Header Ads

Melakukan Transisi Energi Bersih Masih Malu-Malu, Melanggengkan 'Energi Kotor' Percaya Diri


Jauh sebelum Indonesia merdeka, batu bara di negara kita dikeruk pertama kali oleh kolonial Belanda pada tahun 1861 di Palaran, Kalimantan Timur. Kemudian, pemanfaatannya sebagai energi listrik untuk umum diberlakukan ketika Belanda mendirikan perusahaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) bernama Nederlandche Indische Electriciteit Maatschappij (NIEM).

Hingga saat ini batu bara masih menjadi sumber energi utama untuk pembangkit listrik di Indonesia, yang di mana menurut pemangku kepentingan, energi ini masih menjadi yang paling efektif daripada  sumber energi lainnya. 

Hal tersebut dikarenakan energi batu bara masih dianggap bersifat stabil, tidak terhambat kondisi cuaca, alam dan sejenisnya. Serta memiliki ketersediaan yang masih banyak, mudah diakses dan masih menjadi energi termurah.

Lingkungan, Kesehatan dan Ekonomi Terkena Imbasnya

Perlu kita semua sadari, alternatif yang dipilih tersebut memakan habis kestabilan tempat kita hidup, karena proses pembuatan energi listrik berbasis batu bara melepaskan emisi karbon. Fenomena tersebut berdampak buruk bagi lingkungan, kesehatan, hingga ekonomi, yang pada dasarnya selama ini sudah kita rasakan. kualitas lingkungan hidup kita akan semakin menurun jika energi ini terus dipertahankan.

Pengaruh emisi karbon terhadap lingkungan diantaranya, membuat suhu bumi meningkat (efek rumah kaca), cuaca yang tidak stabil hingga perubahan iklim yang dapat mengakibatkan bencana alam, abrasi pantai dan potensi kebakaran hutan. 

Dampaknya tehadap kesehatan pula tak kalah menakutkan. Meningkatnya suhu bumi mengakibatkan penyakit yang dapat menjangkit manusia akan kian berevolusi serta  beresiko akan terjadinya dehidrasi dan sengatan panas yang jika terus menuju kepada tingkat yang lebih ekstrem, dapat berakibat fatal. Lalu polusi dari batubara merusak kualitas udara yang menggangu kondisi pernapasan, kardiovaskuler, penglihatan dan kulit. 

Energi batu bara yang diulung-ulungkan karena dianggap lebih ekonomis daripada energi terbarukan mestinya diragukan. Pasalnya, kualitas kesehatan masyarakat yang terus menurun menggangu stabilitas sosial hingga menambah beban terhadap ekonomi. Kemudian, kegiatan pertanian, perkebunan, pariwisata dan lainnya dapat terganggu karena cuaca yang tidak menentu, rusaknya infrastruktur, eksistensi populasi terancam dan mempersulit perkembangan sumber daya.

Solusi Pemerintah Tidak Efektif

Ditengah kondisi tersebut, pemerintah tetap memprioritaskan penggunaan energi batu bara sebagai sumber daya utama pembangkit listrik. Alih-alih memberikan solusi atas dampak buruk yang terjadi, mereka ingin melakukan co-firing batu bara, yaitu melakukan substitusi (campuran) biomassa terhadap batu bara. 

Hingga saat ini Indonesia telah menerapkan co-firing di 29 PLTU, namun tentunya tidak berdampak banyak dalam menyelesaikan problema yang terjadi. Butuh waktu panjang dan modal yang sangat besar untuk dapat merealisasikan co-firing yang mumpuni. Seperti di Inggris, mereka menggelontarkan investasi hingga 700 juta poundsterling untuk membangun pembangkit biomassa terbesarnya. Bahkan Negara besar seperti Amerika Serikat (AS) dan Cina yang memiliki potensi ketersediaan biomassa yang melimpah pun belum dapat merealisasikan proses co-firing yang mumpuni hingga saat ini.

Selain itu, Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi menyatakan, proses co-firing dilakukan dengan menggunakan dua bahan baku yaitu dari sampah dan limbah kayu yang akan di substitusikan ke dalam batu bara sebanyak 1 persen hingga 5 persen saja. Dengan kata lain, sebanyak 95 persen masih menjadi energi kotor. 

Greenpeace menjelaskan, 5 persen co-firing hanya akan menekan emisi sebanyak 5,4 persen. Persentase ini memperlihatkan dengan jelas bahwa alternatif co-firing tidaklah efektif untuk menekan emisi dan akan terus melanggengkan krisis ekologi yang sedang menimpa kita.

Energi Terbarukan yang Ditabukan

Global Subsidies Initiative (GSI) melaporkan, bahwa biaya pokok produksi listrik LCOE (Levelized Cost of electricity) untuk energi terbarukan lebih kompetitif dan akan terus menurun, sebaliknya untuk energi batu bara yang akan terus-menerus meningkat. 

