Header Ads

Kilas Telisik Gerakan Aceh Merdeka


Sumber: Kumparan

Jas Merah, jangan lupakan sejarah. Begitu kiranya ucap bapak proklamator Indonesia Boeng besar Soekarno. Sebagai masyarakat Indonesia, sudah sepantasnya untuk mencari tahu mengenai sejarah akan bangsa ini, yang dimana tentu teramat banyak sejarah yang telah ditoreh oleh bendera merah putih tercinta.

Karena bangsa ini lahir dengan beragam kisah. Baik kisah sedih, senang, ataupun kisah yang tragis. Dan tulisan ini akan membahas singkat salah satu dari kisah tersebut, kisah yang akan mengajarkan kita. Bahwasanya HAM (Hak Asasi Manusia) sangat layak untuk diperjuangkan. Karena HAM merupakan hak dasar manusia, atau bahkan makhluk hidup.

GAM (Gerakan Aceh Merdeka) adalah suatu gerakan separatisme bersenjata yang berniat untuk memisahkan Aceh dengan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Konflik antara NKRI dengan GAM dimulai sejak tahun 1976, telah menggoreskan tinta merah pada perjalanan sejarah negara Indonesia. Dan tentunya merupakan pengalaman mengerikan bagi masyarakat Aceh pada masa itu. Bagaimana tidak, banyak pelanggaran HAM berat yang terjadi terhadap masyarakat Aceh. 

Hal ini mengharuskan Aceh menjadi berstatus DOM (Daerah Operasi Militer) yang diberlakukan sejak 1990-1998. Namun para aktor keamanan yang diharapkan menjalankan kebijakan represif, justru diduga melakukan pelanggaran HAM berat terhadap GAM maupun rakyat sipil Aceh. Terdapat ribuan orang yang telah hilang serta ditangkap dengan cara yang sewenang-wenang tanpa melalui prosedur hukum yang jelas. Terlebih banyak dari mereka yang di eksekusi di depan umum. Perempuan dan anak di bawah umur juga mengalami tindakan kekerasan seksual yang dilakukan oleh aktor keamanan. 

DOM usai, pada pasca rezim orde baru tumbang. Dimana status DOM di Aceh dicabut oleh presiden ketiga Indonesia B.J Habibie. Lima tahun setelah DOM dicabut oleh presiden RI ke tiga, operasi militer di Aceh kembali dilakukan oleh Indonesia. Kali ini dengan istilah DM (Darurat Militer). Dilansir dari situs Kumparan.com, penetapan Darurat Militer di Aceh dipicu karena gagalnya perundingan perdamaian antara NKRI dengan GAM, dimana GAM menolak ultimatum Pemerintah Indonesia untuk menerima otonomi khusus dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perundingan yang dimulai sejak 9 Desember 2002 saat dimana pemerintah Indonesia dan GAM menandatangani perjanjian damai (Cessation of Hostilities Agreement- CoHA), di Jenewa, Swiss. 

DM Aceh diterapkan dari 19 Mei 2003 hingga 18 Mei 2005 oleh Megawati, selaku Presiden Indonesia saat itu melalui Keppres (Keputusan Presiden) No. 28/2003 tentang Pernyataan Keadaan Bahaya dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang selanjutnya diperpanjang melalui Keppres No. 97/2003 pada 18 November 2013 (Kontras : 2006). 

Keppres tersebut memberikan kekuatan hukum yang kuat kepada militer untuk memulihkan keamanan di Aceh melalui operasi militer. Dampaknya sejumlah kekerasan dan pelanggaran HAM terus terjadi. Sebanyak 1.963 orang tewas, 2.100 orang luka-luka, 1.276 orang mengalami penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (dilansir dari kontraS.org). 

Berdasarkan data-data yang ada, operasi militer tidak mampu membedakan anggota kelompok bersenjata GAM dengan aktivis politik, pembela HAM, termasuk para pekerja kemanusiaan dan para jurnalis yang bekerja untuk memperoleh informasi. 

