Header Ads

Saya adalah Calon Buruh





 (Sumber: Dede Ilham Sugiarto)

Sudah satu tahun, Mosi Tidak Percaya dilayangkan oleh berbagai elemen masyarakat, atas reformasi yang telah dikorupsi oleh perangkat negara, yaitu Lembaga Eksekutif dan Legislatif. Pada 23 dan 24 September 2019 dengan Gejayan Memanggil dan dimotori oleh mahasiswa, terjadi aksi besar-besaran di seluruh Indonesia. 

Terdapat tuntutan-tuntutan dari agenda politik dalam aksi tahun lalu, yaitu menolak Revisi UU KPK, UU Minerba, RKHUP, dan UU Cipta Kerja. Selain itu, Sahkan Rancangan Undang Undang-Penghapusan Kekerasan Seksual, Menarik mundur militer dari Papua, dan isu-isu kelompok yang dimarjinalkan negara. Mengingat, tuntutan dalam aksi Reformasi Dikorupsi dipantik oleh beberapa peristiwa, seperti rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya. Serta, pada tanggal 24 September adalah Hari Tani Nasional. Dimana, petani menuntut untuk dilaksanakan Undang-Undang Pokok Agraria 1960. 

Jadi, perlu diketahui bahwa aksi Reformasi Dikorupsi dipicu oleh isu-isu populer dan kontroversial, seperti Revisi UU KPK dan UU tentang gelandangan. Mengingat, beberapa Ketua BEM di undang ke beberapa talkshow di Jakarta. Sehingga, aksi mahasiswa dengan almamaternya mengalami penurunan eskalasi. Sedangkan, Isu Perburuhan, Agraria dan Perubahan Iklim, Papua, dan Demokrasi, sudah jauh-jauh hari diangkat oleh mereka yang konsisten dalam mencari keadilan dan perubahan. Seperti, Aksi Kamisan yang telah berusia 13 tahun guna menuntut penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu. Dalam paragraf ini, penulis hanya ingin berbagi atau memberikan gambaran singkat mengenai aksi Reformasi Dikorupsi pada tahun 2019. Guna, para pembaca mengetahui peta dari fenomena social-politik di Indonesia, terutama peta dari agenda politik yang ada. Disini, penulis tidak ingin mendeskritkan bahwa aksi mahasiswa yang memakai almamater sia-sia atau tidak signifikan. Melainkan, untuk membuka sudut pandang lebih luas, bahwa ada elemen masyarakat yang konsisten dalam mengawal isu ataupun melayangkan Mosi Tidak Percaya. Sebelum, Mosi Tidak Percaya dipakai sebagai tag line gerakan atau aksi selama satu tahun terakhir. 

Lalu, adakah sebuah relasi dan korelasi atas aksi Reformasi Dikorupsi tahun lalu dengan aksi mogok yang di inisiasi oleh kaum buruh? Tentu saja, ada. Bahkan, saling terkait satu sama lain. Sebuah simpul gerakan yang masih terputus tersebut, menemukan momen yang tepat, yaitu ketika DPR-RI mensahkan Undang-Undang Sapu Jagat atau Omnibus Law. Undang-Undang sapu jagat, tidak hanya menyasar buruh, terdapat klaster-klaster lain di dalamnya. Seperti, izin lingkungan dan masalah hak guna atas tanah

Perlu di ingat bahwa “mereka yang menjual tenaga kerjanya (baik tenaga dan ide) kepada pemodal/ pemilik perusahaan adalah buruh”. Di era Orde Baru terjadi pengkotakan guna tidak adanya aksi besar-besaran yang mengancam penguasa dan pengusaha. “Karyawan” adalah penggunaan kata yang digunakan untuk mensekat atau pembeda antara buruh kasar/ pabrik atau buruh berkerah (karyawan). Tentu saja, Omnibus Law dalam klaster ketenagakerjaan akan berpengaruh pula kepada buruh-buruh berkerah yang duduk di ruangan ber-ac. Mengingat, aksi para buruh adalah buntut atas segala bentuk kekecewaan yang ada kepada negara. Karena, negara gagal dalam memenuhi hak-hak warga negaranya, seperti hak perlindungan atas pekerjaan dan kepastian kerja. Maka, buruh menuntun untuk negara harus hadir dan menjamin hak-hak buruh sebagai warga negara. 

