Konflik Agraria: Media Harus Independen Jangan Netral
Bandung,
BPPM Pasoendan – Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Aspirasi Universitas Pembangunan
Nasional (UPN) “Veteran” Jakarta, pada tahun ini memperingati Dies Natalis yang
ke-37 dengan mengadakan kegiatan webinar yang bertajuk “Melihat
Keberpihakan Media dalam Konflik Agraria,” pada Sabtu (31/10).
Acara tersebut dihadiri oleh empat pembicara dan dilaksanakan dalam dua sesi diskusi dengan topik pembahasan yang saling berkaitan. Pada sesi pertama mengkaji Diskursus Konflik Agraria di Indonesia, disampaikan oleh dua pembicara yaitu Benny Wijaya dari Media Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Abdul Malik Akdom selaku Wakil Kepala Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. Sedangkan dalam sesi kedua berfokus pada Menyoal Keberpihakan Media dalam Pemberitaan Konflik Agraria, dipaparkan oleh Saparian Saturi sebagai Editor Mongabay Indonesia dan Farid Gaban yang merupakan Jurnalis freelance dari Yayasan Zamrud Khatulistiwa.
Pada
sesi pertama Benny Wijaya dari KPA menyampaikan bahwasanya konflik agraria
merupakan permasalahan yang seringkali menimpa masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat rentan. Persoalan agraria tidak hanya merujuk pada
konflik pertanahan, lebih dari itu mencakup seluruh isi bumi yang pada dasarnya
belum terselesaikan dengan adil. “Bumi yang di dalamnya terdapat tanah
merupakan sumber kehidupan, maka perkara yang berkaitan dengan tanah,
masyarakat rela mempertaruhkan nyawanya untuk memperjuangkan tanahnya,” ujarnya
di awal pemaparan.
Kemudian
ia mengklasifikasihan tujuh masalah pokok agraria nasional, yaitu; (1)
Liberalisasi agraria/ pertanahan (kebijakan pro-modal), (2) Ketimpangan
struktur agraria dan monopoli tanah, (3) Akumulasi konflik agraria (konflik
lama dan baru), (4) Pengabaian hak-hak petani, masyarakat adat, nelayan dan
masyarakat miskin perkotaan, (5) Tumpang-tindih dan kontradiksi regulasi di
sektor agraria, (6) Dualisme dan sektoralisme pertanahan/ agraria, serta (7) Alih
fungsi lahan tanpa kontrol.
Lebih
lanjut ia menyinggung tentang pemerintahan Jokowi saat ini yang secara normatif
masih menggaungkan reforma agraria sebagai suatu solusi untuk mengatasi konflik
agraria, namun implementasinya bersifat kontradiktif dengan peraturan yang ada.
“Kemauan
politik pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan agraria hanya dilakukan di
permukaan saja, sehingga tidak menyelesaikan akar permasalahan konflik
agraria,” katanya di tengah pemaparan.
Benny menambahkan bahwa seharusnya pemerintah mengevaluasi lagi pemahaman dari reforma agraria secara lebih komprehensif, sehingga dengan itu akan lebih menguatkan komitmen pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan yang sangat krusial ini. Serta selalu melibatkan masyarakat terdampak dalam membahas suatu kebijakan. Sejalan dengan itu, transparansi informasi terhadap konflik agraria juga sangat penting dilakukan, agar secara konsisten dapat mengawasi tindak lanjut penanganan masalah. Karena menurutnya tidak ada demokrasi tanpa reforma agraria yang semestinya.
Pembicara
kedua yaitu Abdul Malik dari LBH Yogyakarta menyoal tentang kebijakan
pemerintah yang semakin kontras dengan kepentingan masyarakat, salah
satunya menjadikan Omnibus Law dengan dalih solusi dari permasalahan angka
demografi yang semakin tinggi dan
lapangan kerja semakin sulit. Hal
tersebut dapat diatasi dengan melanggengkan investasi, disokong dengan
perizinan yang lebih dimudahkan dituangkan dalam substansi Omnibus Law Cipta
Kerja. Jika ditelusuri dari perspektif konflik agraria kebijakan tersebut lebih
tepat dikatakan akan menimbulkan masalah yang lebih parah, alih-alih
menyelesaikan permasalahan.
