Header Ads

Pandemi dalam Kacamata Žižek

(Foto: Penerbitindependen.com)

 

Pandemi Covid-19 benar-benar telah menginterupsi banyak hal dalam kehidupan kita. Rencana-rencana yang sudah kita susun, tiba-tiba saja jadi berantakan. Aktivitas rutin yang biasa kita lakukan sehari-hari, tiba-tiba saja harus dilakukan banyak penyesuaian.

Kosakata yang sebelumnya tidak pernah muncul dalam percakapan, kini menjadi nampak akrab, dan pada batas tertentu mungkin kita juga sudah bosan mendengarnya: Work From Home, Social-Physical Distancing, PSBB, PDP, ODP, dan seterusnya.

Pandemi telah membawa manusia pada suasana yang tak menentu dan memantik para pemikir untuk merenungkan apa yang sebetulnya sedang terjadi pada dunia.

Yuval Noah Harari, Giorgio Agamben, Bruno Latour, Ethan Siegel, atau Henry Marsh adalah contoh nama pemikir dan ilmuwan yang sudah menuliskan pandangannya terkait pandemi ini. Namun di antara semua itu, saya kira Slavoj Žižek adalah yang bergerak lebih jauh. Dikatakan lebih jauh karena filsuf asal Slovenia itu telah menghimpun pandangannya dalam sebuah buku yang terbit sejak awal-awal pandemi, sekitar bulan Maret 2020. Barangkali ini buku refleksi filosofis pertama terkait Covid-19.

Selain karena judulnya yang unik: Pandemik! (Ketika kata pandemik bisa juga dibaca sebagai panik), buat saya buku ini menarik, setidaknya karena dua hal: cara Žižek yang menjelaskan fenomena Covid-19 dengan berbagai paradoks dan gagasan yang ia tawarkan untuk mengganti sistem yang dianggapnya sudah gagal dan tidak berdaya mengatasi pandemi.

Beberapa Paradoks

Adalah fakta bahwa dalam krisis Covid-19 ini umat manusia ternyata panik. Pemerintah di beberapa negara bilang “jangan panik” kepada rakyatnya, tapi data di lapangan, berita-berita di media, dan termasuk respon pemerintah  itu sendiri dalam mengatasi pandemi justru memicu kepanikan.

Itu adalah bukti bahwa kita tidak siap dalam menghadapi pandemi dan kita tidak siap bukan karena kurangnya pengetahuan. Sains hari ini sudah sedemikian maju, para epidemiolog sudah memberi peringatan tentang virus, wabah-wabah sebelumnya yang melanda bumi seperti SARS, H1N1, atau MERS, juga kan sebetulnya adalah indikasi bahwa kita hidup dalam dunia yang rentan.

Jadi kenapa masih panik? Bagi Žižek, jawabannya jelas: karena kita tak benar-benar percaya itu bakal terjadi.

Setelah semua terjadi, ketika banyak negara kerepotan menghadapi krisis ini, Žižek lalu sampai pada pemikiran bahwa sistem yang ada sekarang ini telah gagal. Sistem yang dimaksud adalah ekonomi pasar alias kapitalisme, katanya “ketika epidemi di seluruh dunia terus berkembang, kita perlu menyadari bahwa mekanisme pasar tak akan cukup untuk mencegah kekacauan dan kelaparan.”

Žižek lalu menyebut dunia perlu perubahan radikal baik secara sikap mental dasar maupun kerja sistemik secara global. Pendeknya, kita perlu mencari sistem alternatif untuk mengganti sistem yang gagal ini.

Sebelum menuju sistem alternatif itu, Žižek menyebut beberapa persoalan yang muncul saat pandemi yang perlu dibongkar dahulu sebab mengandung paradoks. Baginya, “tak ada jalan kembali ke keadaan normal, new normal harus dibangun di atas reruntuhan kehidupan lama kita.”

Misalnya soal rasa percaya. Situasi menuntut rasa percaya pada kontrol penguasa, sebab penguasa punya segala instrumen juga wewenang untuk mengatasi pandemi secara sistemik. Tapi yang muncul justru adalah ketidakpercayaan di masyarakat, setiap kebijakan dicurigai.

Pandemi juga menuntut kerjasama global agar krisis bisa cepat selesai, tapi yang muncul justru adalah insting egois untuk mementingkan kelompok sendiri. Misalnya ketika di awal pandemi Amerika mencoba membeli hak eksklusif vaksin dari satu perusahaan di Jerman atau ketika orang-orang melakukan panic buying karena takut kekurangan kebutuhan dasar.

Situasi yang demikian justru mengarah pada kondisi yang disebut Žižek sebagai “barbarisme”, ketika cerita lama soal survival of the fittest berlaku lagi. Hanya mereka yang kuat yang bisa bertahan. Yang lemah (orang tua, orang miskin, imigran, dll) kalau sekiranya malah merepotkan ya lebih baik dibiarkan lenyap saja. Menolak hal itu, Žižek mengajak kita untuk melakukan solidaritas dan koordinasi global.

Komunisme atau Barbarisme

Meski sejak bagian awal sudah disinggung, gagasannya soal sistem alternatif dipertegas Žižek di bab kedua terakhir. Sistem alternatif yang bisa menunjang ke arah solidaritas global itu baginya adalah komunisme.

Ya… Žižek sendiri di buku itu mengakui bahwa gagasannya tersebut sudah dikritik bahkan diejek, tapi toh dia tetap pada pendiriannya, karena komunisme baginya adalah “sebutan untuk apa yang sudah berjalan atau setidaknya dianggap oleh banyak orang sebagai kebutuhan”. Negara harus mengambil peran yang jauh lebih aktif, mengorganisir produksi, menjamin kelangsungan hidup dan sebagainya – dan semua itu dilakukan dengan meninggalkan mekanisme pasar.

Ada beberapa catatan saya soal buku ini. Pertama, meski sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, beberapa bahasan dan cerita yang ditulis Žižek masih terasa asing bagi saya, karenanya membaca buku ini tidak bisa sambil lalu.

Kedua, ada kesan buku ini seperti kejar momen. Ditulis saat awal-awal pandemi dan ketika kepanikan global masih berlangsung, informasi dan fakta terbaru soal pandemi akhirnya tidak bisa termuat, misalnya soal keberhasilan Vietnam dalam mengatasi krisis.

Ini berefek ke catatan ketiga saya, seperti juga yang dikritik banyak orang, gagasan Žižek soal komunisme sebagai jalan keluar tetap terkesan utopis. Tidak ada penjelasan konkret soal bagaimana jalan ke arah sana, idenya langsung melompat.

Well, terlepas dari beberapa catatan itu, dan apakah kita setuju atau tidak dengan gagasan yang ditawarkan, setidaknya Žižek tetap produktif untuk menulis dan menyebarkan gagasannya. Itu yang perlu kita contoh.

Identitas Buku:

Judul: Pandemik! COVID-19 Mengguncang Dunia, Penulis: Slavoj Žižek (Penerjemah: Khoiril Maqin), Penerbit: Independen, Terbit: Mei 2020 (Cetakan Pertama), Tebal: 137 halaman.


(Azmi)

Tidak ada komentar