Header Ads

Bandung Pada Suatu Masa


Bandung hari ini sudah termasuk kawasan metropolis. Persoalan khas yang dialami oleh kota-kota besar, juga dialami oleh Bandung: kepadatan penduduk, kriminalitas, kemacetan, polusi, ketimpangan sosial, dan seterusnya.

Sebelum ramai seperti sekarang, Bandung dulunya adalah kawasan yang sepi. Dalam catatan harian yang ditulis oleh seorang Mardijker bernama Yulian de Silva, tertulis ”Aen een negorij genaemt Bandong, bestaende uijt 25 ‘a 30 huysen..…” yang berarti “Ada sebuah negeri dinamakan Bandong yang terdiri dari 25 sampai 30 rumah…”. Ya, se-sepi itu.

Itu adalah catatan yang ditulis tahun 1641. Terus gimana keadaan Bandung sebelumnya? Buku yang saya ulas ini, bisa memberikan jawabannya. Lewat buku ini kita diajak untuk menelusuri lorong masa lalu Bandung, bukan hanya ratusan atau ribuan tahun yang lalu, tapi bahkan sampai jutaan tahun yang lalu. Selamat datang di Bandung Purba!

Berisi 36 catatan perjalanan kedua penulisnya, kita dikenalkan pada fakta-fakta menarik seputar kondisi Bandung, terutama alamnya. Misalnya soal Cekungan Bandung. Kalau kita sedang berada di tempat tinggi seperti di rooftop hotel, cobalah lihat sekeliling. Akan terlihat betapa Bandung ini dikelilingi oleh rangkaian gunung.

Di sebelah utara ada Gunung Burangrang, Gunung Tangkubanparahu, serta Gunung Putri. Di Timur ada Gunung Manglayang. Di selatan ada Gunung Patuha, Gunung Tilu, Gunung Malabar. Di sebelah barat ada rangkaian bukit-bukit kapur Rajamandala. Ibarat mangkuk raksasa, maka rangkaian gunung itu adalah pinggirannya, sedangkan dasarnya, itulah tempat sebagian besar masyarakat Bandung sekarang mukim dan beraktivitas.

Tapi dulu di dasar “mangkuk” itu tidak ada aktivitas manusia, sebab masih berupa danau. Di kawasan ini terjadi banyak kegiatan vulkanik, terutama ketika Gunung Sunda meletus sekitar 500.000 tahun yang lalu. Material letusan itu menutup saluran-saluran air untuk mengalir, sehingga air tertahan di “mangkuk” itu. Jadilah Bandung itu danau yang sangat besar, biasa disebut Danau Bandung Purba.

Menurut penulis buku, saat itu Bandung sudah dihuni manusia. Berdasarkan bukti-bukti arkeologis ditemukan artefak-artefak dari batu obsidian, yang terbanyak ada di sekitar Dagopakar. Pada tahun 2003 di kompleks Guha Pawon juga ditemukan kerangka manusia prasejarah.

Melalui fakta-fakta yang disebutkan itu, saya membayangkannya begini: pada saat Bandung masih berbentuk danau raksasa, sudah ada kehidupan manusia purba. Tentu mereka tidak beraktivitas di dasar “mangkuk” seperti kita sekarang, melainkan di pinggiran yang permukaannya lebih tinggi sehingga tidak terendam air, antara lain di Dagopakar dan Guha Pawon itu.

Bersamaan dengan proses penggenangan Danau Bandung Purba, terjadi juga erosi yang terus mengikis pinggirannya. Ketika terjadi gempa di jalur patahan yang banyak mengiris Cekungan Bandung, akhirnya bentang alam jebol juga. Lewat celah yang jebol itulah air mengalir hingga akhirnya menyusut.

Peta Danau Bandung Purba (sumber: http://arkeologisunda.blogspot.com/)


Dalam catatan lain di buku ini disebut juga fakta menarik yang masih berkaitan dengan cerita Danau Bandung Purba. Jebolnya danau bukan berarti menjadi daratan yang kering, melainkan masih berupa lahan-lahan basah. Atas dasar inilah kenapa banyak nama tempat di Cekungan Bandung mempunyai ciri bumi sebagai wilayah berair. Misalnya kata situ, ranca, bojong, dan tanjung.

Di buku ini tercatat ada 207 tempat yang memakai unsur kata di atas. Sebagai contoh: situbolang, situaksan, tanjunglaya, tanjungsari, rancasari, rancabadak, rancacili, rancabali, rancaekek, bojongkidul, atau bojongsoang.

Hmm.. nama seperti rancaekek dan bojongsoang seperti akrab di telinga sebagai kawasan yang sering banjir bukan? Dari penamaan tersebut kita bisa belajar bahwa memberi nama sebuah tempat perlu mempertimbangkan asal-usul sejarah. Ini dapat berpengaruh pada mitigasi bencana bagi wilayah sekitar sehingga masyarakat dapat lebih mengenal karakter tempat tinggal masing-masing.

Selain berisi catatan yang bersifat eksplanatif, buku ini juga berisi kegelisahan dan catatan kritis dari penulisnya tentang Bandung di masa depan. Misalnya soal penghancuran bukit-bukit kapur di Kawasan Rajamandala untuk keperluan industri. Padahal seperti sudah disinggung di atas, di kawasan itu, tepatnya di Guha Pawon telah ditemukan kerangka manusia prasejarah. Maka penting untuk menjaga kawasan itu sebagai tempat penelitian juga tempat pembelajaran sejarah bumi Bandung.

Juga soal pembangunan yang kian marak. Kebutuhan ruang untuk permukiman telah mendesak ke kaki gunung bahkan merayap hingga pertengahannya. Ini bisa menjadi ancaman bagi wilayah Bandung yang di bawahnya, karena tanah di perbukitan dan gunung-gunung yang bisa menyerap air makin sedikit areanya, maka air hujan yang tidak terserap akan meluncur ke bawah dan terjadilah banjir.

Bagi penulis, lambang kota Bandung sebetulnya menyiratkan keterkaitan antara kota dan kawasan di sekelilingnya. Antara manusia, budaya dan alam, terdapat saling ketergantungan. Maka pendekatan pembangunan yang dilakukan di kawasan ini mestilah holistik.

 

Identitas Buku

Judul: Bandung Purba - Panduan Wisata Bumi, Penulis: T. Bachtiar dan Dewi Syafriani, Penerbit: Dunia Pustaka Jaya, Terbit: November 2012 (edisi kedua, cetakan ke-1), Tebal: 268 halaman.

Azmi
Mahasiswa Ilmu Komunikasi 2017

Tidak ada komentar