Header Ads

DALAM MENCEGAH KRISIS PANGAN, INDONESIA HARUS MENAJAMKAN PANDANGANNYA PADA KONDISI RAKYAT BUKAN PADA STATISTIK

 

Sumber: bisnisindonesia.id

Organisasi Pangan dan Pertanian (The Food and Agriculture Organization/FAO) telah menyatakan dunia akan mengalami krisis pangan. Menurut FAO Krisis pangan merupakan kondisi di mana terjadi kerawanan pangan dan malnutrisi meningkat tajam yang berskala nasional hingga internasional. Ancaman tersebut mulai dirasakan oleh banyak negara, maka dunia mulai melakukan antisipasi dan penanganan atas krisis tersebut, termasuk Indonesia.


Kemudian, dari sisi WFP (World Food Programme) terjadinya kerawanan pangan yang disinyalir telah dialami oleh 135 juta penduduk dari seluruh dunia dikarenakan pandemi Covid-19 yang kemudian meningkat tajam menjadi 345 juta penduduk karena invasi yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina. Kedua negara tersebut memiliki pengaruh besar terhadap pasokan pertanian, bahan makanan, dan pupuk.


Peperangan yang terjadi mengganggu stabilitas pasar global karena suplai yang menurun drastis.  Defisitnya suplai mengakibatkan inflasi dari sektor pangan di berbagai penjuru dunia, hingga indonesia pun tentu ikut merasakannya. Inflasi kelompok pangan bergejolak (volatile food) yang dilansir dari siaran pers Bank Indonesia (BI) pada bulan Juli 2022 mencapai angka 11,47 persen, yang di mana angka tersebut termasuk angka inflasi yang sangat tinggi. 


Pangan merupakan urusan yang sensitif karena merupakan kebutuhan primer manusia, juga dalam Deklarasi Roma, disebutkan salah satu Hak Asasi Manusia yang harus dipenuhi adalah masyarakat mendapatkan pangan yang cukup. Dalam hukum HAM internasional, negara ditempatkan sebagai duty bearer (pemangku kewajiban) utama yang mempunyai 3 kewajiban pokok yaitu menghormati, memenuhi, dan melindungi hak asasi manusia setiap orang.


Maka, sudah menjadi kewajiban suatu negara untuk mengantisipasi atau menangani krisis pangan. Begitu pula dengan pemerintahan Indonesia, mereka mengerahkan beberapa upaya seperti akan menekankan percepatan panen, memproduktifkan lahan-lahan tidur untuk pertanian atau perkebunan, meningkatkan produktivitas tumbuhan lokal dan multimanfaat hingga pengetatan subsidi pupuk agar lebih tepat sasaran.


Salah satu program percepatan panen yang dilakukan, dilansir dari siaran pers Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian (2/8), mereka akan melakukan percepatan panen untuk meningkatkan produksi jagung nasional. sesuai dengan hasil Rapat Koordinasi Teknis, Kementan telah menentukan 6 (enam) lokasi untuk peningkatan produksi jagung nasional, yaitu di Provinsi: Papua,  Papua  Barat, NTT, Maluku, Maluku Utara, dan Kalimantan Utara.  


Lalu, pemanfaatan lahan tidur untuk menjadi produktif telah banyak dilakukan oleh Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani). Seperti Gapoktan Argasunya Cirebon yang melakukan pemanfaatan lahan tidur seluas 30 meter untuk menanam jagung, dan Gapoktan Suka Maju Malang yang menggarap menanam palawija dengan target luas tanah sebesar 2 hektar. Ini merupakan gerakan yang baik karena akan sangat membantu ketahanan pangan jika programnya berjalan stabil.


Dalam meningkatkan produktivitas tumbuhan lokal dan multimanfaat, pemerintah memilih sorgum sebagai salah satu alternatif. Dilansir dari situs Kementan alasan meningkatkan produktivitas tumbuhan lokal dikarenakan benih dan bibitnya tersedia, sesuai dengan kondisi lahan setempat, produktivitasnya tinggi, tahan kondisi ekstrim seperti kekeringan, dan tanah miskin unsur hara.


Namun, segala upaya yang telah dikerahkan tersebut nampaknya belum optimal dan masih dihadapi oleh beberapa kendala. Seperti subsidi pupuk yang semakin diperketat mengakibatkan banyak petani dan pekebun yang sulit mendapatkan subsidi pupuk. Pada September 2022 terdapat sebanyak 7 juta petani yang tidak mendapatkan subsidi pupuk. Proses pemupukan tanaman yang tidak stabil akan berdampak besar pada stabilitas kuantitas dan kualitas hasil panen.


