Header Ads

Indonesia dalam Pusaran Bonus Demografi



Bonus demografi terjadi ketika penduduk suatu negara didominasi oleh penduduk usia produktif dengan menggunakan perhitungan dependency ratio (rasio ketergantungan) yang menggambarkan jumlah usia produktif (15-64) lebih banyak daripada penduduk usia non-produktif (kurang dari 15 tahun dan di atas 64 tahun). Angka rasio tersebut akan menunjukan beban yang ditanggung penduduk usia produktif untuk penduduk usia non-produktif. 

Hasil laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada November 2021 menunjukan persentase beban ketergantungan penduduk Indonesia sebesar 45,72 persen. Artinya, sebanyak 100 orang produktif menanggung 46 orang yang belum produktif dan dinilai sudah tidak produktif. 

Dari rasio ketergantungan tersebut, artinya Indonesia sedang mengalami bonus demografi, karena beban ketergantungan usia produktif rendah dengan lebih tingginya angka penduduk berusia produktif.

Bonus demografi kerap dikaitkan dengan jendela peluang (windows of opportunity) karena memiliki potensi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat terutama dalam aspek ekonomi. Seperti, memperbaiki keadaan ekonomi dengan menambah roda ekonomi dan meningkatkan laju ekonomi, karena memiliki sumber daya yang dapat ditingkatkan kualitasnya, menurunnya biaya produksi dan bertambahnya permintaan terhadap barang konsumsi. 

Agar bonus demografi dapat mengoptimalkan jendela peluang, maka diperlukan lapangan kerja yang luas, peluang usaha, modal manusia (human capital) yang berkualitas, serta tabungan nasional yang diinvestasikan secara produktif. 

Jika suatu negara tidak mampu memenuhi prasyarat tersebut, bonus demografi malah berpotensi menjadi bencana demografi, di mana peningkatan penduduk tidak sejalan dengan peningkatan produktivitas. 

Dalam hal ini bencana demografi berdampak terhadap membesarnya beban negara baik dari aspek ekonomi hingga sosial. Seperti, gelombang pengangguran massal, tingginya angka kemiskinan hingga tindakan kriminal. 

Indonesia, sebagai negara yang sedang mengalami bonus demografi, apakah dapat melakukan optimalisasi terhadap jendela peluang? Kita dapat perhatikan terlebih dahulu realitas yang terjadi pada penduduk usia produktif di negara kita.

Dimulai dari ketersediaan lapangan kerja, di Indonesia kesenjangan ketersediaan lapangan kerja dengan pengangguran masih sangat besar. Realitasnya tingginya tingkat pengangguran belum mampu diantisipasi oleh pemerintah, begitupun dengan pengangguran berpendidikan tinggi. 

Dari publikasi BPS pada Juni 2022, dilaporkan bahwa, pada Februari 2022 jumlah angkatan kerja mencapai 144,2 juta orang dengan sekitar 5,8 persen atau 8,4 juta orang masih menjadi pengangguran. Analisis lebih lanjut, dari data pengangguran tersebut 62,46 persen merupakan pengangguran terdidik.

Berdasarkan angka pengangguran tersebut, dapat dikatakan sangat mengkhawatirkan, karena jumlah lapangan kerja yang tersedia tiap tahun hanya berkisar 300 hingga 400 ribu saja. Padahal, pada 2021 Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menyatakan setidaknya lapangan kerja yang harus tersedia setidaknya ada 3,6 juta tiap tahunnya. 

Upaya yang dilakukan pemerintah saat ini, yakni mengandalkan program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) yang telah dilaksanakan sejak tahun 2020. Hingga Juni 2022 program tersebut baru terealisasi sebesar 25,9 persen saja. Alokasi terbesarnya pun bukan untuk memperluas penyerapan tenaga kerja, namun untuk anggaran perlindungan masyarakat dan penanganan kesehatan, dikarenakan dampak dari Covid-19. 

Anggaran yang digalangkan pemerintah untuk penciptaan lapangan kerja serta peningkatan produktivitas, yaitu sebesar Rp 178,32 triliun. Namun yang baru dialokasikan yaitu sebesar 16,9 triliun, itu pun terpecah untuk program padat karya, pariwisata dan ekonomi kreatif, ketahanan pangan, teknologi informasi dan komunikasi, kawasan industri, dukungan UMKM (subsidi bunga dan IJP) dan insentif perpajakan.

Mestinya, dalam menghadapi bonus demografi dibutuhkan akselerasi terkait penanggulangan pengangguran. Jika tidak, hal tersebut akan memperbesar potensi terjadinya bencana demografi. Karena angka pengangguran yang masih tinggi, jelas menunjukan tidak sejalannya bonus demografi dengan peningkatan produktivitas.

Kemudian, kualitas human capital di Indonesia masih perlu ditingkatkan. Kementerian Koordinator bidang perekonomian dalam siaran pers HM.4.6/73/SET.M.EKON.3/2/2022 menyatakan telah memberikan upayanya dalam memaksimalkan potensi bonus demografi dengan meningkatkan pembangunan manusia seperti mengadakan pelatihan-pelatihan dalam kartu Program Pra Kerja dan stimulasi terhadap pembangunan usaha terutama untuk generasi muda di negara kita.

