Perihal “Kami”, ”Kalian”, dan Politik Peradaban
Sejarawan Ernst H. Gombrich menulis
keheranannya ketika ada orang sesumbar tentang dirinya sendiri, “aku ini orang
paling pandai, paling kuat, paling berani, dan paling berbakat di dunia,” semua orang pasti akan menertawainya
dan menganggapnya konyol. Sementara kalau ada orang yang sama mengganti kata
“aku” dengan “kami” dan mengatakan bahwa “kami ini bangsa paling pandai, paling kuat, paling berani, dan
paling berbakat di dunia,” publik di tanah airnya bertepuk
tangan meriah dan menyanjungnya sebagai patriot. Sambil menganggap bagian dunia
yang lain dihuni oleh “cecunguk-cecunguk
yang tak ada harganya
Soal kebanggaan akan “kami” dan
kebencian akan “kalian” jelas bukan barang baru. Narasi ini pernah digunakan
oleh Hitler yang memimpin Partai Nazi di Jerman. Bagi Hitler, “kami” adalah
orang-orang ras Arya dan “kalian” adalah orang-orang Yahudi.
Seolah tidak pernah belajar dari
sejarah, ultranasionalisme semacam ini terus direproduksi sebagai modal politik
dan banyak orang percaya. Definisi “kami” dan “kalian” bisa direproduksi
berbeda-beda sesuai emosi publik. Bahkan siapa pun bisa mengklaim dirinya
adalah “kami”, tanpa perlu benar-benar menjadi “kami”, asalkan mengaku membenci
“kalian”.
Soal “kami” dan “kalian” juga turut membentuk
perjalanan hidup seorang Amartya Sen, penulis buku Kekerasan dan Identitas dan
penerima Nobel ekonomi 1998. Ketika berusia 11 tahun ia menyaksikan Kader Mia,
seorang Muslim yang dibunuh dalam kerusuhan Hindu-Muslim pada 1944. Kader Mia
adalah seorang buruh miskin yang sedang pergi mencari kerja untuk makan. Ia
lalu dibunuh dalam perjalanan karena dipandang dalam identitas tunggal: Muslim,
yang menjadi “musuh” dalam peristiwa tersebut. Meskipun seorang Kader Mia
sebetulnya bagian dari identitas-identitas lainnya seperti buruh miskin (hlm.
223).
“Mengapa
seseorang sekonyong-konyong dibunuh? Mengapa pula hal itu dilakukan oleh orang
yang bahkan tidak mengenal korbannya, dan yang korbannya belum pernah menyakiti
pembunuhnya? Bahwa seseorang dipandang hanya memiliki satu identitas sungguh tidak
masuk akal (hlm. 222).”
Rasisme, xenofobia, terorisme,
sektarianisme, polarisasi dan kekerasan bersumber identitas lainnya lahir dari
pendekatan “soliteris” yang mengelompokkan manusia berdasarkan identitas yang
tunggal dan mutlak. Pendekatan inilah yang melahirkan sebuah “politik
peradaban”.
Politik Peradaban
Kita dapat temukan narasi “kami” muncul
dalam tesis Clash of Civilizations
atau benturan peradaban. Tesis ini dipopulerkan oleh Samuel Huntington, seorang
pemikir studi hubungan internasional yang berpengaruh. Tesisnya menekankan
bahwa sumber utama konflik di dunia setelah Perang Dingin bukanlah ideologi
atau ekonomi. Budaya lah yang akan menjadi faktor pemecah-belah umat manusia
dan sumber konflik yang dominan. Konflik utama dari politik global akan terjadi
di antara kelompok peradaban yang berbeda
Huntington mengelompokkan dunia yang
berhadap-hadapan antara “peradaban Barat”, “peradaban Islam”, “peradaban
Hindu”, “peradaban Konfusian”, “peradaban Jepang”, “peradaban Amerika Latin”,
“peradaban Ortodoks-Slavik”, dan “peradaban Afrika”
Menurut Huntington, politik
peradaban inilah yang menjadi tahap terakhir dalam evolusi konflik di dunia setelah
Perang Dingin. Sepanjang abad ke-17 hingga Perang Dingin, dunia Barat telah
diwarnai oleh perang antar raja, negara-bangsa, dan ideologi. Berakhirnya
peperangan di Barat setelah selesainya Perang Dingin memunculkan
kekuatan-kekuatan baru non-Barat
Tesis Huntington menjadi taman
bermain bagi para ekstremis sayap kanan untuk menjustifikasi gerakan-gerakan
kekerasan berbasis identitas agama dan nasionalisme.
Dalam buku ini, Amartya Sen menolak
pengkotak-kotakan peradaban dunia dalam tesis Clash of Civilizations. Dalam
analisisnya, ia melihat tesis ini lemah karena dua hal. Pertama, tesis ini terjebak dalam ilusi ketunggalan. Maksudnya, seseorang
harus selalu dikelompokkan dalam satu identitas yang tunggal dan mutlak (hlm.
60).
Ilusi ini mendorong kita melihat
Kader Mia hanya dalam atribut identitas muslim. Meskipun, Kader Mia juga
memiliki atribut lain dalam dirinya: buruh miskin, pengagum Mahatma Gandhi,
heteroseksual, pecinta sepakbola, atau vegetarian.
Bagi Huntington, identitas bersifat
kodrati. Sehingga seseorang tidak memiliki kuasa untuk memilih mana yang
menjadi atributnya.
Sen menolak argumen tersebut.
Sebagai filsuf liberal, ia melakukan pembelaan pada kebebasan individu. Sen
berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan kesetiaan dan
prioritas di antara pelbagai macam kelompok pertalian (hlm. 9).
Kelemahan
kedua dalam tesis Huntington adalah ahistoris. Ketika mengelompokkan peradaban-peradaban dunia
yang saling terpisah dan berlawanan, Huntington sesungguhnya mengabaikan
hubungan penting antar peradaban yang pernah dicatat sejarah.
Sen memberikan contoh mengenai
India. Menurutnya, Huntington mendistorsi sejarah India sebagai “peradaban
Hindu”. Padahal, 150 juta penduduk India adalah Muslim, dan menjadi salah satu dari Negara
dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Bahkan, India juga merupakan tempat
lahir Buddhisme.
India adalah contoh bagaimana
peradaban bisa saling terhubung satu sama lain tanpa antagonisme berarti.
Menggambarkan India sebagai peradaban Hindu berarti menghilangkan proses
sejarah yang kompleks dalam masyarakat India.
Kekerasan berdasarkan identitas
seharusnya bisa dihindari jika kita tidak melihat dunia sebagai federasi
agama-agama atau peradaban-peradaban. Sen mengajak kita untuk merayakan dan memeluk
kemajemukan identitas manusia. Dimana atribut dalam diri manusia tidak tunggal
dan kita mampu memilih dan memutuskan afiliasi atau asosiasi masing-masing.
Identitas
Buku
Judul: Kekerasan dan Identitas, Penulis: Amartya Sen, Penerbit: Marjin Kiri, Terbit: 2015, Tebal: 239 halaman.
Penulis Resensi
Candra Septian, mahasiswa jurusan Ilmu Hubungan
Internasional Universitas Pasundan. Penulis bisa dihubungi melalui Instagram
& Twitter @chandraseptiaan
Referensi
Gombrich, E. H. (2020). Sejarah Dunia untuk Pembaca Muda.
Tangerang Selatan: Marjin Kiri.
Huntington, S. (1993). The Clash of Civilizations? Foreign
Affairs, III, 22-49. doi:10.2307/20045621
Beri Komentar