Header Ads

HILANG DAN SUNYI: TENTANG POLITIK DAN PERUBAHAN

 


(Dokumentasi: E-Library, Reza Ardiansyah Pradana)


Tho’ much taken, much abides; and tho’

We are not now that strength which in old days

Moved earth and heaven, that which we are, we are;

One equal temper of heroic hearts,

Made weak by time and fate, but strong in will

To strive, to seek, to find, and not to yield.

(Alfred, Lord Tennyson, “Ulysses,” 1833)


     Puisi itu telah mewarnai dunia sejak 188 tahun yang lalu tapi terdengar begitu dramatis ketika figur M dalam film James Bond berjudul Skyfall (2012) mengutip itu di persidangan yang menyatakan bahwa MI6 sudah tidak lagi efektif dan harus dibubarkan. Puisi yang menyentuh itu seperti nasib yang menempel pada perjalanan hidup manusia, akhirnya puisi itu dikutip oleh G. John Ikenberry dalam bukunya yang berjudul A World Safe for Democracy (2020) yang sedang dibaca dan diperdebatkan baru-baru ini oleh sebagian orang (1). 

      Soal politik, puisi Tennyson itu berupaya menyerukan suatu semangat perubahan, semangat untuk menjemput harapan dan perubahan, melawan tirani massa, kolektivisme yang berubah menjadi gerombolan karena aspek-aspek politis tanpa ruang publik. Akhirnya hampir semua sampai pada titik di mana harapan atas pembaharuan tengah berhadapan dengan kenyataan panjang, kini dunia tengah dilanda suatu krisis besar di mana semua seakan jadi pertaruhan besar, politik tidak lagi menyediakan ruang publik, kekuasaan berharap pada hitungan yang buyar ditelan keadaan, sikap-sikap apolitis yang akhirnya membawa diskursus masuk ke dalam jurang iliberalisme (2).

      Di masa-masa krisis seperti ini, di mana perubahan telah gagal dicetuskan, alternatif tak berhasil ditemukan, pikiran tak lagi menembus batas kemungkinan besar yang membawa pada perbaikan, harapan yang paling mungkin ada pada keberuntungan tentang perubahan. Sepertinya ini bukan waktu yang terlambat untuk merenungkan kembali beberapa jalan untuk ke luar dari kemelut itu. Pandangan-pandangan pemikir dunia soal-soal yang hilang dan sunyi dari kehidupan politik dapat ditelusuri lewat semangat perubahan dan pergantian zaman. Sebut saja misalnya semangat menuju masyarakat demokratis deliberatif dan tindakan komunikatif ala Jurgen Habermas tentang bagaimana syarat dan ketentuan berlaku dalam menjalankan proses sosiologis-intelektual itu melalui jalan rasionalitas (3). Akan tetapi sikap aliterasi dan apolitis mengakibatkan proses yang diharapkan Habermas ini gagal menemui titik temunya. Sebut saja hilangnya ‘kesadaran’ ruang publik, sulitnya masyarakat dalam mengakses lembaga-lembaga penyalur dan penghubung dengan kontrak yang disebut sebagai ‘konstitusi’, juga keterbukaan informasi akibat tersendatnya hasrat politis untuk berpartisipasi.

       Selain Habermas, Jacques Ranciere telah memberikan pandangan akar-rumput proses politik dalam dunia demokrasi yang disebutnya sebagai perselisihan atau disensus (4). Hal yang dapat dibaca lewat Ranciere maupun Habermas sebenarnya berpijak pada suatu kesadaran yang disebut sebagai kesadaran bermasyarakat maupun kesadaran politis. Kombinasi pemikiran ini hanya mungkin dicapai apabila ada pelebaran ruang publik dan peniadaan kelas maupun tanpa status dilakukan. Secara kondisional kini masyarakat tidak memiliki ruang itu, kecuali lewat ruang publik yang tanpa batas sebagaimana disebut media sosial.

     Entah partai politik maupun lembaga negara, secara tidak langsung harus mempertahankan nilai-nilai politik yang bermutu kendati dalam keadaan masyarakat yang apolitis. Artinya perwakilan maupun lembaga berusaha semaksimal mungkin mengeluarkan atau memberikan proposal perubahan politik sesuai dengan argumen yang bermutu. Perwakilan politik yang kian hari kian menyurut akhirnya memberikan kesempatan kepada mereka yang akan menelurkan kebijakan-kebijakan pembaharuan, politik tidak harus berhenti berjalan, atau bahkan beristirahat sejenak, proses politik akan tetap berjalan pada pemimpin yang punya kemauan merubah itu semua.

     Demokrasi pada akhirnya mungkin akan bertransisi tanpa mengenal istilah ‘perwakilan’, tetapi akan lebih mengenal ‘kepercayaan’ kepada pemimpin yang punya pandangan rasional dan komitmen baik untuk perubahan politik, perlindungan terhadap nilai-nilai demokrasi, dan pembaharuan sistem atau kelembagaan. Apapun yang hilang dan sunyi hari ini harus disuarakan dengan nyaring oleh pemimpin untuk memastikan bahwa politik dalam keadaan krisis akan menemui titik loncatnya dari statistik yang menurun.

