Header Ads

Jurnalis Pikiran Rakyat Berkisah


 

Perkembangan media cetak di era sekarang ini ada dalam situasi yang kurang menyenangkan. Perdebatan lama soal apakah media cetak bisa bertahan di hadapan teknologi dan media baru kembali muncul. Kalau sebelumnya media cetak ditantang oleh kehadiran radio dan televisi, di era sekarang datang penantang yang lebih baru dan disruptif, yaitu media online.

Sebagian pihak berpendapat kalau media cetak sedang mendekati ajalnya. Dalam konteks Indonesia misalnya, tanda-tanda itu mulai terlihat dengan gugurnya satu per satu media cetak dalam beberapa tahun terakhir, sebutlah Jakarta Globe (2015), Rolling Stone Indonesia (2017), Tabloid Bola (2018), atau yang terbaru di tahun 2021 ini, Koran Suara Pembaruan.

Tapi… sebagian yang lain masih optimis kalau media cetak tetap bisa bertahan. Serikat Perusahaan Pers (SPS) misalnya, berpendapat bahwa pasar bagi media cetak masih ada, tantangannya sekarang adalah gimana caranya mereka bisa terus berinovasi dan beradaptasi biar tetap relevan dengan zaman.

Ketika usaha-usaha adaptasi masih terus dilakukan banyak media, datang lagi hantaman yang tak kalah kerasnya, pandemi Covid-19. Bisnis media cetak makin kelimpungan…

Kira-kira dalam suasana seperti itulah buku ini dituliskan. Ya, disrupsi digital dan pandemi juga ikut menantang Pikiran Rakyat (PR), perusahaan media cetak ternama di Jawa Barat itu.

Buku yang ditulis oleh 22 orang jurnalis PR ini, secara umum berisi dua hal: pengalaman mereka selama bekerja untuk PR dan pemikiran mereka untuk PR serta jurnalisme secara umum.

Ada banyak hal menarik yang dituliskan para penulis. Dari mulai cerita soal panjangnya proses agar bisa diterima sebagai jurnalis PR, soal mereka yang ditugaskan untuk jadi kontributor di daerah, sampai cerita soal dicari ormas gara-gara pemberitaan yang dibuat.

Selain bisa menggambarkan lika-liku jurnalis dalam menjalankan kerja-kerjanya, banyak cerita di dalam buku ini yang sebetulnya juga menggambarkan perjalanan PR itu sendiri.

Misalnya soal ekspansi PR ke dunia internet. Saya tahu ada PR online itu belum lama, mungkin setahun ke belakang. Tapi di buku ini disebutkan kalau ternyata PR sudah punya portal online sejak tahun 1996, tapi memang belum digarap serius. “Portal tersebut sebatas memindahkan berita cetak ke online. Setelah itu PR tidak terlalu serius dalam menggarap media daring hingga tahun 2015.” (hal. 144)

Atau soal musibah yang menimpa koran ini di tahun 2014, ketika kantor redaksi yang terletak di Jalan Soekarno-Hatta, Bandung, ludes terbakar sehingga harus pindah ke kantor di jalan Asia-Afrika. Yang disayangkan dari peristiwa itu tentu saja soal data dan arsip yang tak ternilai harganya.

Beberapa momen “dramatis” lain juga bisa kita baca di buku ini. Misalnya ketika Wisma Pikiran Rakyat di Jakarta (kantor bagi jurnalis PR yang bertugas di sana) harus dijual untuk membantu keuangan PR, “digadang-gadang bisa membantu perusahaan meringankan deraan beban finansial.” (hal. 30). Juga ketika PR edisi Minggu harus berhenti terbit di awal tahun 2020, padahal sudah berumur puluhan tahun dan punya kekhasannya sendiri.

Sementara itu, terkait gagasan yang muncul dalam buku ini, misalnya soal perdebatan di internal mereka terkait usaha PR untuk mengembangkan bisnis digital. Bagi banyak awak redaksi, ini bukan cuma soal perpindahan platform dari cetak ke online, tapi ada banyak hal lain yang harus dipertimbangkan juga.

Soal ritme dan beban kerja di redaksi, soal kualitas tulisan, atau soal “nilai” yang menjadi landasan PR:

“Keresahan lain dari karyawan tetap, utamanya wartawan, adalah munculnya kebijakan yang mewajibkan membuat 5 berita per hari. Dua berita untuk diterbitkan di koran dan sisanya diunggah di media daring. Kebijakan yang pada praktiknya meningkatkan beban kerja seperti itu menimbulkan ketidakpuasan di tengah pemenuhan hak karyawan yang tersendat…” (hal 195)

“Kita memang harus beradaptasi dengan era baru yang selalu datang setiap waktu, namun pastikan nilai-nilai PR tetap menjadi landasan karena itu yang menjadi ciri khas PR.” (hal 135)

Penerbitan buku ini memang bukan atas prakarsa perusahaan, melainkan inisiatif sendiri para penulisnya. Sehingga nuansa “galau” dalam buku ini memang terasa lebih kuat, tapi mungkin karena itu jugalah buku ini terasa bercerita lebih apa adanya. 

Identitas Buku

Judul: Di Sini Cerita Kami Titipkan: Kesaksian Jurnalis Pikiran Rakyat dari Tengah Disrupsi, Penulis: Tri Joko Her Riadi,dkk, Penerbit: ProPublic.info, Terbit: September 2020 (Cetakan pertama), Tebal: 238 halaman.

(Azmi)


Tidak ada komentar