Header Ads

Kudeta Partai Demokrat, Ancaman bagi Demokrasi?

 

Diskusi online yang diadakan oleh Pusik Universitas Parahyangan, Jumat (12/3). (Azmi)


Bandung, BPPM Pasoendan -- Pusat Studi Ilmu Kemasyarakatan (Pusik) Universitas Parahyangan, mengadakan diskusi online bertajuk “Kudeta Demokrat: Otoritarianisme Pemerintah?” pada Jumat (12/3).

Hadir tiga pembicara dalam diskusi ini, yaitu Khoirunnisa Agustyati dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Marcus Mietzner dari Australia National University, dan Thomas Power dari Sydney University.

Khoirunnisa, mengawali diskusi ini dengan membahas soal koalisi yang ada di pemerintahan. Ia menjelaskan bahwa sebetulnya partai pendukung Presiden Jokowi saat pemilu tahun 2019 sudah termasuk mayoritas, namun setelah pemerintahan terbentuk, koalisi tersebut makin membesar karena partai yang sebelumnya bersebrangan pun diajak masuk ke pemerintahan.  

“Partai-partai yang ada diluar koalisi ini, pelan-pelan ditarik masuk. Ada indikasi apa yang dialami sekarang oleh Partai Demokrat ini, ingin mengajak juga Demokrat dalam gerbong koalisi pemerintahannya Jokowi,” katanya.

Hal tersebut mengakibatkan tidak adanya penyeimbang dalam pemerintahan.“Nah akhirnya ketika semuanya masuk dalam koalisi menjadi tidak ada penyeimbang dalam pemerintahan. Misalnya seperti beberapa produk kebijakan yang kontroversial seperti UU Cipta Kerja, UU KPK, UU MK, UU Minerba itu kok nampaknya tidak ada checks and balances,” tambahnya.

Marcus yang menjadi pembicara kedua, juga menyoroti soal koalisi pemerintahan. Ia memaparkan keberhasilan pemerintah Jokowi untuk memperbesar dukungan di DPR. Dari angka 37 persen di tahun 2014 hingga 82 persen untuk saat ini. “Saat ini kalau kita melihat DPR nya, 82 persen itu mendukung pemerintah. Dalam ilmu politik kita sebut ini sebagai suatu super mayoritas,” ujarnya.

Ia lalu menjelaskan ada dua cara bagaimana partai masuk dalam koalisi, yakni ada yang secara sukarela dan ada yang dengan unsur paksaan. Dalam kasus Demokrat, ia melihatnya sebagai jenis yang kedua. “Ada unsur pemaksaan dari Eksekutif untuk mengubah pimpinan Partai Demokrat supaya menjadi pro pemerintah,” lanjutnya.

Ia juga mengaku heran Presiden tidak mengetahui pergerakan Moeldoko di Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat, padahal isu ini sudah dibicarakan jauh-jauh hari.

Thomas yang jadi pembicara ketiga, menyambung pembahas sebelumnya dengan menyebut bahwa posisi Moeldoko di Demokrat sangat lemah. “Kalau kita menyaksikan jumlah kader yang bergabung dengan Moeldoko, itu masih sangat minim. Dari segi legitimasi atau kepemimpinan yang sah, juga segi dukungan internal Partai Demokrat itu tidak ada pertanyaan,” katanya.

Berbagai kemungkinan dibahas dalam diskusi ini terkait motif dalam kudeta Partai Demokrat dan makin besarnya koalisi pemerintahan, salah satunya berkaitan dengan kemungkinan majunya calon tunggal dalam pertarungan politik di tahun 2024.  

Menurut Thomas, jika itu terjadi, Indonesia tidak bisa lagi disebut sebagai negara yang demokratis. "Ini sekedar spekulasi, tapi kalau kita tidak mengawasi langkah-langkah yang nanti akan diambil oleh para penguasa, ada kemungkinan bahwa situasi terburuk akan terjadi," tegasnya. 

(Azmi)  

Tidak ada komentar