Dalam beberapa kasus, aparat keamanan bukannya tidak mampu membedakan, akan tetapi terlihat sengaja untuk menyempitkan ruang publik (ruang demokrasi) di Aceh. Hal ini terlihat dalam berbagai bentuk peristiwa seperti pelarangan dan pembubaran aksi-aksi kelompok masyarakat sipil, hingga pembubaran sebuah kegiatan pelatihan yang diadakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). 

Contoh seperti maklumat PDMD (Penguasa Darurat Militer Daerah) Aceh yang berisi perintah tembak di tempat. Dalam perintah tembak tersebut, PDMD menyamaratakan antara target sasaran tembak terkait kriminalitas dengan target operasi penumpasan kekuatan Gerakan Aceh Merdeka. 

Dalam buku “Aceh, Damai Dengan Keadilan?” yang diterbitkan Kontras tahun 2006, tercatat terdapat 63 aktivis yang tewas, ditahan, disiksa, atau hilang. Mereka adalah para pekerja HAM dan aktivis perdamaian di Aceh, yang berusaha memonitoring pelaksanaan DM Aceh, namun mereka menjadi korban kekerasan. Semua akses informasi dikontrol secara sepihak oleh PDMD Aceh. Kemudian penentuan seseorang GAM atau bukan, tergantung keputusannya yang subjektif.

TNI telah menetapkan secara rinci musuhnya pada saat Darurat Militer ini berlangsung (musuh dalam hal ini Gerakan Aceh Merdeka). Dimana musuh yang akan ditumpas berkekuatan 5.325 orang dengan pucuk senjata berjumlah 2000. Karena hal ini, TNI menyiapkan 50.000 hingga 60.000 serdadu yang terbentuk antara lain, Angkatan Darat, Brimob, Angkatan Laut, serta Angkatan Udara. Strategi dalam gabungan laskar militer ini memiliki skala 10:1 yang berarti 10 orang dari gabungan laskar militer tersebut akan berhadapan dengan 1 orang dari GAM.

Mabes TNI dan Menkopolkam ad interim Hari Sabarno memaparkan beberapa temuan menarik yang aneh. Dalam pernyataannya, operasi terpadu telah mengurangi kekuatan GAM sekitar 60% dengan merebut kekuatan senjatanya sekitar 40%. Lebih rinci lagi dalam pernyataanya, hampir selama setahun operasi ini telah menewaskan 1.963 orang, 2.100 orang, serta 1.276 anggota GAM yang telah menyerahkan diri dan 1.045 pucuk senjata. 

Apabila dihitung, ada kejanggalan dalam data tersebut. Dimana menurut data yang yang telah dinyatakan itu, tercatat total 5.339 orang. Sementara menurut data Mabes TNI dan Pemerintah Pusat tercatat jumlah personel GAM yakni 5.325. 

Berarti jika mengacu pada data Mabes TNI dan Pemerintah Pusat, terdapat 14 orang tewas yang bukan anggota GAM. Bukan mustahil, mereka adalah korban penduduk sipil yang dituduh anggota GAM. Warga sipil yang menjadi korban akibat salah sasaran atau justru kesengajaan, karena menjadi sasaran operasi. Atau memang operasi militer sendiri dipersiapkan secara serampangan oleh PDMD Aceh sesukanya, tanpa mempertimbangkan ukuran-ukuran kemanusiaan.


Kekerasan Terhadap Warga Sipil Selama Setahun DM (Kontras : 2006)

Bentuk kekerasan

Jumlah

Pembunuhan

383

Penculikan

102

Penembakan

92

Penangkapan

244

Penyiksaan

164

Pembakaran

94

Intimidasi

5

Pemerkosaan

19

Pelecehan seksual

8

Penggeledahan

58

Penghilangan

24

Pemukulan

1

Penahanan

3

Pemboman

19

Perampokan 

11

Penyerahan diri 

99

Total

1326


Penulis: Akbar Adi Benta

Redaktur: Kamiliya Nabilah


Tidak ada komentar