Salah satu faktornya adalah bank-bank dunia mulai ingin menghentikan, bahkan ada yang telah benar-benar menghentikan pendanaan kepada perusahan batu bara. Hal tersebut diakibatkan oleh mulai munculnya kekhawatiran mengenai risiko finansial dan kesadaran mengenai tantangan yang dihadapi ketika sudah banyak masyarakat lokal yang terdampak akibat adanya perusahaan batu bara, juga kelompok-kelompok peduli lingkungan yang khawatir mengenai kehancuran lingkungan yang diakibatkan oleh pengelolaan batubara.

Dalam hal ini, Indonesia sebagai negara yang masih menggunakan batu bara sebagai komoditas yang menyongkong perekonomian negara, mestinya kondisi tersebut bisa menjadi alasan besar bagi negara untuk mulai memprioritaskan transisi energi.

Pemerintah saat ini memang sudah mulai berdalih untuk melakukan pembaharuan energi, seperti melakukan peningkatan terhadap Energi Baru Terbarukan (EBT), namun sayangnya sangat kontradiktif dengan sikap yang mereka ambil.

Kebijakan-kebijakan yang dibentuk sama sekali tidak berorientasi untuk memprioritaskan energi bersih, namun sebaliknya malah terus melanggengkan napas energi batu bara. Seperti pada Undang-Undang Minerba dan Undang-Undang Cipta Kerja, yang memfasilitasi kemudahan izin pertambangan dan memberikan tawaran pembebasan royalti hingga harga khusus bagi pengusaha yang terlibat proyek hilirisasi.

Indonesia Berpotensi Besar untuk Melakukan Transisi Energi

Menilik sedikit kepada Vietnam, negara berkembang yang berhasil menggunakan energi tenaga surya terbesar se-ASEAN yang sebelumnya bergantung pada energi batu bara. Negara tersebut sekarang telah memasang 101 ribu Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap dan ada pula floating solar, serta solar farm dengan total daya 16.656 megawatt. 

Keberhasilan Vietnam dalam transisi energi batubara menjadi energi surya tidak lepas dari perencanaan yang strategis dan jelas, iklim investasi stabil, pengembangan secara bertahap, memiliki target dan rencana jangka panjang. Semua itu, ditopang dengan kebijakan yang dibentuk oleh negara tersebut.

Agar Indonesia dapat memulai transisi, maka perlu dibentuk pula kebijakan yang mampu menjadi salah satu fasilitas negara agar dapat melangkah menuju energi terbarukan, seperti kebijakan yang dapat memobilisasi pendanaan dari berbagai sumber termasuk pendanaan dari negara asing, kebijakan penggunaan energi terbarukan yang berorientasi pada kepentingan mitigasi perubahan iklim dan menjadikan energi terbarukan sebagai sektor ekonomi. 

Kemudian, langkah strategis yang dapat dilakukan agar energi terbarukan dapat digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat, yakni dengan melakukan sosialisasi secara merata, efesiensi proses administrasi, serta persediaan yang stabil. 

Ketersediaan daya pun mestinya bukan menjadi suatu kekhawatiran, karena Indonesia menjadi salah satu negara dengan ketersediaan energi terbarukan di dunia, dengan total potensi sebayak 441,7 GW. Sayangnya, hingga saat ini EBT oleh negara Indonesia masih diberikan porsi kecil untuk alokasinya yaitu hanya 11,7 persen saja.

Mestinya, pemerintah dapat memaksimalkan potensi energi bersih, karena dengan menggunakan energi hijau sebagai sumber daya utama, akan melindungi stabilitas ekonomi jangka panjang, lingkungan, hingga kemaslahatan rakyat, baik dalam aspek kesehatan juga lapangan pekerjaan. Bukan malah mengotak-atik energi yang sudah usang.


Sumber:

https://nasional.tempo.co/read/1591175/alasan-batu-bara-bikin-harga-listrik-indonesia-murah

https://ebtke.esdm.go.id/post/2020/02/28/2490/terapkan.metode.co-firing.di.pltu.ini.potensi.biomassa.untuk.subtitusi.batubara

https://lindungihutan.com/blog/emisi-karbon/#:~:text=Fenomena%20emisi%20karbon%20merupakan%20proses,bumi%20atau%20efek%20rumah%20kaca.

https://projectmultatuli.org/youthwashing-dan-kontradiksi-kebijakan-yang-mengerdilkan-ambisi-iklim-anak-muda/

https://projectmultatuli.org/mengakhiri-teror-energi-kotor-batubara/

https://solarhub.id/komitmen-pemerintah-kebijakan-yang-konsisten-dan-transparan-dan-instrumen-yang-tepat-mampu-menarik-investasi-energi-terbarukan-di-vietnam/

https://www.radarbangsa.com/ekobis/27785/greenpeace-kebijakan-pemerintah-gunakan-biomassa-untuk-co-firing-tak-efektif


Penulis: Tania Dwi Octaviani

Penyunting: Sherani Soraya Putri


Tidak ada komentar