Belum lagi keinginan pemerintah untuk melakukan percepatan panen dan memproduktifkan lahan tidur terhambat kondisi iklim yang sedang buruk. Cuaca ekstrem seperti terjadinya kekeringan, gelombang panas, hujan yang tidak menentu, hingga badai tropis mengganggu proses tanam-menanam. Perubahan iklim yang drastis pula menyebabkan serangan hama yang semakin merambah. Akibatnya, para petani dan pekebun banyak yang mengalami gagal panen. 


Mungkin pemerintah negara kita bisa berbangga dengan meningkatnya Skor Indeks Ketahanan Pangan Global (Global Food Security Index/GFSI) Indonesia yang tercatat sebesar 60,2 poin pada 2022 karena mengalami peningkatan sebesar 1,7% dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 59,2 poin. Belum lagi keterjangkauan harga pangan Indonesia dinilai cukup baik dengan skor 81,5 poin. 


Namun, perlu diperhatikan pula beberapa indikator lain, seperti ketersediaan pasokan, kualitas dan keamanan, serta keberlanjutan dan adaptasi pangan yang nyatanya masih lemah. Secara rinci, indikator ketersediaan pasokan Indonesia memiliki skor sebesar 50,9 poin. Skor indikator kualitas dan keamanan pangan Indonesia sebesar 56,2 poin. Lalu, indikator keberlanjutan dan adaptasi pangan sebesar 46,3 poin.


Postulat peraih nobel, Amartya Sen menganggap akses dan kebebasan lebih penting dari pada ketersediaan. Sebanyak apapun ketersediaan atas pangan, jika akses dan kebebasan sulit justru akan mengakibatkan ketidak adilan, dan menjauhkan dari kesejahteraan. Jika hanya golongan yang memiliki privilese saja yang mendapatkan kesejahteraan pangan tidak akan menyelesaikan masalah jangka panjangnya seperti angka kemiskinan hingga angka kriminalitas.


Dari sini, maka perlu segera dilakukan pengoptimalan terhadap pencegahan Krisis pangan yang bisa dirasakan oleh seluruh rakyat dari penjuru daerah dengan bantuan akses yang mempermudah mereka ikut andil. Terlebih krisis pangan dapat menjadi urgensi karena sumber dari krisis ekonomi, krisis moneter, sosial dan politik, HAM, keamanan hingga krisis kepercayaan terhadap kredibilitas pemimpin negara. 


Lebih lanjut, jika lokalisasi pangan dari seluruh golongan petani dan pekebun dapat diperluas outcome-nya, maka tidak hanya ketahanan pangan, namun bisa pula menjadi sumber komoditi yang lebih luas lagi. Dengan itu, tidak hanya kesejahteraan rakyat yang didapat, namun negara pun akan mendapat keuntungan dengan ketersediaan substitusi pangan untuk impor yang melimpah dan beragam.



Tania




Sumber:

https://www.wfp.org/stories/wfp-and-fao-sound-alarm-global-food-crisis-tightens-its-grip-hunger-hotspots

https://ekonomi.bisnis.com/read/20220810/9/1565244/gelar-gernas-pengendalian-inflasi-pangan-bi-targetkan-inflasi-volatile-food-turun-ke-6-persen

https://www.ekon.go.id/publikasi/detail/4403/pemerintah-dorong-peningkatan-produksi-jagung-nasional-melalui-intensifikasi-dan-ekstensifikasi-khususnya-perluasan-lahan-baru-untuk-memenuhi-kebutuhan-nasional-dan-ekspor

https://www.cirebonkota.go.id/2022/manfaatkan-lahan-tidur-untuk-lebih-produktif/

https://malangpariwara.com/2022/07/10/koramil-0833-02-kedungkandang-bersama-warga-manfaatkan-lahan-tidur-untuk-lahan-pertanian/

https://www.bmkg.go.id/press-release/?p=perubahan-iklim-makin-mengkhawatirkan-ini-pesan-presiden-jokowi-dan-presiden-ke-5-ri-di-hmd-2022&tag=press-release&lang=ID

https://www.cnbcindonesia.com/news/20220919155513-4-373272/miris-7-juta-petani-ri-tak-dapat-pupuk-subsidi-pangan-aman

https://dataindonesia.id/ragam/detail/indeks-ketahanan-pangan-nasional-meningkat-pada-2022



Tidak ada komentar