Header Ads

Hari Perempuan Internasional: Urgensi Kesetaraan Gender

 

Suasana saat aksi IWD 2022 berkumpul di depan Gedung Sate. Selasa (8/3). 
Sumber: Sherani.

Lengkong Besar, BPPM Pasoendan- Persatuan Rakyat Untuk Pembebasan Perempuan (PARAPUAN) menggelar aksi International Women’s Day (IWD) 2022, pada Selasa (8/3) di depan Gedung Sate, Bandung. Tema yang diusung tahun ini yakni Kapitalisme Adalah Pandemi, Persatuan Perempuan Tertindas Adalah Solusi. Sejatinya momentum IWD adalah suatu peringatan  bahwa penindasan terhadap perempuan di berbagai sektor kehidupan masih berlangsung hingga saat ini. Konstruksi sosial menjadikan perempuan sebagai  pihak yang lemah dan rentan mendapatkan pelecehan seksual maupun kekerasan seksual. 

Berdasarkan dalam keterangan tertulis, selain membahas urgensi kesetaraan gender dalam berbagai aspek. PARAPUAN juga memberi perhatian tentang isu perampasan ruang hidup, HAM (Hak Asasi Manusia) yang belum ditegakkan secara adil, reforma agraria dan lain sebagainya. 

Perbedaan Gender dan Seks 

Menurut Andili salah satu koordinator PARAPUAN dan bagian dari GREAT (Gender Research Center) UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) menjelaskan terdapat perbedaan antara gender dan seks. Seks adalah sesuatu yang terbentuk secara biologis, misalkan perempuan terlahir dengan vagina dan laki-laki terlahir dengan penisnya. Sedangkan gender adalah suatu peran, fungsi dan tempat yang ditentukan oleh lingkungan sosial maupun budaya.

“Misalkan aku perempuan dikonstruksikan harus diam dirumah, menurut kepada laki-laki, harus fokus dengan hal-hal domestik,” ungkapnya. 

Bentuk fisiologis perempuan yang acap kali diidentifikasikan dengan standar patriarkal, melanggengkan stigma identitas antara maskulin dan feminin. Ironis ketika pandangan tersebut semakin diinternalisasi oleh lembaga keluarga, satuan pendidikan maupun negara. Maka tidak aneh apabila pandangan kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan, masih dianggap sebagai sesuatu yang tidak selaras dengan kodrat. Khususnya dalam konteks domestik masyarakat Indonesia yang bias gender. 

Kesetaraan Gender dan Kapitalisme 

Ia pun mengatakan bahwa feminisme bukan berbicara tentang siapa yang mengangkat galon, namun lebih besar daripada hal tersebut. Dalam hal ini feminisme sebagai sebuah pemikiran yang senantiasa mengalami dinamika dan memiliki banyak aliran pemikiran, bergerak untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan. Kesetaraan gender atau feminisme bertujuan untuk terus mengubah keadaan atas diskriminasi, kekerasan, eksploitasi dan penindasan yang dialami oleh perempuan (yayasan.org). 

Menelisik historis IWD yang lahir sejak 1900an, mengartikan sudah 100 tahun penindasan itu ada. “Jadi gerakan ini akan selalu ada, sampai penindasan itu hilang, sampai keadilan ini ada,” ujar Andili.

Dalam ruang lingkup mikro, kesetaraan gender dapat di implementasikan dengan mendengarkan pendapat tanpa harus terikat oleh latar belakang gender. Apabila tidak demikian akan menimbulkan peluang terjadinya kondisi subordinat kepada perempuan. 

Ia mengatakan jika diantara laki-laki terdapat satu perempuan yang menyampaikan pendapat dan layak untuk menjadi pemimpin, sudah seharusnya diberikan kesempatan yang luas. Jangan sampai tidak digubris dan lebih mengutamakan kesempatan bagi laki-laki. 

Seperti dalam sistem politik Indonesia, keterwakilan perempuan di kursi parlemen hanya diberikan kuota 30 persen, “harusnya partisipasi perempuan dan laki-laki itu disamakan saja,” terangnya.

Sistem ekonomi kapitalisme semakin memperpanjang penindasan yang terjadi kepada perempuan. Terlebih dengan adanya perbedaaan kelas antara kaum borjouasi atau golongan penguasa dan golongan lapisan sosial rendah yang seringkali terpinggirkan. Sehingga laki-laki mendapatkan ruang yang besar untuk berperan mencari sumber penghidupan. 

Sedangkan perempuan diharuskan melakukan pekerjaan domestik atau dirumahkan. Realitanya ikatan kuat patriarki terus menghantui perempuan meskipun sudah bisa berdaya diluar rumah, yakni dengan peran gandanya untuk mengurusi pekerjaan domestik. 

Andili mengatakan biarpun perempuan melakukan pekerjaan utama dan menjadi tulang punggung bagi keluarganya. Namun tidak menghapus anggapan perempuan sebagai pekerja pelengkap yang sifatnya bekerja hanya untuk membantu pendapatan suaminya.

Ia mengutarakan pengalamannya ketika mewawancarai Serikat Buruh Tani Perempuan di Pangalengan. Mereka mengatakan kepada Andili dengan pekerjaan yang  dijalani saat ini, bermaksud untuk membantu suami. Kendati beban kerja mereka dengan suaminya sama, namun perihal upah tetap tidak setara. 

