KISAH AGUS, TENTANG DEDIKASINYA BERJUALAN KORAN DI ERA INTERNET OF THINGS
Gambar: Agus sedang menjual korannya. |
BPPM PASOENDAN – Dahulu sebelum datang kehadiran internet, informasi tidaklah secepat saat ini. Ada rentang waktu yang dialami manusia untuk dapat mengetahui suatu kejadian atau peristiwa yang terjadi di suatu tempat yang jauh di sana. Salah satu alat atau media untuk mengabarkan peristiwa tersebut dikenal dengan nama koran.
Konon katanya koran tidak lagi relevan di era internet of things seperti sekarang ini.
Karena setiap orang sudah dapat mengetahui peristiwa atau kejadian-kejadian
tertentu dengan cepat melalui internet. Namun hal itu bukan berarti membuat
penjual koran punah, karena pada nyatanya dewasa ini masih ada orang-orang yang
menjual dan bahkan menggantungkan hidup mereka dengan masih menjajakan koran. Satu
diantaranya adalah Agus, yang sudah berjualan koran sejak tahun ’80-an.
Agus adalah seorang pria lanjut usia yang sudah
berusia 60 tahun. Ia masih setia menjajakan koran di era digitalisasi seperti
sekarang. Dirinya kerap terlihat menjajakan koran di lingkungan Universitas
Pasundan, Jalan Lengkong Besar. Setiap harinya, Agus membawa sebanyak 50 koran
untuk dijual. Keuntungan dari setiap satu koran yang terjual adalah 600 rupiah.
Jika semua koran yang dibawanya habis terjual, Agus bisa membawa pulang uang sejumlah
30 ribu rupiah.
“Enam ratus kali lima puluh weh, berarti tiga puluh ribu, tiga puluh ribu,” ucap Agus.
Selain menjual koran di sekitaran Universitas
Pasundan, Jalan Lengkong Besar, Agus juga sering berkeliling menjual korannya di
wilayah bilangan Pasar Baru hingga sampai ke daerah Cibadak. Hal itu dilakukan
Agus demi mendapatkan pembeli.
“Jadi, sekarang cuma keliling-keliling aja, ke sini ke
pasundan satu SMA, udah istirahat, ke sini (Unpas) udah ke sini (Unpas) di sini
udah bubar, keliling lagi ke Pasar Baru, ke Cibadak. Ya cari-cari itu aja apa, cari
pembeli.” kata Agus.
Berbeda ketika koran masih dengan masa kejayaannya,
Agus dapat menjual korannya hingga 200 cetak koran. Saat koran masih menjadi
sumber informasi unggulan, Agus kerap menjajakan koran miliknya ke toko-toko,
kantor-kantor, hingga sekolah-sekolah. Namun kini baik toko, kantor, dan
sekolah-sekolah sudah tidak lagi mencari dan membeli koran.
“Sekarang mah,
karena ku ada HP, jadi langganan
juga, di kantor-kantor, toko-toko sudah pada berhenti (berlangganan),” ucapnya.
Agus mengenang masa di mana anak-anak SMA zaman dulu,
antusias mencari majalah-majalah remaja. Majalah-majalah remaja kondang seperti
majalah Gadis, Hai, dan Kawanku, yang kerap menjadi incaran anak-anak SMA di
masa itu, juga sering dijual oleh Agus. Sayangnya kini, selain anak-anak SMA yang
memang sudah tidak tertarik, majalah-majalah tersebut juga sudah lama berhenti
terbit.
“Dulu mah ke
sekolah SMA, masuk ke sekolah SMA teh,
majalah Gadis, Hai, Kawanku, itu selalu diminati oleh para pelajar teh. Sekarang mah, di anak-anak sekolah
juga tidak mengenal ‘apa itu koran’ kitu, majalah juga udah gak kenal, majalah,
majalah juga, majalah remaja, bangsa
Gadis, Kawanku, Hai, Aneka, sekarang sudah gak ada,” kenang Agus.
Masih dengan kenangannya, Agus juga bercerita bahwa
dulu, dosen-dosen serta karyawan yang ada di Universitas Pasundan, Jalan
Lengkong Besar juga sering membeli tabloid-tabloid hiburan seperti tabloid
Bintang, Nova, Aura, Nyata, dan tabloid lainnya. Namun sekarang, menurut Agus,
setelah keberadaan sosial media seperti Instagram, dosen dan karyawan
Universitas Pasundan sudah tidak lagi membeli jajakannya.
