Mengupas Sanksi Bagi Predator Seksual dan Sindikat Patriarkis di Antara Kita
Sumber: Pixlelab
Saya merasa geram terhadap pelaku pelecehan seksual, apalagi
jika ia mendapat pengampunan dari banyak orang, atau yang lebih ironis adalah
memperoleh perlindungan atas nama kepentingan mayoritas.
Saya
benar-benar tak habis pikir ketika mengetahui masih ada orang-orang yang
mencoba melindungi pelaku pelecehan seksual. Bagaimana bisa seorang yang
berakal melindungi seorang kriminil?
Perasaan
geram yang saya miliki tentunya beralasan. Apabila pelecehan itu terjadi pada
saya, ibu saya, orang-orang terdekat, bahkan adik-adik saya di tingkat kampus.
Bukankah tidak ada tempat yang aman bagi korban ketika pelaku mendapatkan
pengampunan dan perlindungan?
Isu
pelecehan seksual kini bukan hal baru. Banyak orang mulai bersuara (speak up) sebagai
korban pelecehan, beberapa orang lainnya berbagi pengalaman mengenai
seluk-beluk pelecehan seksual dengan tujuan memberikan edukasi secara hukum
agar kasus tak mentok selesai lewat jalur ‘kekeluargaan’.
Ironi,
maraknya kasus pelecehan seksual akhirnya berujung pada jalan damai yang tidak
menyelesaikan masalah. Pelaku pelecehan seksual secara konkret masih
berkeliaran di tengah masyarakat, menjelma sebagai manusia tanpa dosa.
Bagaimana
bisa kita membebas-liarkan seorang predator seksual yang juga seorang kriminil
di tengah-tengah masyarakat? Ibarat membudidayakan pembunuh, bukankah korban
akan terus berjatuhan?
Sebelum
lebih jauh opini ini berlanjut, saya rasa perlu kita berpijak lebih dulu pada
batasan-batasan hukum yang jelas agar memiliki legal standing yang kuat.
Mengenal Legal Standing
Sejauh
ini, pelaku tindak perkosaan, perzinahan, atau kekerasan yang mengarah pada
perkosaan atau perzinahan dapat dipidana menurut Pasal 284 dan Pasal 285 KUHP
dengan hukuman paling lama 12 tahun penjara. Namun pasal-pasal KUHP ini
terbatas digunakan pada tindak pidana perkosaan, perzinahan, atau
kekerasan.
Meski
demikian, pelaku pelecehan seksual sudah sepatutnya khawatir dengan Rancangan
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang kini tengah dibahas
oleh badan legislatif DPR.
Pasalnya,
dalam RUU PKS Bab II Pasal 2 ayat 2 revisi terbaru, praktik pelecehan atau
kekerasan berupa tindakan fisik yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang
dan keinginan seksual yang tidak dikehendaki oleh korban dan menyerang
kehormatan, bisa dipidana paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda
paling banyak Rp50 juta.
Selain
itu, perbuatan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan,
nama atau identitas martabat palsu, penyalahgunaan kepercayaan, penyalahgunaan
wewenang, atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan, atau ketergantungan
seseorang agar seseorang melakukan hubungan seksual dengan maksud menguntungkan
diri sendiri atau orang dapat dipidana menurut Pasal 5 RUU PKS dengan penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, dan atau
pidana denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Sementara
itu pelaku pelecehan seksual di lingkungan Pendidikan Tinggi, bisa diberikan
sanksi administratif sesuai dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Dalam
beleid tersebut, pelaku baik dosen atau mahasiswa yang terbukti melakukan
kekerasan seksual dapat dikenakan sanksi administratif.
Menurut
aturan tersebut, sanksi administratif paling berat yang diberikan kepada dosen
adalah pemberhentian tetap dari jabatan sebagai pendidik. Sementara bagi pelaku
berstatus mahasiswa, sanksi paling berat adalah penundaan perkuliahan (skors),
pencabutan beasiswa, atau pengurangan hak lain sebagai mahasiswa.
Tak
hanya itu, Permendikbud 30/2021 itu juga menyebut Pemimpin Perguruan Tinggi
dalam hal ini dekan atau rektor dapat menjatuhkan sanksi administrasi lebih
berat kepada pelaku.
Lebih Jauh Tentang Seorang Kriminil dan Sindikatnya
Setelah
kita ketahui bahwa pelaku pelecehan seksual dapat dikenakan hukuman pidana, tak
aneh rasanya jika menyebut mereka sebagai seorang kriminil.
