Header Ads

Setahun Jokowi-Ma’ruf: Demokrasi di Indonesia Semakin Memburuk

Diskusi online yang digelar Pusik Universitas Parahyangan, Selasa (20/10). (Azmi)

Bandung, BPPM Pasoendan– Bertepatan dengan satu tahun masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Pusat Studi Ilmu Kemasyarakatan (Pusik) Universitas Parahyangan, mengadakan diskusi online bertajuk “Beyond Hope: Where 2014’s Choice Takes Us,” pada Selasa (20/10).

Hadir tiga pembicara dalam diskusi kali ini, yaitu Lalola Easter Kaban dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Yoes Kenawas kandidat doktor di Universitas Northwestern, dan Abdil Mughis Mudhoffir kandidat doktor di Universitas Melbourne.

Dalam pengantar diskusi disebutkan, selain menghadapi krisis kesehatan dan krisis ekonomi, Indonesia juga sedang menghadapi krisis demokrasi. Hal tersebut berkaitan dengan ditetapkannya berbagai peraturan yang dinilai bermasalah, termasuk pengesahan UU Cipta Kerja pada 5 Oktober lalu.

Sesuai dengan tajuknya, dalam diskusi juga dibahas kepemimpinan Jokowi pada periode sebelumnya, sehingga bisa dilihat dengan lebih jelas seperti apa kiprahnya. 

Kita akan mengevaluasi jejak politik Jokowi dari tahun 2014 hingga saat ini, sehingga dapat ditemukan nantinya motif, intensinya, yang pada tahun 2014 sempat diharapkan sebagai pelindung demokrasi kini justru bertransformasi menjadi sosok yang bekerja sama dengan oligarki dalam meruntuhkan demokrasi Indonesia,” ujar Vincentia, perwakilan dari Pusik.

Lalola, yang menjadi pembicara pertama menyampaikan bahwa revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada akhir 2019 lalu, merupakan pintu masuk bagi munculnya peraturan-peraturan bermasalah. “KPK pertama harus dilemahkan dulu karena kerjanya itu mengganggu praktik oligarki. Saat pintu itu sudah terbuka, akhirnya muncul legislasi-legislasi bermasalah lainnya baik dari sisi prosedur juga substansinya,” katanya di awal pemaparan.

Ia lalu menyebut contoh peraturan bermasalah yang muncul kemudian, seperti revisi UU Mahkamah Konstitusi dan pengesahan UU Cipta Kerja. 

Selanjutnya ia menjelaskan masalah yang terjadi di kalangan masyarakat sipil. Menurutnya, saat pemilihan presiden tahun 2014 banyak elemen masyarakat yang terjebak dalam dua kutub ekstrem. “Pelanggar HAM yang munculnya Prabowo, dengan Jokowi yang asumsi kita adalah dia dari sipil. Tapi ternyata di masa kedua ini, bahkan baru satu tahun, apa yang kita takutkan ketika dulu kita berangan-angan kalau Prabowo yang menang mungkin ini yang akan terjadi, ternyata terjadi di bawah kepemimpinan Jokowi,” jelasnya.

Pembicara kedua, Yoes Kenawas, memaparkan bahwa peraturan bermasalah yang dibuat di era Jokowi tidak hanya terjadi setahun ke belakang, tapi juga terjadi sejak periode pertama. Misalnya revisi UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pada tahun 2016 dan terbitnya UU Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) pada tahun 2017. 

Ia menilai UU Ormas jadi penanda yang penting bahwa pemerintah tidak berpihak pada demokrasi. “UU ormas menunjukan dengan gamblang bahwa ini bukan rezim yang pro demokrasi, disitu mulai keliatan. Belum lagi beberapa proyek pembangunan yang bermasalah kayak bandara di Jogja, termasuk pembangunan di Papua yang bahkan menghancurkan hutan disana,” ungkapnya.

Menyebut beberapa ahli, ia menutup pemaparan dengan mengatakan bahwa kuatnya pengaruh oligarki membuat pemerintah tidak bisa berbuat banyak. “Sebenarnya temen-temen yang pakai studi oligarki, termasuk Vedi Hadiz dan Jeffrey Winters sudah mengingatkan bahwa ini ada kekuatan oligarki yang juga menyandera dia,” tambahnya.

Menyambung bahasan sebelumnya, Abdil Mughis yang jadi pembicara ketiga berpendapat bahwa sejak awal reformasi, demokrasi di Indonesia belum pernah terbangun dengan kuat.

Saya berada pada posisi bahwa sebenarnya demokrasi di Indonesia tidak pernah terkonsolidasi seperti yang banyak dikemukakan teoritisi transisi demokrasi. Menurut teori ini kan pernah ada konsolidasi pada masa SBY tahun 2004-2009, lalu kemudian ada stagnansi sampai 2014, setelah 2014 mengalami penurunan, dan perusakan segala macam,” katanya.

Ia lalu menjelaskan kenapa demokrasi itu tidak bisa terbangun dengan kuat dan ada di posisi yang ideal. “Kenapa demokrasi tidak pernah baik seperti yang dibayangkan dalam demokrasi liberal, karena persoalan utamanya adalah tidak ada kekuatan penantang yang terkonsolidasi yang bisa menantang elemen anti demokrasi. Kekuatan ini ada, tapi cair, lemah, gabisa memberi tantangan berarti,” tambahnya.

Posisi itu diperparah dengan menguatnya politik identitas yang digunakan para elit politik yang sudah terlihat sejak tahun 2014. “Jadinya melahirkan antagonisme, bukan menentang elit yang membuat mereka sengsara, adanya ketidakadilan dan segala macam, tetapi lahir antagonisme yang bersifat horizontal, sesama masyarakat berhadap-hadapan, itu membuat masyarakat sipil semakin terpecah belah,” jelasnya.

Situasi yang demikian menurutnya membuat semakin melemahnya kekuatan pro demokrasi dan semakin menguatnya kekuatan anti demokrasi, yang dengan begitu mudahnya melahirkan  paket kebijakan bermasalah dan diloloskan tanpa ada tantangan yang berarti.

Di akhir diskusi, muncul usulan terkait apa yang perlu dilakukan kedepannya, yaitu masyarakat sipil perlu terus menyuarakan tantangannya. Demonstrasi di berbagai daerah untuk menolak UU Cipta Kerja harus dijadikan momentum untuk memperkuat elemen-elemen pro demokrasi.

(Azmi)


Tidak ada komentar