Marsinah Sejatinya Tidak Kalah
Foto: Liputan 6
Marsinah, seorang buruh perempuan PT. Catur Putra Surya (PT. CPS) Porong Sidoarjo dari tahun 1993-1995. Kematian Marsinah dihubungkan dengan peran aktifnya dalam demonstrasi buruh PT. CPS Porong pada 3-4 Mei 1993. Ia dikaitkan dengan represifitas pemerintah Orde Baru untuk mewujudkan stabilitas nasional guna menunjang pembangunan ekonomi.
Kejanggalan-kejanggalan yang terdapat dalam proses pengungkapan kasusnya menunjukkan adanya konspirasi penegak hukum untuk menutup aktor sesungguhnya pembunuh Marsinah dan menghindarkan ia dari jeratan hukum.
Secara kronologis, peristiwa tersebut bermula pada 3-4 Mei 1993, terjadi pemogokan buruh PT CPS Porong Sidoarjo menuntut kenaikan upah 20% sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 50/1992. Marsinah merupakan salah satu buruh perempuan yang menjadi penggerak aksi pemogokan tersebut.
Setelah melakukan pemogokan, kemudian Marsinah menghilang pada malam hari tanggal 5 Mei 1993. Ironisnya tidak lama setelah itu, ia ditemukan meninggal dunia pada 9 Mei 1993 di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Kabupaten Nganjuk.
Kematian Marsinah lambat laun ramai dibicarakan masyarakat, hingga ke luar negeri. Yang di mana menarik perhatian banyak pihak hingga menimbulkan banyaknya tuntutan, agar pemerintah Indonesia segera mengungkap kasus kematiannya.
Pada 1 Oktober 1993 Yudi Susanto dan delapan karyawannya (Yudi Astono, Mutiari, Ayib, Suprapto, Soewono, Widayat, Bambang dan Prayogi) ditangkap oleh orang yang menyembunyikan identitasnya dengan tuduhan telah merencanakan pembunuhan Marsinah. Banyak ahli hukum menyatakan bahwa proses penangkapan hingga peradilan kesembilan orang tersebut menyalahi aturan hukum.
Pengadilan Negeri Sidoarjo dan Pengadilan Tinggi Surabaya menyatakan bahwa kesembilan terdakwa terbukti bersalah dan mendapatkan vonis penjara, akan tetapi pada 3 Mei 1995 Mahkamah Agung (MA) RI menyatakan bahwa para terdakwa tidak terbukti melakukan perencanaan pembunuhan terhadap Marsinah dan dinyatakan bebas dari segala tuduhan.
Dengan demikian pengungkapan kasus Marsinah tidak ada kejelasan, karena dengan dibebaskannya para terdakwa semakin mencurigakan. Sebenarnya siapa yang merencanakan pembunuhan terhadap Marsinah. Hal ini disebabkan oleh adanya konspirasi dari pihak tertentu yang tidak menginginkan kasus Marsinah terungkap dan melindungi orang-orang yang terlibat dari jeratan hukum.
Terbunuhnya Marsinah sebagai pemimpin gerakan akan membuat buruh lainnya takut untuk melakukan gerakan buruh kembali. Bukan hanya buruh PT. CPS saja yang akan takut, akan tetapi seluruh buruh di Indonesia tidak akan berani melakukan gerakan. Marsinah merupakan salah satu buruh dari sekian banyak buruh yang mengalami dan memahami ketidakadilan sebagai seorang buruh di Indonesia.
Marsinah juga bukan satu-satunya buruh yang mengalami nasib malang karena keberaniannya melawan ketidakadilan. Seperti Petrus Tomae buruh pabrik semen PT. Indocement meninggal pada 29 Januari 1994, Rusli buruh PT. IKD Medan meninggal pada 11 Maret 1994 dan Titi Sugiarti buruh tekstil di pabrik PT. Kahatex Bandung yang meninggal pada 30 April 1994.
Ketiga buruh tersebut dikenal sebagai buruh yang aktif dan kritis, hal ini membuktikan bahwa kematian Marsinah tidak dapat menghentikan gerakan buruh untuk melawan ketidakadilan. Kasus kematian ketiga buruh tersebut tidak banyak diketahui masyarakat luas.
Seperti halnya kasus pengungkapan kematian Marsinah, pengungkapan kasus ketiga buruh tersebut juga tidak ada penyelesaian yang jelas hingga saat ini.
Sumber:
Dita Anggrahinita Yusanta, Sumartini, M. (2017). Jurnal Sastra Indonesia Progresivitas Perempuan Terhadap Ketidakadilan Jender dalam Drama Marsinah.
Jurnal Sastra Indonesia, 6(2), 37–45. http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jsi
Musfirotun, Y. (2011). Refleksi tiga belas tahun pejuang buruh perempuan. 2011, 365–372.
Teks: Dwi Rahayu
Redaktur: Kamiliya Nabilah
Beri Komentar