Header Ads

MEMBANGUN DISKURSUS GLOBAL: CURAHAN HATI DARI KELAS TERAKHIR

 


Gambar: Foto Reza Ardiansyah Pradana (penulis opini ini)

BPPM PASOENDAN, Opini – Sabtu, 24 Desember 2022 adalah pertemuan terakhir kelas Teori-Teori Hubungan Internasional yang diampu oleh Prof. Dr. Arry Bainus, M.A. Selama satu semester perjalanan kelas itu, Prof. Arry biasa memberikan penjelasan yang komprehensif, berusaha memunculkan akar atau genealogi penting dari suatu teori dalam studi hubungan internasional dan seringkali berusaha ‘menelanjangi’ kemampuan mahasiswa S2 dalam menjelaskan, menjawab, dan apa yang telah didapatkannya semasa S1. Rasanya tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa hubungan internasional kini telah mengalami perubahan sistemik, mulai dari pelebaran aktor dan kompleksitas fenomena yang membuat prodi hubungan internasional seluruh Indonesia seharusnya lebih baik menggunakan nama ‘Diskursus Global’.

Terdapat banyak nama lain dari international relations di berbagai belahan dunia, mulai dari international studies, international affairs, international politics, dan yang kini tersisa dari pertemuan kelas Prof. Arry adalah global international relations. Variasi nama ini mungkin karena hubungan internasional sebagai sebuah ilmu atau studi adalah ‘anak kemarin sore’ yang berusaha menjawab persoalan perang dan damai, lingkungan politik dan lingkungan alam, filsafat dan sejarah, sekaligus Tuhan dan manusia. Amitav Acharya dan Barry Buzan dalam perkembangan studi ini adalah dua sosok yang memberikan harapan sekaligus menunjukan kenyataan bahwa pembangunan diskursus global tidaklah mudah.

Bahasa, universitas, dan publikasi ilmiah adalah pertempuran intelektual masa kini, medan tempur yang mana mahasiswa dituntut agar terlatih menjadi praktisi atau akademisi. Persoalan hari ini untuk membangun diskursus global adalah usaha tarik-menarik, antara revolusionisme melawan reflektivisme, rasionalitas melawan konstruktivis, dan clash of civilization yang melibatkan pergolakan batin dan hati seolah-olah perdebatan global harus juga kita arungi dan pahami. Amitav Acharya dalam tulisannya tentang global international relations menulis bahwa manajemen pendidikan itu penting untuk menunjang bagaimana Asia dapat memberikan kontribusi bagi kehidupan global IR dalam istilahnya.

Acharya berdiri dengan segenap kemampuan dan kemewahan di baliknya, ada akses intelektual yang dapat dia peroleh selama menempuh pendidikan S1-S2 di India dan S3nya di Australia. Bagi Acharya, minimal ada tiga aspek yang perlu diperhatikan dari ketertinggalan Asia untuk menciptakan teori dan menceritakan pengalamannya pada studi hubungan internasional, pertama adalah bahasa yang sulit untuk dipahami karena bahasa Inggris bukanlah kebiasaan orang-orang Asia, kedua adalah persoalan anggaran dan fasilitas, dan yang ketiga adalah persoalan proses intelektual yang justru tidak dimanfaatkan oleh para penstudi Asia.

Dugaan sementara dari diagnosa Acharya dan Buzan pada kehidupan hubungan internasional Bandung sebenarnya terletak pada bagaimana proses literasi dilakukan oleh para mahasiswa yang sangat minim. Bukti sementara untuk membenarkan diagnosa baru ini adalah bagaimana sebenarnya hubungan internasional di berbagai universitas di Bandung cenderung untuk menganggap hubungan internasional dengan proses diplomasi, table manner, debat yang sebenarnya tidak penting dan tidak bermutu di kalangan mahasiswa (karena dipaksakan), dan kemampuan sekunder yang seolah-olah menjadi primer: retorika berlebihan, bahasa asing jadi pedoman, dan sebagian mahasiswa yang merasa paling terbebani dengan tugas dan skripsinya.

Untuk kasus terakhir, di mana mahasiswa seringkali mengeluh secara batin, fisik, dan maya, sebenarnya adalah hal yang lumrah. S1 adalah untuk gelar sarjana, S2 untuk master, dan S3 untuk doktor, yang penting dari semua tingkat studi adalah untuk memperoleh gelar dengan selesai dan kehidupan intelektual tidak pernah berakhir kendati yang bersangkutan telah memperoleh gelar profesor/guru besar (Prof). Akan tetapi perlu ditekankan di sini bahwa membangun diskursus adalah dengan literasi, sementara ini konsep literasi erat kaitannya dengan bagaimana membaca dan memahami sebuah teks dan konteks. Harus ada survei dan penelitian yang sangat besar untuk menunjukan sejauh mana mahasiswa bahkan dosen telah membaca dan dapat memberikan pengetahuan secara multilitik untuk memahami komplekslitik.

Pada kasus ini, mahasiswa adik tingkat bahkan kakak kelas, seringkali abai pada perenungan membaca dan sibuk bertanya hal-hal yang sebetulnya ringan bahkan tidak perlu untuk dijawab. Pertanyaan tentang judul skripsi, teori untuk tugas, benar atau tidak, relevansi tugas, dan hal-hal yang sebenarnya tidak menimbulkan keingintahuan membuat para penggiat dan pecinta ilmu mungkin akan kecewa. Perdebatan mengenai kampus mana yang lebih baik dari kampusnya mengisi pertimbangan-pertimbangan rasis dan tidak penting di kala Acharya dan Buzan justru mengkritik Barat dan dominasi Barat atas kehidupan non-Barat. Pada masa ini, nampaknya kita belajar bukan untuk memikirkan kampus mana yang terbaik, melainkan sejauh mana kita dalam fit-in dengan diskursus global, bacaan-bacaan bermutu, dan berusaha untuk menuliskan apa yang kita suarakan.

