 1906 Soenda Berita harus gulung tikar lantaran tidak tertolong secara finansial.

Kendatipun begitu, Soenda Berita merupakan bukti dari tonggak sejarah pers Indonesia. Semangat Tirto Adhi Soerjo terhadap dunia jurnalistik tidak berhenti pada Soenda Berita. Pada awal tahun 1907, Tirto kembali membangun surat kabarnya sendiri. Kali ini surat kabarnya bernama “Medan Prijaji.” Kantor dari surat kabar ini terletak di Jalan Naripan, Kota Bandung. Saat itu, “Medan Prijaji” menjadi surat kabar selanjutnya – setelah “Soenda Berita” – yang menggunakan bahasa melayu.

Harga yang harus dibayarkan oleh Tirto untuk mendirikan Medan Prijaji adalah 75 ribu gulden. Uang sebanyak itu didapatkannya melalui sumbangan handai tolannya. Salah satunya adalah Hadji Mohamad Arsad, seorang Ulama asal Martapura, Kalimantan Selatan. Melalui Medan Prijaji Tirto Adhi Soerjo membela kaum-kaum bumiputra yang ditindas oleh pemerintahan kolonial Belanda. Medan Prijaji juga sering memuat tulisan-tulisan yang mengritik kekuasaan kolonial masa itu.

Pada masa itu Medan Prijaji sangat berpengaruh dalam menyuarakan penderitaan pribumi. Membuat pemerintah kolonial Belanda ketar-ketir akan pengaruh dari Medan Prijaji. Karena ketajaman tulisan-tulisan Tirto dalam Medan Prijaji, bapak pendidikan Indonesia, Ki Hadjar Dewantara menyebut Tirto sebagai jurnalis yang berpena tajam. Bahkan Tirto pernah mengusik Alexander Willem Frederik Idenburg, yang merupakan Gubernur-Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1909.

Dalam salah satu tulisannya Tirto mengkritik Gubernur-Jenderal Idenburg karena telah menghamburkan uang rakyat, dengan menyewa 60 taksi untuk bertakziah atas kematian seorang pembesar. Tulisan tajam Tirto lainya adalah tulisan yang mengabarkan lurah yang melakukan korupsi. Lurah itu bernama Nada, yang melakukan korupsi terhadap dana pembangunan desa, dana kambing kurban, hingga dana warisan sekalipun dikorupsinya. Namun saat itu lurah berdosa tersebut lepas dari jeratan hukum, dan lari ke kota Makkah untuk mencuci dosanya.

“Untung benar kang Nada si kejam itu, bisa cuci dosanya ke Makkah dan tidak dituntut di muka hakim” tulis Tirto dalam Medan Prijaji yang terbit tahun 1909.

Akibat dari keberanian Tirto mengkritik pembesar-pembesar pada saat itu, Tirto harus menerima dirinya dibuang dari tanah Jawa. Tahun 1912 Tirto Adhi Soerjo bertarung di meja hijau, dan ia harus menerima kekalahannya. Putusan persidangan menyatakan bahwa Tirto harus dibuang ke Maluku. Dampak dari pembuangan Tirto, membuat kondisi finansial Medan Prijaji menjadi lemah, hingga akhirnya ditahun tersebut Medan Prijaji harus berhenti menerbitkan berita.

Tirto Adhi Soerjo seorang pribumi yang berasal dari keluarga terpandang, memilih untuk tidak menjadi pembesar, dan lebih memilih mendirikan surat kabar asli pribumi dan membela pribumi melalui surat kabarnya. Sayangnya ia meninggal dalam kesunyian. Ia meninggal 7 Desember 1918, ketika usianya genap 38 tahun. Ironisnya, tidak ada satupun surat kabar yang memberitakan kematiannya. Terlebih hanya sedikit kawan Tirto yang mengantarkan jasadnya menuju pusara. Menurut beberapa sumber, penyebab kematian Tirto yaitu akibat depresi.

Dewan pers Republik Indonesia, menobatkan Tirto Adhi Soerjo sebagai bapak pers Indonesia. Penobatan itu terlaksana pada tahun 1973. Lalu pada 3 November tahun 2006, Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar pahlawan kepada Tirto Adhi Soerjo. Pemberian gelar pahlawan tersebut tercatat di dalam Keppres RI Nomor 085/TK/Tahun 2006. Kisah Tirto Adhi Soerjo juga menjadi insprirasi Pramoedya Ananta Toer dalam menggubah karyanya Tetralogi Buru.

 

 

Benta

Tidak ada komentar