Pulau Plastik: Rantai Kehidupan Masa Depan
Judul film: Pulau Plastik
Sutradara: Rahung Nasution, Dandhy Dwi Laksono
Perusahaan Produksi: Visinema Pictures Kopernik Akarumput WatchdoC
Penulis Skkenario: Nadia Astari
Produser: Lakota Moira Angga Dwimas Sasongko (eksekutif)
Bahasa: Indonesia
Durasi: 1 jam 42 menit
Pemeran: Gede Robi, vokalis band Navicula asal Bali; Tiza Mafira, pengacara muda dari Jakarta; dan Prigi Arisandi, ahli biologi dan penjaga sungai dari Jawa Timur.
Sinopsis :
Sebuah film dokumenter oleh Visinema Pictures, Kopernik, Akarumput, dan Watchdoc yang menceritakan tentang tiga individu dan perjuangan mereka melawan polusi plastik sekali pakai. Gede Robi, vokalis band Navicula asal Bali; Tiza Mafira, pengacara muda dari Jakarta; dan Prigi Arisandi, ahli biologi dan penjaga sungai dari Jawa Timur. Ketiga protagonis ini menelusuri sejauh mana jejak sampah plastik menyusup ke rantai makanan kita, dampaknya terhadap kesehatan manusia, dan apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi krisis polusi plastik.
Gede Robi, salah satu tokoh utama asal Bali. Di mana Bali merupakan tempat destinasi mancanegara dengan keindahan wisata alam yang berupa pantai. Namun, permasalahan terjadi ketika tumpukan sampah plastik berada di laut dan di bibir pantai. Karena hal tersebut dapat mengganggu keindahan alam. Bahkan dapat merusak ekosistem laut akibat hadirnya sampah plastik ini. Banyaknya sampah plastik ini maka dibuatlah kerangka aturan mengenai larangan 3 jenis plastik sekali pakai yang diatur dalam Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018 mengenai Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai.
Selain itu, Bali mempunyai hukum Karmaphala. Karmaphala adalah konsekuensi dari perbuatan kita. Segala perbuatan yang kita lakukan akan ada konsekuensinya. Hal tersebut telah terjadi di Bali. Perbuatan atas konsekuensi tersebut adalah ketika menggunakan plastik lalu berakhir di lautan. Dampaknya, Bali yang identik menjadi tempat destinasi tersebut berubah menjadi tempat pembuangan sampah plastik. Selain itu, dalam 300 juta ton plastik sekali pakai hadir perdetik yang sering kali hanya dipakai lalu buang, dipakai lalu buang, dipakai lalu buang. Ironisnya sampah yang ada pada tahun 70-an sampai sekarang masih utuh.
Dalam episode ini menjelaskan gaya hidup dapat menghasilkan banyak sampah plastik. Maka dari itu di episode ini mengenalkan pentingnya untuk pemilihan sampah dari rumah tangga, desa, atau perusahan. Aksi nyata ini dapat memberikan dampak yang bagus. Karena, jika sampah tidak dipilah dengan baik dan benar maka akan terjadi kerusakan pada atmosfer. Selain itu dapat meledak jika tidak dipilah seperti yang terjadi pada TPA Leuwigajah.
Pada film dokumenter ini terlihat Jokowi yang berkunjung ke pasar yang berada di Bali. Kemudian, Gede Robi sempat bertanya terkait regulasi pemerintah pusat seperti apa mengenai isu sampah plastik ini. Sayangnya, Jokowi menjawab dengan apresiasi Bali yang sudah mempunyai regulasi mengenai sampah plastik melalui peraturan gubernur.
Gede Robi tidak sendiri untuk mengkampanyekan isu ancaman plastik ini. Karena, ada Tiza Mafira, seorang aktivis dan pengacara muda dari Jakarta. Pada bagian ini Tiza melakukan aksi membersihkan pantai bersama anak, dan komunitas yang berada di Jakarta. Ketika memungut sampah yang telah di kategorikan. Kemudian ia juga berkampanye mengenai plastik dan memberikan informasi mengenai pawai yang diadakan di Jakarta pada 21 Juli 2019 yang lalu.
