Lelaki dan Monster (Bagian 1)
Penulis: Ilyas Gautama, Administrasi Publik 2015
Makhluk
itu muncul dan menguasai tubuhku. Menyulut api dalam sekam yang telah lama
mendekam di dada. Mewujud dalam kilatan pisau yang tak sadar kugenggam dan
berlumur darah. Lemas dan tersungkur, aku meratap pada tubuh kawanku yang telentang
penuh dengan luka sayatan.
Di
sebuah tanah lapang yang sesak dengan gundukan sampah, wajahnya yang perlahan
tertimbun oleh tanah, sesekali memantik ingatan yang melintas di kepala. Membawaku pada
momen-momen ketika bara di tubuhku
mulai menyala dan membakar perlahan semua harapan-harapan tentangnya. Semuanya,
ya semuanya akan kuceritakan dengan jelas...
***
“Kami duduk di
sebuah saung yang berjejer rapih dan dibuat seolah berada di sebuah tebing,”
begitu Andri memulai ceritanya.
Suasana
begitu ramai. Matahari akan segera tenggelam dan lampu-lampu di tempat wisata
itu mulai dinyalakan. Sejak siang, mereka berdua telah berada di sana. Namun,
ia sama sekali belum mendengar penjelasan gadis berkerudung itu. Gadis yang
selama ini membuat Andri tak bisa tidur di malam hari dan mengutuk diri
sendiri.
“Tetesan
air mata di pipinya itu, membuat tulang-tulang di tubuhku remuk begitu saja,”
jelas Andri.
Pada
ceritanya di bagian ini, wajahnya memerah dan matanya tampak berkaca-kaca.
Rokok yang diapit oleh kedua jemarinya itu tampak bergetar. Begitulah,
terkadang penyesalan tak perlu diucapkan, ia bisa keluar sendiri lewat
gerak-gerik tubuhmu. Dan dihantui rasa bersalah, lebih mengerikan daripada
diburu intel tentara.
Menurutnya,
Afif, perempuan berkerudung itu menyatakan kekecewaan yang amat dalam
kepadanya. Kawanku ini hanya mematung saat itu. Ia kebingungan menghadapi gadis
yang menangis di hadapannya. Malam itu, aku bisa mendengar ia menarik napas
panjang sebelum memulai ceritanya lagi. Cerita yang dijanjikannya kepadaku.
Cerita, yang membuatnya khawatir bahwa aku akan memutus tali pertemanan kami.
Kau
tahu, Andri bahkan tidak menatapku saat ia bercerita tentang hal ini, meski
kami saling berhadapan. Sejak awal cerita, ia hanya memandangi kotak coklat
yang sengaja kuletakkan
untuk membangkitkan kenangannya tentang Afif. Gadis yang telah membuatnya
mengunjungi toko-toko buku lalu memborong semuanya dengan uang jajan miliknya
selama seminggu.
Lewat
buku-buku itulah, Andri menjadi sering menghabiskan waktu hanya untuk membaca
buku dan menulis berbagai macam catatan-catatan yang kemudian berserakan di
kamarnya. Ia jadi lebih banyak mendekam di kamar sepulang kuliah, seperti kelomang menarik diri ke
dalam cangkangnya.
Sesekali
ia duduk di teras untuk merokok dan tersenyum kepada para penghuni kontrakan
yang melintas. Sebagai kawan satu kontrakan, bisa dibilang aku hanya sesekali
melihatnya pergi dalam seminggu. Dan ia, akan pulang di pagi hari dan
melanjutkan kegiatannya; membaca dan menulis catatan. Tak sekalipun ia bercerita
ke mana ia pergi setiap malam Jumat
itu.
Aku
kira setiap orang selalu memiliki rahasianya masing-masing, yang tidak ingin ia
ceritakan kepada siapa pun,
hingga terdapat satu momen yang pas untuknya bercerita. Seperti monster
di dalam kepalamu. Rahasia akan memakanmu hidup-hidup[1]. Malam itu, ketika
hanya tersisa kami berdua dan lampu bohlam sebagai cahaya satu-satunya di
ruangan itu, Andri
menceritakan semuanya.
“Wawasanku
seolah terbuka ketika mengenalnya,” katanya malam itu.
Pertemuan
mereka terjadi di sebuah warung pecel yang lokasinya berjarak selebar lapangan
bola dari kontrakan kami. Setelah pertemuan yang tak disengaja di warung pecel
itu, Andri tiba-tiba menjadikan nasi pecel sebagai menu makan malamnya setiap
hari. Sepulang kuliah, ia akan mengajakku
untuk pergi makan malam di warung pecel lele, yang tak jauh dari kontrakan
kami.