    Dalam dunia yang sedang mencari bentuk, berubah seiring dengan pergerakan zaman dan kemampuan manusianya, terlalu naif menolak pembaharuan hanya karena dalil-dalil sempit soal idealisme semu (5). Suatu kenyataan mungkin saja ditolak, tapi sejarah tak mungkin ditolak untuk memberikan keterangan berikutnya. Seperti konsep individualisme dan perlawanan pasif Henry David Thoreau, baginya fakta akan konvensionalitas zaman, tekanan sosial maupun kebudayaan, dan kritik atasnya bukanlah penunjuk jalan pada kemunduran maupun hilangnya harapan, melainkan suatu dentuman keras perlawanan atas tatanan dunia maupun kekuasaan yang menindas. Menjelang keberlangsungan kehidupan maupun akhir dari kehidupan, selalu tumbuh nilai-nilai baru dan pertahanan akan nilai-nilai lama yang dianggap baik dan relevan.

  Tapi membangun Roma tidak memakan waktu sebentar, mimpi George Washington dan Abraham Lincoln soal Amerika hari ini tidaklah terjadi di masanya melainkan masa-masa berikutnya saat keadaan negara dan masyarakat sudah matang, mimpi Mohammad Hatta soal demokrasi dan ekonomi untuk Republik ini mungkin tidak akan terjadi lima tahun mendatang. Berikanlah sejarah sedikit waktu, atau waktu yang panjang, tapi perubahan cepat juga masih bisa diusahakan. Betapa banyak kisah-kisah baik itu, kisah-kisah besar itu yang memberikan pelajaran berarti untuk anak zaman yang berbeda.

    Menjemput atau menunggu perubahan di manapun posisinya berada, selalu ada harapan dalam keadaan yang hilang maupun sunyi. Sebagaimana puisi yang menemukan bait akhirnya dalam kesunyian, atau perlawanan masif yang menemukan gelora semangatnya lewat keramaian. Tidak ada masalah dalam dua kondisi seperti itu, tetapi niat baik dan komitmen yang baik akan selalu menemui jalannya sendiri, jalan yang diberikan oleh sejarahnya sendiri, sebagai puisinya sendiri.

  Andaikan bumi tak mendengar harapan baik itu, mimpi-mimpi panjang soal perbaikan dan perubahan tak terlaksana, atau rencana setelah keadaan ini tidak menemui titik baiknya, pintu langit terbuka selebar-lebarnya, didengar oleh saksi-saksi agung, diamini oleh pengabulan atau penangguhan sebagai saksi di hari-hari nanti. Titipkanlah apa-apa itu pada langit, perjuangkanlah apa yang di bumi.


Sumber

(1) Dalam Buku A World Safe for Democracy adalah pembelaan Ikenberry pada nilai-nilai dan institusi demokrasi liberal ketika beberapa waktu ini demokrasi liberal tengah mendapatkan ancaman dari sayap kanan dan konservatisme dunia seperti populisme, politik otoritarianisme, pluralisme yang represif, dan penolakan atas regionalisme atau hubungan internasional.

 (2) Konsep politik iliberalisme atau istilah ‘diskursus yang masuk ke dalam jurang iliberalisme’ merujuk pada semangat Monstesquieu dalam The Spirit of The Laws dan teori politiknya perihal pembagian kekuasaan yang akan menjadi ‘penjaga dan pemasti’ dari keberlangsungan kebebasan. Sebenarnya konsep Millsian (John Stuart Mill) soal kebebasan diskursus dalam karyanya berjudul On Liberty dimaksudkan pula dalam tulisan ini mengenai konteks hilangnya semangat kebebasan dalam mencari jawaban-jawaban maupun mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan ‘kemasyarakatan’ dalam diskursus politik atau politis. Di era krisis seperti sekarang ini rujukan Monstesquieu dan Mills tentang kebebasan diskursus dan etika politik liberalisme hilang dan sunyi, entah karena kekuasaan menahan itu atau gagal menyelenggarakan itu.

(3) Pandangan Habermas ini dapat dibaca lewat karya dua jilidnya yang berjudul The Theory of Communicative Action bagian Reason and the Rationalization of Society & Lifeworld and System: A Critique of Functionalist Reason. Pemikiran itu merujuk pada kritisisme Kantian dalam menentukan pola-pola komunikasi yang rasional dengan fasilitas ruang publik yang demokratis. Mudahnya pikiran Habermas ini dapat dibaca melalui buku Demokrasi Deliberatif karya F. Budi Hardiman.

(4) Bagi Ranciere demokrasi sejatinya bukanlah mencari kesepakatan atau keputusan bersama (konsensus) melainkan memang membiarkan secara alamiah ketidaksepakatan dan proses politik yang tidak tersusun secara rapih. Maka dari itu Ranciere menjelaskan bahwa hakikat dari demokrasi adalah ketidaksepakatan (disensus).

(5)  Kata ‘idealisme semu’ sebenarnya adalah istilah yang dekat dengan pandangan atau kritik dari post-structuralism atau post-positivism. Tapi makna politisnya adalah kebudayaan maupun ideologi telah menutup diri dari realitas sesungguhnya, Lacanian akan mengerti ini dalam istilah psikoanalisis sebagai fantasy. Ideologi dan kebudayaan merubah cara pandang menjadi sempit. Feodalisme maupun kemampuan memberikan dalil dengan alasan yang semu adalah bagian dari kritik perubahan dan pembentukan politik ke arah yang lebih baik.


Reza Ardiansyah Pradana, Ilmu Hubungan Internasional 2018

(Ketua Umum Partai Jong Pasundan)


Tidak ada komentar