Indonesia dalam Dinamika Global di Era 1950 sampai 1960-an
Bandung,
BPPM Pasoendan -- Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera
Utara mengadakan seminar daring bertajuk “Indonesia dalam Gerakan Global dan
Anti Imperialisme, 1950-an – 1960-an,” pada Sabtu (24/10).
Seminar
ini menghadirkan tiga narasumber, yakni Wildan Sena Utama, Teuku Reza Fadeli,
dan Tika Ramadhini. Ketiganya merupakan kandidat doktor sejarah, masing-masing di
Universitas Bristol, Universitas York, dan Universitas Humboldt. Dalam seminar
kali ini dibahas bagaimana situasi dan kontribusi Indonesia dalam kancah global
di era 1950 sampai 1960-an.
Wildan
yang menjadi pembicara pertama, membicarakan Indonesia di era itu terkait peran
Indonesia dalam jaringan global solidaritas Asia-Afrika. Ia menjelaskan, terlibatnya
Indonesia dalam gerakan itu tidak terlepas dari sikap politik luar negeri yang
diambil, yakni memilih untuk berperan lebih aktif dalam menyuarakan aspirasi
kemerdekaan negara-negara di Asia-Afrika.
Di
awal tahun 1950-an Indonesia membantu kemerdekaan negara-negara di Afrika Utara
seperti Tunisia dan Aljazair. “Soekarno misalnya dalam pidato tahunan memperingati
proklamasi yang terhimpun dalam buku Dibawah Bendera Revolusi mengatakan
bahwa kemerdekaan Indonesia belum bulat kalau tidak mendukung kemerdekaan di
negara-negara Asia-Afrika,” kata Wildan.
Puncaknya,
tentu saja dengan dilaksanakannya Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada
tahun 1955. Nilai penting dari konferensi itu adalah makin kuatnya solidaritas
antar negara di Asia-Afrika. “KAA menginisiasi munculnya berbagai gerakan
solidaritas transnasional Asia-Afrika setelahnya, dan menarik karena modelnya
bukan diplomasi tinggi tapi oleh aktivis-aktivis non negara seperti mahasiswa,
penulis, perempuan, jurnalis,” jelas Wildan.
Beberapa
gerakan yang dimaksud Wildan antara lain Asian-African
Students Conference, Asian-African Journalists Conference, atau festival
film Asia-Afrika.
Berbeda
dengan Wildan, Teuku yang menjadi pembicara kedua membahas Indonesia di era itu
terkait dengan wacana soal atom (nuklir). Situasi politik global saat itu
dikuasai oleh dua kekuatan besar, yaitu Amerika dan Uni Soviet. Masing-masing
terlibat dalam wacana perlombaan senjata nuklir.
Pilihan
yang diambil Indonesia ketika itu pada awalnya adalah pemanfaatan nuklir untuk
kepentingan perdamaian. Teuku mengatakan, ide itu bahkan direalisasikan di
Indonesia dengan dibentuknya satu lembaga khusus pada tahun 1958, lembaga
tersebut hari ini kita kenal dengan nama BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional). “Bertujuan
untuk mengawasi penggunaan nuklir sekaligus mengembangkan potensi teknologi
nuklir di Indonesia,” kata Teuku.
Namun
dalam perkembangannya, pemanfaatan nuklir untuk perdamaian berubah jadi untuk
kepentingan militer. “Itu sebagai respon rentetan peristiwa politik. Pasca
dekrit presiden, sikap Indonesia berubah dari tidak memihak, jadi condong ke
kiri. Maksud-maksud (nuklir -red) untuk damai jadi militer,” jelasnya.
Sementara
itu Tika, yang menjadi pembicara ketiga membahas soal kiprah perempuan. “Karena
saya udah kebayang mungkin kalau kita ngomongin tentang sejarah Indonesia, gimana
sih melihat seorang perempuan dalam gerakan global,” katanya di awal pemaparan.
Dalam
pembahasan, ia tidak hanya membahas era 1950 sampai 1960-an, tapi juga sejak
awal 1900-an, ketika Indonesia masih di bawah kuasa kolonial. Ia menjelaskan
bahwa berhaji ke Mekkah jadi penanda penting bagi perempuan Indonesia untuk
berkenalan dengan dunia internasional. “Tentu di masa-masa sebelumnya udah ada
seperti lewat surat-menyurat, tapi mobilitas dalam arti secara fisik ini baru,”
kata Tika.
Ketika
itu, sangat lazim dilakukan setelah musim haji selesai orang-orang Indonesia tidak
langsung pulang melainkan menetap beberapa tahun disana untuk belajar. Diantara
tokoh perempuan yang ia sebut adalah Jee binti Abdullah al Falimbani yang mendirikan
sekolah disana. Selain untuk belajar, sekolah-sekolah semacam itu jadi tempat bagi
muslim dari berbagai negara untuk diskusi banyak hal, termasuk wacana anti kolonialisme.
(Azmi)
Beri Komentar