Header Ads

Problematika Pembangunan Geothermal Padarincang, Warga Tetap Menolak dan Terus Siaga

 

Spanduk Penolakan Pembangunan Listrik Tenaga Panas Bumi di Sekitar Pemukiman Warga Padarincang Kabupaten Serang, Selasa (14/9/2021).  Foto Zakiana F. Matondang, BPPM 

Padarincang Banten, BPPM Pasoendan - Pembangunan Pembangkit Listik Tenaga Panas Bumi (PLTPB) membuat banyak warga Padarincang yang terletak di Kampung Wangun Desa Batukuwung Kecamatan Padarincang Kabupaten Serang melakukan penolakan terhadap Mega Proyek Geothermal dari Perusahaan Listrik Negara (PLN).  Warga yang tergabung dalam Syarekat Perjuangan Rakyat (SAPAR) melakukan aksi massa mencapai lebih dari 500 orang menggelar istighosah dan mimbar bebas sebagai aksi penolakan proyek Pemeritah.

Proyek PLTPB sudah tidak beroperasi sekitar 5 tahun kebelakang namun spanduk penolakan masih tetap terpasang sepanjang pemukiman warga di Padarincang sebagai aksi massa agar tetap mengawasi pembangunan yang akan berdampak pada ekosistem dan eknomi masyarakat.  

"Masyarakat, alim ulama, santri dan mahasiswa sering mengelar istighosah baik di depan rumah ustadz Aun dan depan pintu masuk utama depan koramil," tutur acuy, selasa (14/9/2021).

Acuy selaku warga Padarincang, mengungkapkan istighosah sebagai langkah yang paling sering dilakukan terutama sebagai media kampanye untuk mempersatukan warga yang notabenya bersifat religius. Namun di samping itu, warga kerap melakukan aksi penyekatan dan pemblokiran alat berat sebagai upaya untuk pencegahan pembangunan Mega Proyek PLTPB Geothermal yang sering dilakukan sejak 2018, hingga Agustus tahun 2019.

"Masyarakat melakukan penghadangan mobil-mobil dan laju alat berat seperti ekskavator dan lainnya yang akan menuju gunung wanguan," ujar Acuy.

Geothermal juga berdampak pada petani salah satunya limbah dari PLTPB yang sangat merugikan lahan sawah. Hampir 2 tahun petani di Padarincang kehilangan mata pencaharian sehingga harus beralih profesi. Warga-warga yang berpikiran sama seperti Acuy pun memiliki persepsi yang sama. Bentuk-bentuk konfrontasi memiliki corak agama, gerakan yang dilakukan di Padarincang pun bergantung pada hubungan akar rumput yang dimiliki warga. Dimana permasalahan terletak diperlawanan ketidakadilan dengan solidaritas bersama.

Kerjasama maupun penopangan kesadaran diri didalam warga menjadi sorotan oleh petani-petani yang mencoba bertahan hidup sejak kemunculan Mega Proyek PLTPB. Kerap masalah mata pencaharian dan personal juga memiliki akar dari pembangunan Geothermal di gunung wanguan.

Yadi (54 tahun), yang sudah lama menjadi petani merasakan dampak dari PLTPB sehingga membuatnya harus melakukan perputaran usaha lainnya. 

"PLTPB memberikan warga padarincang bukan hanya ketakutan saja melainkan juga sawah tidak bisa berfungsi semestinya, limbah PLTPB meracuni lahan petani disini bahkan saat aliran limbah itu masuk ke perairan sawah membuat padi mati dan tidak bisa berbuah yang lebih buruk lagi sawah sudah tidak bisa dialokasikan untuk ditanami padi lagi," ungkap Yadi saat diwawancara melalui obrolan santai di depan Rumah miliknya. 

Penolakan PLTPB membuat warga Padarincang saling bersama-sama melakukan penolakan dan memiliki kesadaran untuk bergerak khususnya para petani yang seharusnya diperhatikan tetapi malah menghentikan sumber pendapatan mereka. Penolakan ini juga dilakukan dengan aksi long march atau berjalan jauh dari Padarincang, Serang menuju Jakarta. Aksi long march ini diikuti oleh para santri dan mahasiswa yang memang menolak adanya Pembangunan PLTPB di Padarincang.

"Proyek ini memang harus ditolak karena akan memberikan kerugian dan dampak buru bagi kami, bersyukurnya di sini warga paham sedikit banyaknya mengenai hukum negara dalam undang-undang dan banyak pihak juga yang membantu kami. Walau pembangunan dihentikan tetap saja kami harus terus berjaga," tutupnya.

Zakiana F. Matondang

Tidak ada komentar