Header Ads

BUKA MATA PADA PRAKTEK HILIRISASI NIKEL

 

Sumber Gambar: Tania.
BPPM PASOENDAN, Opini – Nikel merupakan logam kuat yang memiliki manfaat berlimpah, biasanya nikel digunakan untuk menjadi bahan utama dari produk-produk seperti kabel listrik, baterai, koin, peralatan militer, dan masih banyak lagi. Menurut BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) Indonesia memiliki 30 persen cadangan nikel dunia. Berdasarkan data tersebut, Indonesia kemudian berusaha memaksimalkan potensi dari nikel dengan semaksimal mungkin demi pertumbuhan ekonomi negara.

Salah satu pengoptimalan yang sedang banyak diperbincangkan saat ini yaitu hilirisasi (proses mengolah bahan baku menjadi bahan setengah jadi atau bahan jadi) nikel. Dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mengenai pertambangan mineral dan batu bara. Sekarang korporasi asing sudah tidak dapat lagi mengeruk nikel di perut bumi Indonesia. Dengan adanya kebijakan tersebut, nikel hanya boleh diekspor setelah melalui proses hilirisasi. Hal ini dilakukan untuk menaikan nilai tambah nikel.


Terkait hal tersebut, pemerintahan mulai menggelontorkan investasi besar-besaran pada proyek-proyek smelter (hilirisasi nikel). Salah satu dukungan yang telah direalisasikan oleh pemerintahan dan perbankan kepada PT Ceria Metalindo Prima. Dengan memberikan term loan (fasilitas kredit) pada bulan April 2022, sebesar 4.2 triliun rupiah untuk pembangunan fasilitas pengolahan Bijih Nikel Laterit Rectangular Rotary Kiln-Electric Furnace (RKEF) 1 x 72 MVA di Blok Lapao-pao, Kolaka, Sulawesi Tenggara.


Terhitung sampai bulan Oktober 2022, ekspor nikel bernilai tambah menghasilkan pendapatan negara yang sangat melejit, hingga mencapai 2.300 persen, yang mencapai angka 360 triliun rupiah. Sebelumnya pada tahun 2019  hanya mencapai angka 15 triliun rupiah. Pertumbuhan angka yang mewah ini semakin memberikan picu semangat pada pemerintahan untuk melanggengkan hilirisasi nikel, dan industri minerba (mineral dan batubara) lainnya.


Hilirisasi nikel dalam praktiknya memang menjadi pacu pada pertumbuhan ekonomi, tapi menilik pada dampak-dampak buruk yang diakibatkan, pemerintah justru tampak mengencangkan akselerasi pertumbuhan ekonomi dengan cara kotor. Pasalnya, pemerintah boleh jadi bersuka ria dengan pencapaian ekspor nikel yang bernilai tambah, hanya saja dibaliknya terdapat akar rumput yang dihantam habis-habisan. 


Mulai dari masalah lingkungan sebagai tempat hidup dan sumber mata pencaharian, hingga masalah kesehatan telah menghancurkan mereka. Komplikasi tersebut merata diseluruh area eksploitasi nikel. Getah-getah busuk dari manisnya pertumbuhan ekonomi menginfeksi masyarakat kecil. Dengan masih berjalannya praktik-praktik eksploitasi nikel yang tidak senonoh itu, pemerintah jelas abai dengan kondisi masyarakat akar rumput.


Terlebih kasus-kasus kriminalisasi masyarakat yang terjadi telah banyak terpotret seperti apa yang terjadi di daerah penambangan nikel di Kolaka, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Pada daerah tersebut terdapat hingga 54 titik penambangan nikel yang telah memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP). Akibat dari banyaknya pertambangan, mengakibatkan terjadinya degradasi lingkungan hingga mengubah kondisi sosial masyarakat sekitar.


Masyarakat yang dulunya berprofesi sebagai nelayan, petani, atau pekebun banyak yang beralih profesi menjadi pegawai pabrik, akibat dari sudah berubahnya ruang hidup mereka. Laut yang sudah tercemar limbah, membuat ekosistem laut rusak. Ikan-ikan yang biasa menjadi tangkapan para nelayan sudah berkurang drastis karena ikan sulit berkembang biak. Akibatnya nelayan tidak bisa lagi mengandalkan hasil tangkapannya untuk bertahan hidup.


Walaupun hingga saat ini masih terdapat nelayan-nelayan yang bertahan pada profesinya, namun kini mereka menjadi sulit untuk mencari ikan di daerah pesisir, mereka harus berlayar jauh ke tengah laut untuk mendapatkan tangkapan ikan. Seperti yang terjadi pada nelayan di Desa Fatufia, Sulawesi Tengah, mereka sudah tidak bisa mencari ikan di perairan setempat, melainkan harus berlayar sejauh 80 kilometer dari pesisir terlebih dahulu. Hal tersebut mengakibatkan tingginya modal untuk bernelayan.


Belum lagi, proses pengambil alihan lahan masyarakat untuk penambangan dinilai kotor. Sosialisasi kerap dilakukan secara tidak benar, karena masyarakat tidak diberi ruang untuk menolak. Seperti yang terjadi di Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara, sebanyak 27 warga yang melakukan protes terkait dibukanya lahan pertambangan malah dituduh melakukan ancaman, kekerasan, hingga merampas kemerdekaan. Langgengnya izin-izin penambangan dari pemerintahan, secara bersamaan mengkriminalisasi masyarakat.


Krisis iklim yang diakibatkan karena ekspansi pertambangan nikel juga tak kalah menyeramkan. Hilangnya hutan-hutan dapat mengakibatkan maladaptasi, yaitu akan meningkatkan kerentanan suatu wilayah akan risiko krisis iklim. Isu keamanan masyarakat dulu disorong oleh isu perang, namun kini isu keamanan disorong oleh krisis iklim. Masyarakat yang berada di pesisir terancam oleh kenaikan air laut. Bahkan di banyak tempat sudah banyak yang terpaksa menjadi pengungsi iklim. 


Dilansir dari betahita.id, wilayah Indonesia Timur yang paling terancam tenggelam yaitu, pesisir Maluku sebanyak 1.064 desa, menyusul Nusa Tenggara Timur (NTT) 1.018 desa, dan Sulawesi Tengah 1.011 desa.


Dari komplikasi-komplikasi tersebut saja telah terlihat seberapa besar daya rusak dari eksploitasi nikel ini.  Agar didapatnya kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat, maka eksploitasi nikel mesti ditekan. Kebijakan-kebijakan yang dibentuk pemerintahan harusnya menguntungkan seluruh masyarakat bukan hanya untuk segelintir golongan saja yang bahkan malah melanggengkan aksi kriminalisasi terhadap masyarakat tingkat akar rumput.  



Penulis: Tania, Mahsiswa jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pasunda 2019

Sumber: Abdul Fatah, 'Aktivitas Pertambangan di Maluku yang Melakukan Ekspor Bijih Nikel', ANTARA.


Tidak ada komentar