Mei Merah
Foto: Liputan 6
Kerusuhan mei 1998 adalah akhir dari orde baru dan awal mula reformasi. Latar belakang terjadinya peristiwa ini dikarenakan krismon yang melanda dunia terutama beberapa negara Asia. Bukan hanya itu, kejenuhan masyarakat dengan pimpinan yang sudah lama berkuasa. Demi mempertahankan kekuasaannya, pemerintahan rela menganiaya bahkan membunuh rakyat yang berani menentangnya.
Pada dasarnya demonstrasi berlangsung tenang dan damai berubah menjadi tegang dan mencekam ketika mulai terjadi penembakan yang membabi buta oleh aparat keamanan yang diarahkan ke kampus Trisakti. Empat mahasiswa Universitas Trisakti terbunuh pada peristiwa ini akibat penembakan brutal aparat keamanan dan lainnya luka luka. Mereka tertembak di bagian kepala, tenggorokan dan dada.
Upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM pada Tragedi Trisakti cukup panjang. Namun nampaknya belum ada kesungguhan dan komitmen yang kuat dalam menuntaskan kasus ini. Ketegasan hukum dengan tebang pilih atau tumpul ke atas tajam ke bawah, masih menjadi tugas besar untuk hukum di Indonesia.
Pembantaian Etnis China
Buntut dari peristiwa Mei 199 menjadi kesempatan untuk menuntaskan sentimen terhadap etnis China. Pembantaian etnis China pada tanggal 12 Mei 1998, ada sekumpulan massa yang turun ke jalan dan mengadakan demonstrasi. Sekumpulan massa ini melakukan pengrusakan dengan cara melempari batu dan mengakibatkan bagian depan toko milik etnis Cina rusak dan pecah.
Siapapun yang bermata sipit dan kulit putih pada peristiwa tersebut tidak akan dibiarkan lepas dan aman begitu saja. Hingga akhirnya etnis China tidak berani keluar rumah, bahkan tidak sedikit pula yang menutupi identitasnya dengan menggunakan hijab. Juga perempuan China banyak yang mengalami kekerasan seksual. Namun sayangnya kasus ini sampai sekarang pun tak pernah dituntaskan. Peristiwa ini sangat memberikan dampak psikologi kepada etnis China di Indonesia.
Sebagai bentuk permintaan maaf, salah satu Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid atau disapa Gus Dur membatalkan keputusan mantan Presiden Soeharto Nomor 127/U/Kep/12/1966 tentang prosedur ganti nama bagi Warga Negara Indonesia yang memakai nama Tionghoa, Nomor 49/U/8/1967 pendayagunaan media massa berbahasa Cina dan nomor 14 Tahun 1967 larangan agama, kepercayaan, pendidikan dan adat-istiadat.
Keputusan Presiden Gus Dur memberikan angin segar bagi pemenuhan hak etnis Tionghoa di Indonesi. Tertera pada Nomor 6/2000 yang di mana memperbolehkan orang Tionghoa menjalankan segala bentuk ekspresi kebudayaan Tionghoa, agama, mempelajari bahasa Mandarin beserta aksaranya dan terakhir perayaan Imlek dinyatakan sebagai hari libur nasional (Wibowo, 33-34-170).
Sumber :
Fuji Titulanita, Siti Sumardiati, Mrr. Ratna Endang W (2015). KERUSUHAN PASAR GLODOK: STUDI KASUS ETNIS TIONGHOA DI
KELURAHAN GLODOK KECAMATAN TAMAN SARI JAKARTA BARAT)
GLODOK’S MARKET RIOT: CASE STUDIES OF ETHNIC TIONGHOA AT SUBDISTRICT GLODOK DISTRICT TAMAN SARI JAKARTA BARAT, 1998-2000. Publika budaya. Volume 1(3). 11-18
Teks : Kinanti Nurachma
Redaktur: Kamiliya Nabilah
Beri Komentar