Aku
memang tak menyanggupi ajakannya setiap hari,
tapi selalu ada momen tertentu di mana aku menuruti
permintaanya. Dari warung pecel itu aku bisa tahu kenapa para pemburu gosip
mudah mendapatkan mangsa. Sebab, cinta memang cenderung memamerkan diri. Dan
Andri berpikir tak ada yang ganjil pada tingkah lakunya. Seporsi makan malam
yang biasanya ia makan dengan tergesa-gesa, saat itu sesekali ia biarkan. Ia
tampak gelisah.
“Minggu
lalu aku bertemu seorang perempuan di sini. Wajahnya itulah yang membuatku
mesti mengunjungi warung ini setiap malam. Berharap suatu saat menemuinya lagi.”
Andri
mengatakan bahwa saat itu dadanya seolah dipenuhi laron-laron yang berputar
gelisah oleh kilau cahaya di paras muka gadis itu. Ia merasakan sebuah firasat
bahwa akan segera jatuh cinta, sebab laron-laron selalu terpesona oleh
cahaya.[2] Aku ingin muntah mendengarnya. Dan kurasa orang-orang yang ada di
warung pecel lele saat itu kehilangan selera makannya, ketika mendengar hal
yang sama.
Kau
tahu, di sini aku tidak ingin berbohong kepadamu. Sejujurnya, Afif adalah gadis
yang biasa-biasa saja. Aku tidak bisa memastikan benar atau tidaknya kilau
cahaya di wajah gadis itu. Sebab, seorang pemuda yang kasmaran akan menganggap
indah apa pun
yang melekat pada gadis yang disukainya. Dan aku tak akan menghancurkan
kebahagiaan kawanku dengan muntah di hadapannya.
Aku tertawa formal sambil menepuk punggungnya dan berkata, “kau sungguh orang yang
beruntung.”
Suatu
pagi, ketika aku selesai menuntaskan ritual orang-orang pada umumnya di jamban,
Andri tiba-tiba menggedor pintu kamarku. Ia datang dengan menyuguhkan bubur
ayam dan sebungkus rokok serta secangkir kopi yang masih mengepulkan uap. Dari
dapur, aku langsung melompat ke hadapannya
dalam kecepatan seekor
hewan peliharaan, yang sedang diberi jatah makan. Aku tahu kebahagiaan sedang
menyelimuti Andri saat itu, tapi
aku tidak menyadari bahwa jatah makan pagi itu adalah umpan yang telah ia
siapkan.
“Aku
akhirnya bisa bertemu lagi dengan gadis itu. Besok ada janji dengannya untuk pergi ke
toko buku. Kau mau kan mengantarkanku ke sana?”
Seperti
tikus yang terperangkap, aku tak punya pilihan selain menyanggupi permintaan
kawanku ini.
Pagi
selalu punya makna bagus. Begitulah orang-orang sering memaknai pagi. Fajar
yang merekah, anak-anak sekolah yang berlarian saling kejar serta ibu-ibu yang
bergosip di gerobak tukang sayur. Saat itu, Andri adalah manusia yang sukses
membuatku merasa terbangun di sebuah barak militer. Pukul enam pagi ia sudah
menggedor pintu kamarku dan berteriak-teriak seperti komandan yang sedang
membangunkan prajuritnya. Bau serupa parfum seorang bandot tua menyocok hidung,
setelah kupersilahkan ia masuk dan menungguku bersiap-siap.
“Wangi
betul kau sepagi ini.”
“Aku
ingin membuat dia terkesan atas penampilanku,” ia tampak sibuk merapikan kemeja
yang sebetulnya tidak kusut.
Setelah
Andri menyuruhku menyelesaikannya
secepat kilat, kami
lantas berangkat pukul sembilan menggunakan sepeda motor. Jaraknya agak jauh
dari kontrakan kami, sehingga aku harus sedikit memacu kendaraanku lebih cepat
dari biasanya.
Terik
membakar kota. Beberapa gumpalan awan abu-abu tua tampak di langit. Perlahan
bergerak, bagaikan orang tua bongkok yang memikul beban berat di punggungnya.
Angin terhalang berembus. Jalanan kota macet. Udara pengap. Suara klakson
menyalak dari mobil yang ada di depanku. Setelah menyalipnya, tampak si
pengemudi yang berkacamata hitam itu sedang memarahi emak-emak yang motornya mogok
dan menghalangi lajurnya.
“Sudah
nanti saja jadi pahlawannya. Kau masih punya satu tugas menolong manusia yang
diboncengmu ini,” Andri menepuk punggungku yang saat itu hendak menepikan
motor.
Kutarik
gas dengan penuh tenaga. Membuat pejalan kaki dan pengendara yang sedang
menyaksikan emak-emak itu menoleh ke arah kami dengan tatapan yang merajam.
Dari belakang, Andri terdengar sedang merongseng seisi kebun binatang yang
keluar dari kerongkongannya. Untungnya jarak dari jalanan macet itu tak begitu
jauh dari tujuan kami. Jadi aku tak perlu lebih lama lagi mendengarkan suara
bising dari penumpangku.