Mungkin saja, besok kita akan menemukan anak SMA yang putus sekolah karena tidak punya kesempatan yang sama dengan yang mampu membayar biaya S2 dan publikasi artikel ilmiah, justru menjadi penguasa panggung intelektual karena kemampuannya dalam literasi. Universitas di kota Bandung hari ini bisa saja menghasilkan mahasiswa dengan pemahaman yang mumpuni asalkan ditunjang oleh proses literasi level tinggi. Pada tahap ini dominasi Barat adalah primary institutions, sementara cara kita mengolah tergantung pada sejauh mana hubungan intens kita dengan beberapa literatur, melampaui penjelasan dosen, melampaui kurikulum kampus yang disempitkan oleh waktu dan tempat. Waktu empat tahun untuk S1, dua tahun untuk S2, dan tiga tahun untuk S3 tidaklah cukup melahirkan Amitav Acharya baru, Barry Buzan baru, John J. Mearsheimer baru, dan G. John Ikenberry baru. Kehidupan intelektual hanya mungkin berhenti jika gelar alm. telah didapatnya.

Di beberapa kesempatan, betapa banyak godaan dan romantisme untuk kuliah di luar negeri, tetapi mereka lupa untuk membekali diri pada apa yang dinamakan diskursus global itu. Mengeluh dalam mengerjakan skripsi menunjukan bahwa cita-cita untuk sekolah di luar negeri, kelas papan atas, dan terkenal adalah jauh, imajinasi yang melukai hatinya sendiri apabila harus bertarung dengan mereka yang telah diberkahi atau dibekali segenap kemewahan dan kemegahan intelektual warisan pedagogi dan proses literasi yang panjang. Sebagaimana Prof. Bambang Sugiharto, guru besar dari Universitas Parahyangan bidang filsafat mengatakan kebudayaan kita begitu jauh untuk ‘setidaknya’ masuk pada proses literasi yang panjang dan dalam itu.

Berhentilah untuk membandingkan universitas, bertanya tentang hal yang dapat diusahakan sendiri, dan mulai tampil untuk menyuarakan pendapat-pendapat dengan membaca adalah hal yang penting dari sekadar nama almamater, baik besar maupun kecil. Ada beberapa adik kelas yang menyayangkan dirinya berada di universitas sekarang, kemudian menyalahkan kampusnya seraya berkata akan pindah kampus sehingga pengetahuannya soal hubungan internasional akan berkembang adalah mitos yang haram untuk diyakini. Penting untuk dicermati bahwa, kebohongan seseorang terletak pada alasan dia menutupi segenap kekuranganya. Jujur pada diri sendiri itu baik, dan diskusi-dialog-komunikasi adalah satu pintu yang baik untuk saling jujur, tentang keterbatasan dan ketidaktahuannya.

Saya selalu yakin bahwa kita diperbolehkan untuk salah, tapi tidak boleh untuk berbohong. Lebih baik salah daripada berbohong. Hal ini menuntut untuk kita masuk pada kesadaran bahwa globalisasi teknologi dan keterbukaan akses (legal/ilegal) adalah tergantung pada manfaat besar di baliknya. Secara jujur, hari ini adalah zaman di mana kita tidak perlu membawa lima buku mata kuliah ke kampus yang tebal-tebal, puluhan artikel yang dituntut oleh dosen untuk tugas critical review. Satu laptop 13 inci, apapun merknya, dan bagaimanapun bentuknya cukup untuk membawa segenap pengetahuan dalam bentuk pdf. Hari ini, diagnosa Acharya dan Buzan pada prodi kita dan apa yang sedang kita geluti ternyata bukan soal hegemoni Barat, tapi pemberdayaan diri kita atas apa yang dimaksud dengan diskursus global itu.

Kita mungkin bersekolah di tempat yang sangat lokal, bahkan terpencil. Tapi semangat kosmopolitanisme intelektual memungkinkan kita untuk menjadi mahasiswa-mahasiswa kecil dari London School of Economics, Harvard University, Oxford University, American University, dan Cambridge University. Immanuel Kant, perlu diingat, adalah tokoh filsafat kritis paling berpengaruh yang sama sekali tidak pernah ke luar kota, pergi jauh, tapi pemikirannya pergi jauh bahkan telah menjadi aktivitas ilmiah-intelektual global. Setelah globalisasi, kita bisa seperti Kant tapi sebaliknya, tidak perlu jauh-jauh, tapi apa yang sedang dibicarakan di forum debat Oxford Union, atau perdebatan anggota kongres dan senat Amerika Serikat, bisa kita akses dari dalam kamar sembari rebahan.

Setelah ini, mudah-mudahan kita semakin mencintai proses literasi. Membosankan memang, tapi itulah yang berharga sebelum kita memahami dan masuk pada arus perdebatan global tentang apa yang terjadi. Sama seperti curahan hati ini, mungkin tidak akan bersuara cukup lantang dan keras karena ini bukanlah sebuah kredo atau surat keputusan, sekali lagi ini hanyalah curahan hati. Mulai membaca dan memahami kemudian berusaha untuk tampil di panggung paling kecil di lingkaran kita mungkin adalah permulaan yang baik, sedikit demi sedikit membangun jaringan intelektual kita.


Opini di atas ditulis oleh Reza Ardiansyah Pradana, S.IP
Alumni Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pasundan (2018-2022)


Bagi BPPM Publik yang ingin tulisannya dimuat seperi Reza Ardiansyah Pradana, dapat mengirimkannya melalui email kami bppmfisipunpas@gmail.com


Tidak ada komentar