Dari upaya yang telah dikerahkan itu nampaknya belum membuahkan hasil yang memuaskan, karena, Dilansir dari worldbank.org skor Human Capital Index (HCI) Indonesia masih di bawah rata-rata. Hal tersebut dikarenakan belum kuatnya sistem pendidikan, perlindungan sosial, serta tingkat stunting (kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah 5 tahun) akibat dari kekurangan gizi kronis) yang relatif tinggi. 

Disisi lain, masih terjadinya ketimpangan pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) antarprovinsi. Berdasarkan data dari BPS mengenai IPM pada tahun 2021 indeks yang tinggi (70-80 persen) hingga sangat tinggi (>80 persen), masih didominasi oleh bagian barat dan tengah, seperti DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Riau, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Sumatera Selatan. Sementara itu, provinsi dengan IPM rendah (60-70) ditempati oleh Papua, Maluku, Maluku Utara, NTB, dan NTT. 

Hal tersebut menjadi sebuah ironi karena masih terjadi diskriminasi pembangunan antara daerah satu dengan lainnya, yang semestinya dilakukan secara merata. 

Bagaimana bisa negara kita mendayagunakan bonus demografi, sedangkan pembangunan kualitas human capital saja masih pilih-pilih. Padahal wilayah-wilayah yang IPM-nya masih rendah itu pun memiliki potensi tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi negara. 

Upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan kualitas pendidikan, sosialisasi literasi digital, program-program pelatihan secara merata, hingga perlindungan sosial ke seluruh penjuru daerah nusantara. Hal tersebut penting untuk menjadi perhatian, karena untuk optimalisasi jendela peluang dan kebutuhan akan intelektual perlu dirasakan oleh seluruh lapisan sosial masyarakat, bukan hanya diperuntukkan bagi masyarakat perkotaan saja atau yang memiliki privilese. 

Indonesia tidak semestinya berbangga diri dengan mempertahankan kestabilan ekonomi negara meski di tengah pandemi hingga inflasi jika masih belum bisa mensejahterakan masyarakat dari seluruh lapisan sosialnya. 

Terakhir, tabungan nasional merupakan salah satu faktor penting untuk pembangunan ekonomi, karena dengan tingginya tingkat tabungan nasional, maka akan meningkatkan stok modal yang outputnya adalah pertumbuhan ekonomi. 

Menurut hasil survey Bank Indonesia (BI) pada Juni 2022 masyarakat mulai mengurangi pengeluaran untuk konsumsi dan cicilan pinjaman sejalan dengan meningkatnya alokasi untuk tabungan.

Tercatat pendapatan yang dialokasikan untuk konsumsi pada Juni 2022 sebesar 74,2 persen, menurun tipis dari bulan sebelumnya yaitu sebesar 74,3 persen. Kemudian, untuk proporsi pembayaran cicilan sebesar 9,6 persen yang ikut turun dari bulan sebelumnya sebesar 9,7 persen. 

Penurunan tersebut sejalan dengan peningkatan pendapatan yang dialokasikan untuk tabungan. Pada Mei 2022 alokasinya sebesar 16 persen, kemudian meningkat jadi 16,2 persen pada Juni 2022. Ini menjadi pertanda baik jika pertumbuhannya terus stabil karena peningkatan stok modal akan terus berjalan.

Dari realitas yang telah dijelaskan di atas, maka Indonesia belum sepenuhnya mampu mengoptimalkan windows of opportunity, karena masih banyak yang perlu dibenahi untuk menyelaraskan bonus demografi dengan peningkatan produktivitas. Jika kondisi demikian tak kunjung diperbaiki maka negara kita harus siap-siap menyambut bencana demografi.


Sumber:

Setiawan, Satria Aji. (2018). Mengoptimalkan Bonus Demografi Untuk Mengurangi Tingkat Kemiskinan Di Indonesia. Jurnal Analis Kebijakan, 2(2), 11-23

Jati, Wasisto Raharjo. (2015). Bonus Demografi Sebagai Mesin Pertumbuhan Ekonomi: Jendela Peluang atau Jendela Bencana Di Indonesia. Populasi, 23(1), 1-19

https://www.bps.go.id/

https://www.kemenkopmk.go.id/tiap-tahun-pemerintah-harus-sediakan-36-juta-lapangan-kerja

https://covid19.go.id/artikel/2022/06/15/realisasi-program-pen-capai-9513-triliun#:~:text=Realisasi%20Program%20PEN%20Capai%2095,Triliun%20%7C%20Covid19.go.id&text=Realisasi%20Anggaran%20Penanganan%20COVID%2D19,%2C9%25%20dari%20alokasi%20anggaran

https://www.bi.go.id/id/publikasi/laporan/Pages/Laporan-Survei-Konsumen-Februari-2022.aspx

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/11/23/tren-beban-ketergantungan-menurun-apa-dampaknya-bagi-usia-produktif

https://katadata.co.id/intan/berita/6221cc4f7f291/bonus-demografi-dampak-dan-hambatannya#:~:text=Bonus%20demografi%20adalah%20sebuah%20fenomena,tinggi%20dibandingkan%20usia%20non%20produktif


Penulis: Tania Dwi Octaviani

Penyunting: Sherani Soraya Putri


Tidak ada komentar