Saya adalah Calon Buruh (Part 2)
Sosial
media pasca aksi hari pertama, tanggal 6 Oktober 2020, riuh dengan sekumpulan
postingan yang membuat stempel hoax, terkait pamflet ataupun flyer mengenai
hal-hal yang disoroti oleh buruh dalam UU Cipta Kerja. Nyatanya, flyer yang
dianggap hoax tersebut, berasal dari hasil kajian ataupun diskusi-diskusi yang
telah diselenggarakan, sejak DPR-RI mengupload draft UU proposal pembuatan UU
Cipta Kerja. Sebelum—sistem kebut semalam—5 Oktober lalu, banyak kalangan
mengkaji draft UU Cipta Kerja yang berdasarkan draft pada bulan Maret 2020.
Draft bulan maret tersebut, memiliki 1000-an halaman. Jadi, setelah UU Minerba
diketok, DPR-RI secara kilat bagai DHL dan jasa pengiriman dengan kategori
ekspres, langsung mengebut pembahasan UU Cipta Kerja. Tanpa ada pembaharuan
ataupun transparansi atas draft final yang akan dan telah disahkan tersebut. Bahkan,
Badan kelengkapan Negara mulai menunjukan gelagat-gelagat tidak tahu dan
bersilat lidah. Anggota Baleg DPR-RI, Firman Soebagyo menyayangkan isi draft
final UU Omnibus Law yang beredar di media sosial. Menurutnya, draft itu belum
final, masih ada perbaikan (Tirto.id 08/10/2020). Perbaikan yang di maksud
Anggota Baleg adalah typografi dalam
penulisan. Penulis, tidak habis pikir, dengan alasan yang dimaksud. Kita patut
curiga, mengingat RUU tersebut telah disahkan menjadi UU dan akan diserahkan ke
Presiden, selaku dua sejoli dalam membuat UU yang sudah menjadi tupoksinya.
Di
hari yang sama, Bandung, Tirto.id dalam reportasenya menuliskan bahwa, Gubernur
Jawa Barat—Ridwan Kamil—akan menyurati Presiden Joko Widodo terkait UU Omnibus
Law, karena merugikan buruh dan meminta menerbitkan Peraturan pengganti
perundang-undangan Omnibus Law atau Perppu. Dengan kata lain, surat yang ditulis
Ridwan Kamil, seperti sebuah pepesan kosong, tanpa ada ketegasan sikap. Sejak
UU Omnibus Law diketok, tuntutan massa aksi adalah menolak dan mencabut atau
menggugurkan UU Omnibus Law. Bukan, pepesan kosong yang berupa Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Alih-alih, ketegasan sikap menolak dan
menuntut untuk UU Omnibus Law di cabut, Emil sapaan gaulnya, hanya mengatakan
hal retoris guna aksi mereda dan massa pulang ke rumah masing-masing. Dalam
surat yang telah tersebar di sosial media yang ditujukan kepada DPR-RI, tertulis
sebagai hal ihwal Penyampaian Aspirasi Aliansi Serikat Pekerja/Serikat Buruh di
Jawa Barat terhadap UU Sapu Jagat.
Dalam
paragraf ini, penulis akan mengatakan bahwa PKI sudah mati semenjak 1965. Jika,
PKI masih sebagai sebuah partai politik dan memang ada di dalam kekuasaan,
tentu saja PKI akan menolak keras UU Omnibus Law tersebut. Bahkan, dalam sidang
pertama guna membahas proposal UU tersebut, PKI pasti akan bertarung dengan sangat
keras, yaitu beradu argumen dengan anggota senayan lainnya dan mengerahkan
massa pendukungnya, khususnya Buruh dan Petani guna melancarkan aksi penolakan
di hari yang sama. Hari ini, sisa perjuangan PKI hanyalah Undang-Undang Pokok
Agraria 1960 yang tidak pernah dijadikan rujukan ataupun dipakai. Mengingat,
Undang-Undang tersebut, berpihak kepada para petani dan buruh tani, guna
memiliki lahan garapannya sendiri. Selain itu, pula melindungi hak-hak
masyarakat ulayat atas tanahnya. Jadi, PKI itu sudah tidak ada dan tidak
berkuasa lagi. Wong, isi dari gedung dewan adalah elit dan kepanjangan elit
ataupun bagian dari jejaring oligarki. Masa, PKI memihak para pengusaha batu
bara, kelapa sawit dan rakyat 1% lainnya.
Lagi, badan kelengkapan negara melakukan silat lidah guna mengalihkan isu sebenarnya dan membuat masyarakat awam kebingungan dalam melihat sebuah kebenaran. Silat lidah kali ini datang dari Menko bidang Perekonomian, yaitu Airlangga Hartarto. Airlangga Hartato menyatakan bahwa pemerintah mengetahui dalang dari gelombang protes Omnibus Law (Tirto.id 08/10/2020). Jadi, siapakah dimaksud dalang oleh Pemerintah yang diungkapkan oleh Airlangga tadi? HTI dan Khilafahnya? Begitulah, upaya para elit di Indonesia dalam upayanya membodohi masyarakat dengan segala khayalan mereka. Tahun lalu pun, aksi menolak RUU KPK yang berlangsung dua hari, pemerintah menyatakan yang sama, aksi penolakan RUU KPK ada dalangnya. Padahal, dalangnya adalah mereka sendiri. Mereka dengan segala kuasa ekonomi dan kuasa politik, berusaha menggembosi aksi-aksi massa, guna memenuhi hasrat kekuasaannya. Membuat, narasi-narasi agar masyarakat awam anti-pati terhadap aksi Reformasi Dikorupsi. Bisa dikatakan pemerintah berusaha mengalihkan isu, dengan memproduksi isu bahkan hoax. Guna, eskalasi isu menolak dan mencabut Omnibus Law turun melandai dan hilang secara perlahan.
Maka, untuk pembaca yang budiman, UU Omnibus Law yang sudah disahkan tersebut, akan berlaku jika Presiden sudah mentandatanganinya atau menunggu tenggat 30 hari pasca di ketok pada tanggal 5 Oktober lalu, walau tanpa tanda tangan dari Presiden. Sehingga, eskalasi isu harus tetap dijaga dengan gerilya via sosial media dengan perang narasi dengan akun bot, buzzer, influencer seperti Desta dan Soleh Solihun. Dengan fokus, memposting narasi/gambar yang dengan tetap menggunakan tagar Reformasi Dikorupsi, Tolak Omnibus Law, dan Cabut Omnibus Law. Sembari, menghiraukan akun-akun bot, buzzer, influncer dan para pendukungnya. Ingat, biarkan akun-akun seperti mereka untuk tetap dikacangin. Mari, persenjatai android kita dengan kuota dan mempersiapkan VPN. Jika sewaktu-waktu, adanya pematian koneksi internet, seperti tahun 2019 lalu.
Ingat,
kepentingan rakyat harus datang dan berasal dari rakyat. Untuk itu,
organisirlah diri kalian masing-masing dengan mengedukasi diri dan tetap
skeptis dengan segala framing media dan statement pemerintah. Ingat, kita tidak
sendirian. Banyak staf ahli-staf ahli yang berjuang untuk rakyat, dengan terus
berusaha menjegal UU Omnibus Law.
Dede Ilham Sugiarto
Hubungan Internasional
FISIP Unpas
Beri Komentar