Selanjutnya
pembicara ketiga, Sapariah Saturi dari Mongabay Indonesia menjelaskan peran
media dalam memberitakan isu-isu yang lekat dengan kehidupan masyarakat. Ia
menekankan bahwasanya Mongabay mengambil fokus dalam pemberitaan terhadap isu
lingkungan, masyarakat adat, nelayan dan pastinya konflik agraria.
“Indikator
pemberitaan di Mongabay dengan melakukan pemetaan dan penelitian secara makro
maupun mikro,” ungkapnya.
Tidak
berhenti disitu ia melanjutkan bahwa untuk terus mengawal isu tersebut agar
tidak sekedar menjadi narasi, Mongabay bekerja sama dengan berbagai Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM)/ Non Government Organization (NGO), serta para pakar
yang ahli di bidangnya masing-masing, yang memiliki orientasi untuk berpihak
kepada yang lemah.
Ia juga menyampaikan keresahannya bahwa isu konflik agraria belum menjadi pembahasan yang mainstream ditengah masyarakat. ”Keberpihakan masyarakat harus terus digaungkan untuk memperbaiki tata kelola,” tegasnya.
Menurut Sapariah terdapat beberapa penyebab persoalan agraria tidak menjadi topik hangat di masyarakat, diantaranya; Sumber Daya Manusia dari media yang masih kurang; Political Interest yang masih kuat dalam jejaring media seperti dengan pemerintah, birokrasi, aparat negara, atau pengusaha; Masalah wartawan yang kerap kali berpotensi di dekati amplop; Bahasa yang tidak bisa dipahami satu sama lain antara wartawan dengan masyarakat; Terlalu beresiko; Dana, berkaitan dengan sulitnya mengakses tempat konflik.
Oleh
karena itu ia juga menegaskan cara untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi
dalam meliput berita, yaitu melakukan kolaborasi dengan berbagai media lokal,
nasional maupun internasional. Sehingga beban dapat ditanggung bersama dan lebih memudahkan dalam proses pembuatan berita.
Berkaitan
dengan pembahasan diatas Farid Gaban sebagai Jurnalis Freelance memberikan
penjelasan dari perspektif jurnalistik. Ia memaparkan bahwa media arus utama saat ini tidak membahas permasalahan sampai ke akar permasalahan. Media saat
ini cenderung meliput dari permukaan masalahnya saja, padahal peran media
sangat penting untuk menganalisis berita secara lebih holistik.
“Kelemahan
pemberitaan sekarang, jurnalis tidak meliput secara komprehensif,” ujarnya.
Lalu ia menyampaikan tentang elemen jurnalisme yang paling utama dalam kehidupan jurnalistik yang harus berpihak kepada masyarakat. “Media harus independen jangan netral,” tegasnya.
Dalam
memberitakan konflik agraria penting untuk memberikan gambaran terhadap semakin
mundurnya sektor pertanian dan kerusakan alam yang terjadi di Indonesia. Pembahasan radikal dari konflik agraria
berkaitan dengan kepemilikan lahan. Saat ini yang terjadi di Indonesia 1% orang
menguasai 68% lahan produktif, hal tersebut menuntut reformasi agraria yang
substansial, bukan cuma bagi-bagi sertifikat.
“Tindakan
yang dilakukan oleh Presiden Jokowi kepada masyarakat dengan membagikan
sertifikat bukanlah aktualisasi dari reforma agraria, namun presiden
hanya memberikan sertifikat kepada tanah masyarakat yang belum memiliki
sertifikat tanah,” jelasnya.
Menjelang
akhir diskusi ia menambahkan bahwa ukuran sukses pemberitaan konflik agraria
yaitu ketika dapat mendorong perubahan kebijakan secara lebih substansial
terhadap reforma agraria, transparansi dalam kepemilikan lahan, serta kebijakan
pertanian dan perkebunan yang sehat.
Pada
akhir diskusi Farid Gaban juga membahas secara singkat tentang junalisme warga
yang dapat dijadikan alternatif untuk
terus menyuarakan konflik agraria. Guna memperkuat pergerakannya maka dapat
dibentuk asosiasi masyarakat dengan daya dukung data yang kuat. Hal tersebut diharapkan dapat mencegah maupun
mengatasi tindakan kriminalisasi yang seringkali menimpa para jurnalis warga.
(Sherani)
Beri Komentar