Sebagai
seorang kriminil, pelaku pelecehan seksual merupakan subjek nyata dari praktek
perampasan kebebasan, pengingkaran terhadap norma sosial dan hukum formal yang
berlaku.
Dengan
demikian, pelaku pelecehan seksual dapat disejajarkan dengan mereka yang
melakukan manipulasi dan eksploitasi terhadap masyarakat, kebiadaban
di tengah-tengah peradaban.
Pertanyaan
selanjutnya adalah bagaimana pelaku ini masih bisa bebas berkeliaran di
lingkungan masyarakat?
Bebas-liarnya
pelaku pelecehan seksual di tengah-tengah masyarakat dimungkinkan oleh adanya
peranan lingkungan sosial yang memberikan pengampunan juga perlindungan kepada
pelaku pelecehan seksual.
Fenomena
ini terumuskan dengan baik di dalam terminologi sindikasi (persekutuan).
Sindikasi
sangat mungkin terjadi secara instant selama hal tersebut
berkorelasi dengan nilai-nilai tertentu yang dipercayai oleh suatu masyarakat.
Sederhananya,
tak perlu memiliki latar belakang kesukuan, agama, bangsa, kelompok-golongan
yang sama untuk menganggap perempuan sebagai komoditas, setiap orang hanya
perlu mengamini nilai-nilai yang benapaskan patriarki untuk
mewujudkannya.
Sebagai
sindikat patriarkis, mereka umumnya akan melihat fenomena pelecehan seksual
terhadap perempuan sebagai sebuah ancaman. Mereka khawatir apa yang dilakukan
pelaku akan berdampak terhadap diri, martabat, dan lingkungannya.
Apabila
pelaku pelecehan seksual adalah teman di lingkungan kampus atau rekan kerjanya
di kantor, langkah pertama yang akan mereka ambil adalah menutupi kasus yang
terjadi serapat mungkin. Mereka akan dengan senang hati menerima usulan
proposal damai dari pihak pelaku.
Sederhananya,
sindikat ini akan memberikan pengampunan pada pelaku agar kasus tertutup
rapat-rapat, sehingga citra masing-masing individu, organisasi, atau instansi
tersebut tak tercoreng di mata publik.
Mereka
akan berdalih bahwa tindakan mereka semata-mata ditujukan untuk melindungi
korban, namun sejatinya mereka hanya mencoba untuk melindungi diri mereka
sendiri atas nama harga diri, nama baik profesi, instansi, ataupun
industri.
Oleh
karena itu, rasa aman ketika berada di ruang publik adalah omong kosong selama
pelaku kekerasan seksual dibiarkan hidup dengan bebas sembari melakukan seleksi
terhadap calon korban selanjutnya.
Untuk
mengakhiri kenistaan ini, mau tidak mau siapapun yang menjadi korban pelecehan
seksual harus berani menyuarakan kekejian apa yang menimpanya. Hal itu
diperlukan agar pelaku mendapatkan apa yang layak diterimanya yakni sanksi
sosial dan hukuman pidana.
Tentu
saja sanksi sosial dan hukuman pidana tidak akan pernah mengembalikan apa yang
telah dirampas dari korban, semuanya tidak akan sama seperti sebelum pelaku ini
muncul di kehidupan korban. Bagaimanapun beratnya, awal yang baru harus dimulai
dan semuanya diawali dengan penghancuran total terhadap tatanan sindikat
patriarkis di sekitar kita dengan menyuarakan kebenaran.
Melalui speak
up, kita tengah membidani lahirnya generasi baru yang mempunyai kesadaran
terhadap pentingnya posisi untuk anti kepada komodifikasi dan subordinasi
perempuan di dalam masyarakat.
Selain
itu, perlu juga kiranya memberikan dukungan terhadap pengesahan RUU PKS agar
segera ditetapkan menjadi Undang-Undang guna memberikan hukuman pada pelaku
pelecehan seksual seberat-beratnya, sebagaimana mestinya.
Sebagai
penutup tulisan ini, saya percaya apa yang saya kemukakan di atas akan menjadi
mimpi buruk yang menghantui hari-hari pelaku.
Sementara
bagi korban, beranikan diri kalian untuk speak up hingga
pelaku mendapatkan hukuman seberat-beratnya, kapan pun kalian siap. Kalian
tidak sendirian, kami selalu berada dipihak kalian, lawan!
Penulis: Rahadian (Ketua Divisi Litbang BPPM Pasoendan
2017-2018) dan Melani Putri (Pemimpin Redaksi BPPM Pasoendan 2017-2018, Jurnalis
IDN Times)
Penyunting : Sherani
Beri Komentar