Setelah melihat dan membaca sekilas UU Cipta Kerja atau UU Sapu Jagat, dimana UU tersebut tidak hanya membahas aturan mengenai hubungan antara Buruh (karyawan) dengan pengusaha. Akan tetapi, membahas dan mencakup sektor lainnya, seperti Pendidikan dan Kebudayaan, Kelautan, Pertanian, Kehutanan, Keagamaan, Perumahan, dan sektor lainnya. Maka, tidak aneh jika UU tersebut sangatlah tebal dengan 900an halaman. Entah, maksudnya apa. Namun, penulis berpandangan bahwa kelengkapan negara dalam hal ini DPR bersiasat agar rakyat atau masyarakat untuk malas atau tidak membacanya. Karena, ketebalan dari UU, dengan ketebalan 900an. Selain itu, banyak kata atau kalimat yang bias atau ambigu tanpa adanya penjelasan lebih lanjut dan “ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah”. 

Dengan kata lain, UU Cipta Kerja sudah cacat sejak dalam proses pembuatannya dan pengesahan yang terburu-buru. Kontras mencatat beberapa kejanggalan dalam proses pembuatan UU tersebut, seperti tidak transparan dan akuntabel; pelibatan kementerian/ lembaga, ormas, dan influencer secara serampangan; penyusunan dipaksakan; minim partisipasi; dan tidak berpihak pada rakyat (@kontras_update). Terlebih, proses pengesahan dilakukan saat wabah covid-19 masih belum dapat diredam atau kasusnya melandai. 

Mungkin, penulis baru bisa memberikan pandangan hanya sebatas ini. Mengingat, banyak RUU yang lebih penting untuk disahkan dibandingkan UU Cipta Kerja, seperti RUU-Penghapusan Kekerasan Seksual dan UU Masyarakat Adat. Banyak aspek yang bisa ditelaah lebih lanjut dari UU Cipta Kerja, seperti penciptaan tenaga kerja fleksibel.

DPR-RI sedang kebut-mengebut pengesahan Undang-Undang pro-investasi dan oligarki. Lihat saja, UU KPK dan UU Minerba telah diketok oleh mereka di Senayan. Dari hari sabtu, tikus-tikus tengil ini, mengebut secara kilat dan cepat bagai karakter flash-nya DC komik, bahkan layaknya Pesantren Kilat di sekolah-sekolah formal, untuk mengesahkan UU Omnibus Law. 

Sebagai penutup, penulis berharap para pembaca untuk skeptis melihat dua partai (Demokrat dan PKS) yang menolak Omnibus Law. Dua partai tersebut sedang berusaha mencari panggung guna pilkada 2020 dan persiapan 2024. Jangan lupa track record dari dua partai tersebut, dimana kader dari partai tersebut melakukan tindakan korupsi. Selama partai di isi oleh elit dan lingkaran oligarki, maka mereka hanya mencari panggung semata. Selain itu, penulis skeptis atas gerakan mahasiswa yang berada dalam naungan BEM. Karena, tahun lalu hadir Fathur yang kemudian di endorse oleh Shopee

Karena, kesadaran dan sense of crisis belum terbangun. Sehingga, eskalasi pun mengalami penurunan. Mengingat, sudah sangat sedikit mahasiswa yang memiliki semangat kemanusiaan dan mau melakukan perorganisiran ke wilayah-wilayah konflik, seperti konflik Tamansari yang isunya viral. Karena, terjadi kericuhan dan tindakan represif saat proses penggusuran. Apakah, kita sebagai dan katanya “agent of change-social control” dapat menjaga eskalasi ini, seperti aksi Yellow Vest di Perancis, BLM di Amerika Serikat, Penolakan Neoliberalisme di Chili ataupun Aksi di Hongkong. Karenanya, sangat sedikit sekali mahasiswa yang benar-benar mengawal sosial-politik, seperti UU Cipta Kerja, Sahkan Rancangan Undang Undang-Penghapusan Kekerasan Seksual, Menarik mundur militer dari Papua, dan isu-isu kelompok yang dimarjinalkan negara. Mereka yang sudah terlebih dulu mengawal isu Omnibus Law, Pelanggaran HAM Masa Lalu, dan isu lainnya harus bekerja ekstra dan menjaga kewarasan serta berusaha melawan kebijakan-kebijakan Neoliberalisme melalui narasi dan pengorganisiran di wilayah konflik.  

Penulis sendiri, belum memiliki konsisten dan militansi. Jadi, tulisan atau opini ini sendiri secara tidak langsung bersifat otokritik.

Ingat, kepentingan rakyat harus datang dan berasal dari rakyat serta membangun politik alternatif. 


Dede Ilham Sugiarto

Hubungan Internasional 

FISIP Unpas


Tidak ada komentar