Gede Robi, akhirnya bertemu dengan Prigi Arisandi, seorang ahli biologi dan penjaga sungai dari Jawa Timur untuk menjalankan misi besar. Sebelum mereka pergi, Prigi mengajak Gede Robi untuk bertamasya ke sungai dan mengambil sampel limbah plastik yang terdapat di sungai. Di sana mereka mendapatkan mikroplastik, dan serat-serat plastik yang terdapat di batuan sungai. Setelah itu mereka membeli ikan kakap lalu membedah ikan tersebut untuk diteliti, sisanya di masak. Hasilnya, bandeng tersebut terdapat mikroplastik. Bahkan feses hasil dari memakan bandeng tersebut terdapat mikroplastik.
Lebih lanjut mereka pun berangkat ke Jakarta untuk melakukan suatu pawai. Karena perjalanan yang cukup jauh dan melewati beberapa kota, mereka singgah di beberapa kota untuk istirahat sembari kampanye dan melakukan mobile lab, seperti di Yogyakarta untuk mencari sampel 100 orang untuk diteliti fesesnya apakah ada mikroplastik atau tidak.
Permasalahan sampah plastik ini ternyata lebih banyak sampah saset yang di beli masyarakat dengan perekonomian menengah ke bawah. Hal itu dapat dijumpai di tempat saluran air seperti selokan.
Jika di Bali ada peraturan gubernur mengenai larangan plastik. Beda halnya dengan di Bogor. Pemerintah Kota Bogor resmi melarang penyediaan kantong plastik di ritel modern dan pusat perbelanjaan terhitung mulai 1 Desember 2018. Sayangnya, walaupun sudah ada peraturan larangan penyediaan kantong plastik namun tak tergantikan oleh plastik singkong atau biasa disebut bioplastik. Plastik singkong ini mengundang kontroversi.
Prigi dan Gede Robi pun tiba di Jakarta disambut dengan monster plastik. Mereka pun menyumbang sampah plastik yang mereka dapatkan selama perjalanan ke Jakarta. Selain melakukan kampanye bebas plastik, ada juga orasi, dan konser untuk menghibur. Ketika aksi pawai itu berlangsung. Prigi, Gede Robi, dan Tiza mengganti plastik yang dibawa oleh pengunjung ketika car free day dengan totebag.
Faktanya bioplastik sekalipun tidak dapat terurai, karena kemungkinan mengandung polimer. Hal itu diteliti dengan menaruh plastik dan bioplastik di dasar laut selama 6 bulan. Hasilnya, bioplastik yang terurai hanya element organiknya saja. Elemen pendukung seperti polimer tetap ada dan tidak terurai seperti plastik pada umumnya. Ancaman plastik yang nyata ini sangat mengancam semua makhluk hidup baik itu hewan, tumbuhan dan terutama manusia.
Kelebihan :
Film dokumenter ini menjelaskan bahaya plastik secara rinci dan mudah di pahami dengan kata-kata sehari-hari, dengan melibatkan anak kecil turut menambah kesan bahwa sampah plastik dapat mempertaruhkan masa depan anak kecil sebagai pioner bagi masa depan. Pun ditambah dengan menampilkan fakta mengenai impor sampah dari luar negeri yang diselundupkan ke Indonesia. Selain itu mengkampanyekan suatu ide yang menarik seperti membuat arak-arakan dengan mengumpulkan plastik yang dibentuk seperti monster ketika pawai berlangsung, serta melibatkan banyak pihak seperti kaum menengah ke atas dan menengah ke bawah. Selain itu adanya wawancara ke pemerintah daerah mengenai hasil penelitian mikroplastik dan menjawab hasil bioplastik yang menjadi kontroversi, memberikan kejelasan secara ilmiah perihal bahaya sampah plastik terhadap kehidupan makhluk hidup dan biodiversitas di dalamnya.
Kekurangan :
Kekurangannya yaitu perihal kurangnya transparansi data secara komprehensif dampak plastik pada manusia, hewan, dan tumbuhan. Serta kurangnya penjelasan mengenai tanggapan dari pemerintah pusat lebih rinci. Adanya suatu paradoks dalam bagian akhir film, di mana salah satu tokoh memilih buah atau sayuran di supermarket, namun mengambil buah yang ada labelnya di mana label tersebut terdapat plastik.
(Kamiliya Nabilah)
Beri Komentar