“Tapi ketika pulang, perempuan juga dituntut untuk membereskan hal-hal domestik, itu juga bentuk kapitalis yang terus membuat perempuan itu berada di kelas yang seperti itu,” ungkapnya. 

Maraknya Kasus Kekerasan Seksual 

Merujuk pada data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) telah terjadi 8.800 kasus kekerasan seksual sejak Januari hingga November 2021. Sementara itu, Komnas Perempuan juga mencatat sebanyak 4.500 aduan terkait kekerasan seksual yang masuk pada kurun waktu Januari hingga Oktober 2021 (CNN Indonesia). 

Dalam ranah satuan pendidkan, Kemendikbudristek (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi) melakukan survei terhadap 79 perguruan tinggi di 29 kota mengenai kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Hasilnya 77 persen dosen mengaku bahwa pernah terjadi kekerasan seksual di kampusnya.

Dengan demikian, urgensi terhadap kampus untuk menerapkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi pun semakin menguat. Andili mengatakan bahwa dalam forum konsolidasai PARAPUAN, fakta yang muncul di lapangan, implementasi Permendikbud di berbagai universitas nyatanya belum sepenuhnya di terapkan. 

Kehadiran Satgas (Satuan Tugas) penanganan kekerasan sesksual di lingkungan kampus jelas sangat dibutuhkan bagi proses pendampingan korban. Namun, banyak kampus belum memiliki Satgas. Apabila harus menunggu Satgas dan tidak bergerak maju ketika mencuat isu kekerasan seksual, dikhawatirkan akan mempengaruhi waktu untuk mengadvokasi para korban.

Andili berpendapat sembari menindaklanjuti legalisasi Satgas, lebih baik membentuk aliansi-aliansi kecil untuk mendampingi korban agar terjamin keamanannya dan secara konsisten terus berupaya menyuarakan isu terkait.

“Harapannya tidak ada politisasi, adanya satgas ini kadang juga menjadi ruang yang basah juga untuk dipolitisasi, sedangkan kekerasan seksual itu bukan hal untuk dipolitisasi,” tegasnya. 

Lebih jauh, IWD membidani lahirnya gerakan-gerakan perjuangan kesetaraan gender. Seperti Andili yang terlibat dalam UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) gender yaitu GREAT UPI. Dimana menjalankan fungsi untuk mengawal kerja Satgas, membuka hotline di kampus dan mengadakan pelatihan advokasi gender. Tujuannya agar kekerasan seksual tidak terjadi lagi, yakni dengan terus mengupayakan edukasi, advokasi dan sosialisasi perihal kekerasan seksual di lingkungan kampus. 

Sebelumnya GREAT UPI melangsungkan sekolah feminis, “kita menghadirkan Teh Eva dari Taman Sari, kita menghadirkan para penyintas 65 untuk bersuara,” kata Andili.  Hal tersebut akan menjadi program yang bersifat keberlanjutan. Sehingga proses perancangan skema perlindungan kepada para korban akan terus diusahakan dan artinya tidak berhenti dalam perayaan IWD semata. 

Disisi lain derasnya arus teknologi, informasi dan komunikasi digital mempengaruhi penilaian publik terhadap kasus kekerasan seksual yang diviralkan. memudahkan  tindakan tegas kepada pelaku. Para korban yang berani bersuara menyiratkan bahwa perjuangan perempuan masih hidup. 

Lebih lanjut Andili berpandangan bahwa dengan adanya kasus kekerasan seksual yang viral, maka jatuhnya pelaku akan mendapatkan hukuman yang jauh lebih berat. Karena ia tidak hanya menanggung resiko hukuman yang berbasis konstitusi negara, namun juga akan mendapatkan hukuman sosial, tepatnya dari warganet. Terlebih amarah publik menanggapi kasus tersebut juga mempengaruhi gerakan masif untuk berada di pihak korban. Itulah salah satu bentuk perlawanan kepada pelaku melalui medium dunia digital.

Aktualisasi Diri Perempuan

Perempuan tidak perlu lagi inferior dari laki-laki, karena pada dasarnya setiap manusia memiliki hak yang sama. Menurut Andili langkah yang dapat dilakukan bagi perempuan untuk berani mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan yaitu harus dimulai dari diri sendiri. Karena yang memahami bagaimana menjadi perempuan adalah perempuan itu sendiri. Selanjutnya memahami bahwa peran kita tidak bisa dibentuk oleh sosial dan tidak ada kodrat yang membatasi diri kita untuk menjadi lebih baik dari diri kita yang sekarang. 

“Dengan adanya kesadaran itu, nanti akan tumbuh keresahan yang sama, ayo juga rangkul perempuan-perempuan yang lain,” tuturnya. 

Bilamana semua pihak bersatu padu untuk mengedukasi dirinya dan menyebarkan pemahamannya tentang kesetaraan gender kepada orang lain, dengan terus merawat rasa marah dan resah terhadap isu perempuan. Maka kekuatan pergerakan perempuan akan semakin meluas dan progresif. 


Sumber

yayasanpulih.org

CNN Indonesia

itjen.kemdikbud.go.id


Penulis: Sherani

Redaktur: Zulfadly






















Tidak ada komentar