Header Ads

Urgensi Aksi Iklim Global untuk Melindungi Bumi Indonesia

Peserta Aksi Iklim Global Indonesia memperagakan simbol MAPA yang bermakna solidaritas. (Foto: Tim Jeda Untuk Iklim)

BPPM Pasoendan -- Pandemi tidak menyurutkan semangat anak muda dari level individu, komunitas, organisasi hingga Non-Governmental Organization (NGO) yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia, untuk ambil bagian dalam aksi iklim global.

Aksi tersebut merupakan bagian dari kampanye internasional yang dikenal dengan sebutan “Global Climate Strike”. Sebuah aksi yang dilakukan secara serentak dalam skala global untuk menyuarakan permasalahan krisis iklim yang telah menjadi ancaman bagi kehidupan dewasa ini. Hal mendesak yang menjadi poin penting dari aksi ini yaitu menuntut pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk segera mengatasi krisis iklim.

 Aksi yang dilaksanakan pada 25 September 2020 ini, mengambil judul "Climate Action Now". Tidak seperti tahun sebelumnya, aksi tahun ini dilaksanakan secara virtual mengingat kondisi pandemi Covid-19 yang masih menjadi ancaman, sehingga tidak mungkin dilaksanakan secara langsung dengan turun ke jalan.

Suatu pencapaian bahwa kegiatan ini merupakan aksi global terbesar di tahun 2020 yang dilakukan secara virtual di tengah kondisi pandemi Covid-19. Aksi virtual yang berlangsung selama 3 jam tersebut diikuti 300 anak muda di ruang zoom meeting dan 800 penonton dari live streaming di tiga kanal Youtube.

Aksi virtual ini melibatkan kalangan masyarakat di beberapa wilayah di Indonesia yang terdampak oleh krisis iklim untuk bersuara dalam mimbar bebas, diantaranya: Effendi Buhing (Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan), Taufik Iskandar (Ketua Tani Muda Santan Kalimantan Timur), Kang Gunretno (Ketua Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng/JMPPK), serta perwakilan masyarakat terdampak PLTU Batang, Tambang Pasir MNP, dan Kebun Sawit Papua.

Selain itu aksi tersebut juga dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat lainnya, yaitu Peter Alsis Goa Wonga (Direktur JPIC OFM Indonesia), Roy Murtadho (Pengasuh Pesantren Misykat Al-anwar, Bogor), dan beberapa musisi tanah air seperti Hindia & Lomba Sihir, Oscar Lolang, dan tuantigabelas. Sementara itu, pembukaan aksi disampaikan oleh aktris Tatjana Saphira.

Tujuan dari aksi iklim global yang dilaksanakan secara virtual kali ini untuk mempertegas sikap kepada seluruh elemen masyarakat, baik dari level makro hingga mikro, yaitu individu, masyarakat, pemerintah, dan korporasi untuk bergerak secara kolektif mengatasi permasalahan eksistensial krisis iklim, yang sudah mengancam kehidupan planet bumi dengan seluruh elemen di dalamnya.

Dalam hal ini, diharapkan pemerintah Indonesia menjadikan krisis iklim sebagai prioritas utama sehingga menghasilkan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada lingkungan, serta menjadikan suatu komitmen untuk mengaktualisasikan keadilan iklim secara lebih holistik.

Gencarnya kegiatan industri ekstraktif yang dilakukan dalam skema besar, serta masih tingginya penggunaan energi yang bersifat kotor, memberikan dampak pada tingginya perkembangan penyakit zoonosis yang semakin cepat bermutasi dan menyebar kepada manusia. Adanya Covid-19 membuktikan bahwa krisis iklim sesungguhnya memberikan dampak yang luar biasa terhadap keberlangsungan kehidupan umat manusia. Jika tidak dilakukan tindakan yang progresif untuk mengatasi krisis iklim, maka pandemi bukanlah akhir dari rentetan bencana yang akan terjadi.

Dinamika Indonesia Memukul Mundur Krisis Iklim

Pada kenyataannya permasalahan krisis iklim menjadi jaring yang saling bertautan, karena dampak yang ditimbulkan tidak hanya terjadi dalam satu wilayah, lebih dari itu dapat menjangkau seluruh wilayah di Indonesia bahkan negara lain. Dalam hal ini Indonesia menduduki posisi tiga besar dalam kategori tingginya bencana alam seperti banjir, puting beliung dan kebakaran.  BNPB mencatat sepanjang 2019 di Indonesia terjadi 3.721 bencana alam. Kemudian dalam rentang waktu tahun 2020 mengalami peningkatan, jika dikalkulasikan dari Januari  hingga September sudah sebanyak 1.978 bencana alam dan non alam yang terjadi di Indonesia.

Baskara Putra, musisi yang memiliki nama panggung Hindia menyampaikan pendapatnya tentang krisis iklim. “Saya merasakannya, semua sudah jauh berubah tidak dapat ditebak iklim sekarang. Ini sesuatu yang nyata dan fakta krisis iklim ini sudah terjadi. Jangan takut bergerak dari kecil dan perubahan kecil akan menuju sempurna untuk individu dan itu harus bersama-sama, agar menekan pemangku kebijakan untuk mengubah kebijakan berpihak pada lingkungan,” ujarnya, sebelum melantunkan lagunya pada acara tersebut.

Momentum aksi iklim global tersebut juga menjadi suatu peringatan gelombang aksi #ReformasiDikorupsi yang dilaksanakan pada tahun 2019 lalu, saat berbagai elemen masyarakat di seluruh Indonesia menyampaikan aspirasinya dengan turun ke jalan, namun hingga saat ini tuntutan yang digaungkan masih juga belum menjadi sorotan utama.

