Corona dan Momentum Emas Dalam Sejarah
Ilustrasi dunia yang "geraknya" terhenti karena pandemi. (Sumber: Edwin Hooper / Unsplash) |
“Pandemi telah memaksa manusia untuk putus
dengan masa lalunya dan membayangkan dunianya yang baru. Ia adalah portal,
sebuah pintu gerbang di antara satu dunia dengan dunia berikutnya.”
- Arundhati Roy
Penyakit menular yang membunuh dan mengubah sejarah umat manusia pernah terjadi sebelum pandemi Coronavirus kiwari. Kolonisasi benua baru (baca: Amerika) oleh orang Eropa sejak abad ke-16 menggambarkan bahwa penyakit menular adalah salah satu faktor kunci dalam sejarah dunia. Orang-orang Eropa membawa penyakit menular seperi cacar, campak, flu, tifus, dan sebagainya yang mematikan masyarakat pribumi di dunia baru.
Menurut Jared Diamond dalam bukunya Bedil, Kuman & Baja: Rangkuman Riwayat
Masyarakat Manusia, “Di seluruh benua Amerika, penyakit yang dibawa oleh
orang Eropa menyebar dari suku ke suku mendahului kedatangan orang Eropa
sendiri, dan korbannya berjumlah 95 persen populasi pribumi Amerika pada masa
pra-Kolombus.”[1]
Penyakit cacar yang dibawa oleh pemukim
Eropa juga memicu perang saudara dalam Kekaisaran Inka yang memuluskan jalan
penakluk asal Spanyol, Fransisco Pizzaro. Menurut Jared Diamond, Pertempuran
Cajamarca pada 16 November 1532 terjadi setelah wabah cacar menewaskan Kaisar
Inka, Huayna Capac dan penerusnya, Ninan Cuyuchi. Kematian tersebut menyebabkan
terjadinya perebutan takhta Kekaisaran
Inka antara Atahuallpa dan saudara tirinya, Huascar.
Setelah memenangkan perang saudara
tersebut, pasukan Atahuallpa harus bertemu Fransisco Pizzaro dan pasukannya di
Cajamarca. Pertempuran Cajamarca yang masyhur itu pun meletus. Dan akhirnya, penakluk
Spanyol yang dipimpin Pizzaro berhasil memenangkan pertempuran melawan
Kekaisaran Inka yang pincang. Penyakit menular dan bedil penakluk Eropa memungkinkan
adanya penjajahan penduduk asli Amerika.
Selain itu, pandemi pes atau sering
disebut ‘The Black Death’ yang
menyerang Eropa pada abad ke-14 juga tak kalah penting dalam sejarah penyakit
yang mengubah wajah dunia. Di Inggris, Raja Edward III memerintahkan rakyatnya
untuk menggelar doa bersama pada Agustus 1348 untuk menghindarkan mereka dari
kengerian penyakit menular tersebut. Namun, wabah pes tetap menyerang dan
memakan korban separuh dari total populasi bangsa Inggris.[2]
Kematian separuh populasi bangsa Inggris
menyebabkan kelangkaan tenaga kerja yang berada pada lapisan terbawah struktur
feodalisme. Akibatnya, sistem yang ditopang oleh para petani sebagai penggarap
lahan tanpa upah tersebut mengalami krisis. Kelangkaan tenaga kerja membuat
para petani di Inggris menuntut agar sistem kerja tanpa upah dan berbagai
pungutan denda atas diri mereka dikurangi.[3]
Tuntutan para petani itu memuncak pada
tahun 1381, saat terjadinya Revolusi Petani yang secara perlahan menghancurkan
sistem feodalisme di Inggris dan menumbuhkan pasar tenaga kerja yang inklusif
dengan upah yang lebih tinggi. Menurut Daron Acemoglu dan James A. Robinson,
inilah episode sejarah yang sangat menentukan bagi munculnya institusi
ekonomi-politik inklusif dan revolusi industri di Inggris.