“Dulu ge di sini,
di kampus Universitas Pasundan, dosen-dosen juga, para pekerja, suka beli
tabloid, tabloid Bintang, Nova, yang lain-lainya (seperti) Nyata (Tabloid),
Aura. Sekarang mah udah pada berhenti,
gak lagi baca koran, sekarang udah tau di Instagram,” tuturnya.
Agus melanjutkan, eksistensi koran pada masa lalu yang
menjadi salah satu sumber informasi utama masyarakat, membuat koran dicari oleh
pembaca. Namun kini setelah informasi telah mudah didapatkan, kondisi pun
menjadi berbalik, koran lah yang saat ini mencari pembacanya.
“Ya cari-cari itu aja apa, cari pembeli. Jadi sulit
pembeli teh, pembelinya jadi saya
sulit sekarang, Dulu mah koran teh dicari, sekarang koran mencari pembeli,”
lanjutnya.
Dampak dari era Internet
of Things saat ini, Agus juga menyadari bahwa kemudahan informasi memang
membuat koran menjadi kekurangan pembaca. Karenanya, koran menjadi sulit untuk
dijual sehingga berdampak kepada pendapatannya.
“Informasi itu teh digital, jadi si pembaca juga
ditinggal, ditinggal koran itu, sebab beritanya udah ada, udah ada di HP (handphone). Jadi
kalo baca koran mah, kejadian sekarang teh, besok (terbit), kalo HP, di HP
sekarang internet, pas kejadian langsung ada, jadi tertinggal (koran), Jadi
buat apa baca koran teh, sudah tau gitu. Jadi penghasilan, jadi omset, jadina
teh turun drastis,” ucap Agus.
Mengingat hal itu, Agus juga tidak dapat berbuat
apa-apa selain bertahan hidup dengan tetap berjualan koran. Selain usianya yang
sudah tidak muda lagi, Agus pun tidak punya pilihan pekerjaan lain, terlebih
pendidikan terakhir Agus hanyalah sampai di bangku Sekolah Dasar (SD).
“Jadi lulusan SD dulu mah, yah mau kemana lagi, kan
kalo sekarang udah tua, tenaga udah berkurang, mau kemana lagi,” ujarnya.
Agus menuturkan, dahulu ketika Agus menjual
koran-korannya, pelanggan yang membeli koran Agus acap kali bertanya, ada kabar
terbaru apa yang diberitakan oleh koran yang dibawanya.
“Dulu mah ‘Mang ada kejadian ieu udah masuk belum?’
‘udah pak ini ada disini’ tuh dia beli satu,” tuturnya
Ironinya, para pembeli kini alih-alih membeli koran
untuk dibaca, Agus malah banyak mendapati pembeli yang mengalih fungsikan
korannya untuk alas kucing, bungkus gorengan atau kerupuk, hingga untuk lap
kaca mobil.
“Orang beli koran teh, buat apa. pelajar-pelajar teh,
buat bungkus kucing, apa, tilam (alas) kucing kitu. Ibu-ibu kadang-kadang ‘mang beli
lima yang dua ribuan’ ‘buat apa bu?’ ini
buat bungkus dirumah, goreng kerupuk. Pedagang-pedagang juga beli koran dua
ribu buat apa, buat ngelap kaca. ‘buat ngelap kaca mang’ ceunah ‘biarin yang
bekas juga’. Ini mah bukan buat dibaca, ini mah buat ngelap kaca, buat tilam
kitu,” tuturnya.
Dengan menemui pembeli-pembeli seperti itu, Agus
merasa terpukul karena berita dalam koran tampak sudah tidak lagi ada harganya.
Ia pula mengasihani para wartawan yang telah sulit untuk mendapatkan informasi
dan menulis untuk koran.
“kalo gitu mah, jadi nyeuri kitu, wartawan cape-cape
susah nyari berita, eh sudah jadi berita gak ada harganya lagi, gak ada
dihargainya lagi,” katanya.
Penulis: Benta & Tania
Reporter: Annisa
minat baca lewat internet juga ga banyak, kebanyakan baca cuman sebatas headline
BalasHapusand in enspirale conspiracy them in teknokraye president in form yemporary
BalasHapusbouraeu ey in we are protetokrat
BalasHapusbentrok ga bentrok ya bentrok emang pegawai negeri bin kopri
BalasHapusnong nagro modern daripada perlente di tong uhited oil bireun
BalasHapus