Header Ads

Peristiwa Jambo Keupok Aceh Tahun 2003

 


Tragedi Jambo Keupok yang terjadi pada tanggal 17 Mei 2003 adalah sebuah pelanggaran HAM berat. Dimana secara kronologis, pada awalnya warga memberikan sebuah informasi kepada anggota TNI bahwa desa tersebut merupakan salah satu dari Gerakan Aceh Merdeka. Kemudian informasi ini ditindaklanjuti oleh aparat keamanan dengan melakukan razia dan menyisir ke kampung-kampung.

Namun dalam operasinya, aparat sering melakukan tindakan kekerasan terhadap masyarakat dengan cara penangkapan, penghilangan secara paksa, penyiksaan dan perampasan harta benda. Kemudian ketika TNI menginterogasi warga satu persatu dan menanyakan keberadaan GAM ( Gerakan Aceh Merdeka ). Bilamana terdapat warga yang tidak berkenan untuk menjawab, pelaku langsung memukuli dan menyiksa warga.

Akibat peristiwa tersebut, 16 warga sipil meninggal karena disiksa, ditembak bahkan ada yang di bakar hidup – hidup. Tragedi ini juga membuat warga terpaksa mengungsi selama 44 hari ke sebuah masjid karena takut dengan TNI akan kembali datang ke desa Jambo Keupok.

Pada masa awal konflik, masyarakat Aceh mengalami kekerasan yang begitu banyak dimulai dari kekerasan fisik, psikis maupun kondisi sosial keagamaan dan ekonomi. Diantaranya juga terjadi pemerkosaan, pelecehan seksual, penyiksaan, penangkapan,pencurian dan penjarahan (Pane, 2011)

Pada akhirnya setelah 30 tahun pasca tsunami dan pemerintah Indonesia telah melakukan perjanjian damai dan mengakhiri gencatan senjata. Namun, perdamaian di Aceh bukanlah semata menjadi titik solusi dari permasalahan masyarakat. Memang benar adanya, secara kasat mata perang dan genjatan senjata memang sudah berakhir. Akan tetapi tingkat kesejahteraan masih minim yang dirasakan oleh masyarakat Aceh dan khususnya para keluarga korban konflik (Nirwana, 2017).

Pembentukan KKR (Kebenaran dan Rekonsiliasi) di Aceh pasca perdamaian, didasarkan pada Pasal 229 No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Hanya saja, berdasarkan Undang-Undang, KKR Aceh disebut sebagai bagian dari KKR Nasional, sedangkan KKR Nasional belum terbentuk hingga saat ini. 

Selain itu, ditemukan pula bahwa konsep kelembagaan KKR Aceh bersifat independen dan non-struktural dengan tujuan untuk memperkuat perdamaian, membantu tercapainya rekonsiliasi antara pelaku pelanggaran HAM dengan korban dan merekomendasikan reparasi menyeluruh bagi korban pelanggaran

Pemerintahan juga bergerak dalam memberikan bantuan terhadap masyarakat korban konflik, yakni dengan melakukan rekonsiliasi yang bekerja sama dengan BBR, perlindungan hukum, memberikan bantuan rumah, modal usaha dan membiayai pendidikan para anak- anak korban konflik dari tingkat SD (Sekolah Dasar) hingga Perguruan Tinggi di Aceh. 

Kondisi sosial masyarakat korban konflik pasca damai bisa dikatakan sudah lebih baik dari sebelumnya, mereka sudah beraktivitas seperti warga-warga yang lain seperti membuka usaha kecil-kecilan, menjahit, berkebun, jualan di pasar dan aktivitas lainnya. 

Akan tetapi, tidak sedikit dari keluarga korban yang masih mengalami trauma atas kejadian 19 tahun lalu. Ditambah terdapat juga ketidakadilan dalam pemberian bantuan kepada pihak korban. Karena selama pasca damai mereka menerima uang tunai hanya dua kali. Seterusnya tidak pernah lagi, baik dari Pemerintah Daerah, Kabupaten, Kecamatan dan Keuchik desa tersebut. 

Sumber:

https://www.kompas.com/stori/read/2021/11/18/080000279/tragedi-jambo-keupok-di-aceh-selatan?page=all#:~:text=KOMPAS.com%20%2D%20Tragedi%20Jambo%20Keupok,penembakan%2C%20pembunuhan%2C%20dan%20pembakaran

Mukhlis, dkk. (2021). PERAN PEMERINTAH TERHADAP MASYARAKAT KORBAN KONFLIK DAN KONDISI KEHIDUPAN SOSIAL PASKA DAMAI


Teks: Hanggar Lintas Bumi 

Redaktur: Kamiliya Nabilah


Tidak ada komentar