“Selama setahun ini kami melihat tidak adanya tindakan yang serius dari pemerintah untuk melindungi masa depan kami. Kebijakan yang dibuat sekarang adalah kebijakan para pencemar. Semakin lama pemerintah diam, maka pemerintah telah melakukan pembiaran terhadap bencana iklim yang akan menghancurkan masa depan kami. Kami tidak akan berhenti bersuara dan beraksi sampai kami memastikan pemerintah berpihak pada kebijakan yang melindungi kami,” ungkap Syaharani, Mahasiswi sebuah perguruan tinggi di Jakarta.

Adapun terkait keresahan masyarakat di daerah mengenai kondisi lingkungannya, antara lain disampaikan oleh Effendi Buhing, ketua Adat Kinipan dan perwakilan Nelayan Kodingareng, dari kepulauan Sangkarrang, Sulawesi Selatan.

Effendi menyoroti soal krisis iklim di daerahnya. “Tahun ini kabupaten Lamandau sudah terjadi 2 kali banjir besar yang tidak biasanya. Penggundulan hutan di Lamandau sangat luar biasa. Kami berusaha mati-matian menjaga hutan yang tersisa, namun sekarang hujan dan kemarau tidak menentu, kami sangat merasakan perubahan iklim ini, Kami menjaga hutan bukan hanya untuk ruang hidup kami sebagai masyarakat adat Kinipan, tetapi untuk dunia. Kami ingin hidup damai dengan alam kami. Kami meminta hutan adat diakui, karena adat kami sudah ada sebelum Indonesia merdeka,” katanya.

Sementara perwakilan Nelayan Kodingareng menyoroti soal kriminalisasi yang dialami nelayan karena menolak aktivitas penambangan pasir laut di daerahnya. "Kami yang dihancurkan tempat hidupnya, kami pula yang dikriminalisasi. Kami bukan pencuri, kami bukan pembunuh, tapi kenapa kami ditakut-takuti, apa salah kami? Kami berjuang, kami di tangkap, kami diam kami mati,” ucapnya..

Perempuan Nelayan Kodingareng saat menyampaikan keresahannya. (Foto: Sherani Soraya Putri)

Krisis iklim yang semakin masif terjadi sangat berdampak khususnya terhadap masyarakat di area rentan. Ironisnya, meningkatnya bencana alam yang terus terjadi tidak menghentikan praktik pengrusakan lingkungan yang mengikis hak wilayah masyarakat rentan.

Semangat perjuangan masyarakat rentan untuk mempertahankan kehidupan mereka terus digaungkan, dengan berbagai bentuk perlawanan terhadap kemapanan perusak lingkungan. Namun respon yang diterima oleh masyarakat di area rentan tidak menemukan titik terang, karena yang terjadi di lapangan mereka malah mengalami perlakuan diskriminatif dan kriminalisasi yang dilakukan oleh para aparat serta penguasa.

Melalui aksi iklim global diharapkan mendorong pemerintah Indonesia semakin progresif terhadap berbagai  permasalahan krisis ikilm  dan segera menghentikan berbagai praktik yang notabenenya merusak lingkungan, sehingga dapat merealisasikan keadilan iklim yang berkelanjutan dan bersifat kontekstual. Serta lebih menekankan pentingnya keberpihakan kepada kepentingan masyarakat khususnya bagi mereka di area rentan, sehingga dapat mendapatkan perlindungan dan keadilan yang sesungguhnya.

Awal Mula Aksi Iklim Global

Pada awalnya Climate Strike berasal dari aksi yang dilakukan oleh para pelajar di berbagai negara dengan melakukan aksi mogok sekolah setiap hari Jumat untuk melakukan tuntutan aksi krisis iklim. Pada akhirnya gerakan tersebut mengalami perkembangan yang lebih luas dan dijadikan aksi global rutin bernama Fridays For Future.

Gerakan ini tidak bisa dilepaskan dari nama Greta Thunberg sebagai aktivis muda asal Stockholm, Swedia. Pada 2018 lalu ia mengadakan aksi seorang diri, hingga pada akhirnya ia berpengaruh dalam menggerakan jutaan masyarakat di seluruh dunia secara signifikan untuk menyuarakan krisis iklim.

Tahun 2019 merupakan momentum sejarah yang penting bagi terlaksananya aksi protes besar mengenai urgensi krisis iklim di seluruh dunia. Tercatat 7,6 juta peserta turun aksi ke jalan menggaungkan beragam pesan aspirasi yang berorientasi untuk mengatasi krisis iklim, yang dilaksanakan dalam Week of Global Climate Crisis pada 20-27 September, bertepatan dengan pelaksanaan Climate Action Summit dari PBB pada 23 September 2019 silam. Sebanyak 6.100 aksi terlaksana di 1000 Kota dari 186 Negara.

Di Indonesia, berbagai masyarakat dari 19 daerah yang berjumlah 5.000 peserta berpartisipasi turun langsung ke jalan untuk ikut serta dalam aksi iklim global ini.

Krisis iklim merupakan suatu keadaan yang sangat genting, jika tidak diatasi dari sekarang maka  akan menimbulkan dampak yang lebih besar terhadap masa depan kehidupan di bumi. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyatakan bahwa waktu yang dimiliki oleh manusia hanya tinggal 10 tahun, yaitu sampai tahun 2030 untuk melakukan upaya pencegahan terjadinya climate tipping point atau point of no return, yang di mana jika sudah mencapai titik 1,5 derajat, maka dari itu kenaikan suhu yang terjadi di bumi tidak dapat dikendalikan lagi. 

Sherani Soraya Putri

Hubungan Internasional 

2018


Tidak ada komentar