Setelah
melewati perempatan jalan, kami tiba di toko buku yang aku pikir lebih mirip
seperti gudang. Setidaknya begitulah yang aku lihat dari parkiran. Saat turun
dari motor, sambil merapikan kembali kemejanya, Andri berkata ia beruntung
tidak ke sini sore hari. Karena menurutnya, tempat yang tak terlalu luas itu
akan menjadi pengap karena disesaki oleh pengunjung. Seperti perintahnya, aku
hanya perlu duduk dan menunggunya di sebuah warung kopi di seberang jalan.
Warung
itu memiliki dua buah meja panjang dan empat buah kursi yang sama panjangnya.
Dari tempatku duduk, akan tampak setiap orang yang keluar masuk dari toko buku
itu. Desain pintu dan jendelanya mirip seperti bentuk-bentuk rumah di zaman
perang dunia dua. Daun pintunya ada dua, sebelah tampak sengaja ditutup. Di
mulut pintu itu, Andri tampak sedang berdiri. Ia seperti pegawai hotel yang
menunggu tamunya yang tak lama kemudian datang.
Kusaksikan
gadis berkerudung yang bernama Afif itu turun dari angkutan umum. Dari seberang
jalan, tampak tak ada yang spesial dari gadis itu. Jika Andri pernah
menyebutnya sebagai malaikat, aku tak menyaksikan gadis itu melayang dan
memakai sayap. Hari itu Afif mengenakan kaus berwarna biru dengan celana jeans
berwarna abu-abu. Mereka lantas menghilang ditelan pintu toko buku itu.
Matahari
sudah lebih dari duduk di atas kepala. Asam lambungku sudah mulai menusuk-nusuk
perut. Seorang perempuan berumur tiga puluhan datang setelah kupanggil dari
tempatku duduk.
“Mie
instan satu, pakai telor dan sayuran, sama kreteknya setengah bungkus.”
“Udah itu aja?”
Aku
hanya mengangguk, setelah itu ia lantas kembali ke dapur. Sambil menunggu makan
siangku datang, aku mengambil koran yang sejak tadi hanya dibolak-balik oleh
supir ojek online yang sepertinya akan mati bosan menunggu pesanan yang tak
kunjung datang. Koran itu kemudian tergeletak begitu saja di atas tumpukan
kerupuk, roti dan gorengan yang diletakkan
di tengah meja.
“Tiga
Orang Mahasiswa Tewas saat Ospek,” judul berita itu
segera membuatku tertarik dan membawa ingatanku ke momen pertemuanku dengan
Andri. Itu adalah empat tahun lalu, saat aku dan pemuda asal desa ini sama-sama
sedang dipelonco oleh kakak tingkat kami di kampus. Kami berdua dihukum
bernyanyi di hadapan
kawan-kawan kami, setelah kedapatan menggoda teman satu kelompok.
Karena
tak puas dengan hukuman itu, salah satu dari kakak tingkat kami mengancam akan
memukuli kami sepulang ospek. Aku ingin sekali menantang mereka, tapi kawanku
ini malah kencing di celana setelah salah satu dari mereka memukulkan kayu pada
meja hingga patah. Di situlah Andri jadi sosok yang melekat di ingatanku. Apalagi
setelah ia menetap tepat di sebelah kamar kontrakanku.
Pasca
kepindahannya di kamar sebelah, Andri setiap pagi akan mengetuk kamarku,
menawarkan untuk pergi mencari sarapan atau sesekali menawarkan bantuan untuk menyelesaikan tugas
kuliahku. Hari-hari selanjutnya,
Andri menjadi orang yang aku hubungi pertama kali jika kekurangan
uang, kehabisan bahan makanan hingga mendengarkan semua keluh kesahku di hari
yang sial.
Seorang tokoh dalam novel yang aku baca pernah berkata; orang-orang hanya menyenangkan saat kau mengingatnya sebagai masa lalu, atau membayangkannya sebagai masa depan. Kalau mereka ada di depanmu setiap saat ini, pilihannya hanya tiga; kau bosan, atau kau meninju mereka, atau kau bosan dan meninju mereka. Dari ketiganya, aku memilih melakukan yang terakhir, jika Andri ada di hadapanku saat ini juga. Setelah menghabiskan satu piring mie instan dan setengah bungkus kretek lalu menandaskan segelas kopi hitam, Andri tak kunjung keluar dari toko buku itu. Aku tak mungkin melakukan hal yang sama seperti supir ojek online tadi. Tapi, aku juga sama bosannya dengan dia. Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan untuk membunuh waktu saat itu hanyalah ikut masuk ke dalam toko buku itu.
Bersambung...
[1] Gaspar, dalam “24 Jam bersama Gaspar,” karya Sabda Armandio.
[2]
Seto, dalam cerpen “Seto menjadi Kupu-Kupu,” karya A.S. Laksana.
Baca bagian 2 di sini
Beri Komentar