Tragedi Wamena Papua
Foto: Liputan6.com
Wamena menjadi medan berdarah pada hari Senin, 23 September 2019. Secara kronologis hal itu terjadi setelah yang sebagiannya berseragam SMA (sekolah menengah atas) melakukan pengrusakan dan pembakaran terhadap sejumlah bangunan, termasuk di dalamnya kantor bupati Wamena. Serta menyerang para warga dengan merusak semua fasilitas umum. Baik dari gedung pemerintahan, tempat ibadah, rumah warga maupun sarana pendidikan.
Kurang lebih 33 orang asli Wamena maupun pendatang harus meregang nyawa dalam kerusuhan tersebut dan 65 lainnya terluka. Karena para demonstran itu melakukan tindakan anarkis yang bersifat provokatif, sehingga mengakibatkan semua wilayah di daerah Hom Hom Wamena terbakar habis tanpa sisa.
Pada kenyataannya kerusuhan yang terjadi disebabkan oleh penyebaran berita hoaks yang sangat cepat merebak di masyarakat. Menyebutkan bahwa telah terjadi tindakan rasisme yang dilakukan oleh seorang guru kepa muridnya yang berakhir pada timbulnya marah warga. Maka dapat dikatakan bahwa aksi pengrusakan dan penyerangan oleh massa SMA PGRI dan warga lainnya merupakan bentuk solidaritas melawan ujaran rasis tersebut.
Secara pengertian rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu. Artinya bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lainnya.
Sedangkan yang terjadi di tanah Papua pada bulan September itu merupakan suatu kesalah pahaman bahwa telah terjadi tindakan rasisme, padahal notabenenya tidak demikian. Namun dikarenakan memang isu rasisme sangat sensitif, hal tersebut memicu dukungan ketidak setujuan dari warga lain.
Sehingga ketika orang-orang yang tidak bertanggung jawab menyebarkan informasi yang tidak benar, mereka tersulut emosinya. Kemudian terjadilah aksi kerusuhan yang sulit dikendalikan. Pada akhirnya menimbulkan dampak fisik maupun psikologis, hingga trauma bagi warga setempat.
Jika berangkat dari kejadian di Wamena, maka dapat dikatakan bahwa HAM (hak asasi manusia) tidak di dapatkan oleh warga sepenuhnya. Karena secara jelas telah terjadi pelanggaran HAM itu sendiri.
Terbukti dengan adanya tindak kejahatan yang dimaksudkan kepada warga asli Wamena maupun pendatang, di mana mereka tidak dapat lagi mendapatkan hak untuk mempertahankan hidupnya ditengah situasi kerusuhan yang berkecamuk.
Padahal telah tertera di dalam pasal Pasal 28 A berbunyi “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Sumber:
www.bbc.com
Penulis: Annisya Putri Suryana
Redaktur: Kamiliya Nabilah
Beri Komentar