Kedua episode sejarah di atas
menjelaskan bahwa penyakit menular bisa menjadi titik balik kehidupan umat
manusia di berbagai belahan dunia. Hari ini kita masih menghadapi pertanyaan
mendasar tentang, bagaimana perubahan yang terjadi setelah pandemi Coronavirus berakhir?
Titik
Balik Sejarah yang Menentukan
Coronavirus membuat dunia kita lumpuh untuk sesaat.
Menghentikan untuk sementara pergerakan modal, pembakaran bahan bakar fosil,
hingga memaksa kita untuk mengisolasi diri di rumah. Ia juga memunculkan banjir
perdebatan dalam wacana politik hingga ekonomi. Tulisan ini akan mempertemukan berbagai
proyeksi dunia pasca-coronavirus yang
mungkin saja menjadi titik balik sejarah yang menentukan seperti halnya dua
contoh di awal.
Siapa yang menang dan bertahan dalam
dunia setelah coronavirus masih jadi
pertanyaan. Yang terang adalah, betapa rapuhnya umat manusia di hadapan “alam”
yang lebih mematikan dibanding sebelumnya.
Dalam bayang-bayang dunia apokaliptik,
saya teringat pada buku David Wallace-Wells. Sesungguhnya, bencana penyakit
menular sudah diramalkan terjadi pada zaman kiwari. Dalam buku Bumi Yang Tak Dapat Dihuni: Kisah Masa Depan, saya membaca Wallace-Wells
yang sedang menceramahi umat manusia bahwa salah satu kekacauan akibat krisis
iklim dan bumi yang semakin panas adalah meningkatnya wabah penyakit menular.[4]
Wallace-Wells mencatat bahwa pandemi ini
bukanlah akhir dari segala kekacauan. Melainkan, hanya salah satu dari kejadian
yang bakal kita tanggung akibat dosa lingkungan. Pandemi-pandemi lain mungkin
akan menjangkiti umat manusia selama dosa lingkungan itu tidak pernah
terselesaikan.
Sejarawan terkemuka, Yuval Noah Harari
juga turut menyumbang pemikiran yang menarik. Menurut Harari dalam tulisan The World after Coronavirus, dunia
pasca-Coronavirus mampu memberikan legitimasi negara untuk menegakkan rezim
pengawasan yang totaliter.[5] Di China, pemerintah memberlakukan rezim
pengawasan ketat terhadap rakyatnya untuk mengatasi pandemi ini. Alat-alat
pengawasan pemerintah China seperti algoritma yang memantau suhu tubuh, kemana
kita pergi dan dengan siapa kita bertemu, sangat dimaklumi. Dan kita mungkin
akan sepakat bahwa dalam kondisi kedaruratan, negara cenderung mampu melakukan
tindakan di luar normal bahkan anti-demokratis sekalipun sebagai “solusi sementara”.
Sayangnya, “solusi sementara” sering
kebablasan, atau diberlakukan terus menerus, apalagi selama kedaruratan baru
selalu mengintai. Harari mengkhawatirkan rezim pengawasan yang lebih jauh
setelah pandemi ini. Dari ‘pengawasan di atas kulit’ menjadi ‘pengawasan di
bawah kulit’. Dari preferensi politik menjadi suhu tubuh, tekanan darah, dan
detak jantung. [6]
Di masa depan, ketika rezim pengawasan
totaliter ini semakin sakti, fiksi Nineteen
Eighty-Four karya George Orwell akan semakin nyata. Umat manusia akan hidup
layaknya Winston Smith di Oceania.
Selain Harari, filsuf kiri asal
Indonesia, yaitu Martin Suryajaya juga mengeluarkan dua tulisan yang sangat
menarik, yaitu Membayangkan Ekonomi Dunia
Setelah Korona dan Membayangkan
Politik Dunia Setelah Korona.
Suryajaya mengajukan istilah yang
menarik, yaitu “revolusi diam”, yang ditandai oleh: (1) de-industrialisasi, (2)
de-finasialisasi, (3) diskoneksi fisik, (4) pelokalan global.[7] Gejala-gejala
tersebut ia bayangkan sebagai kiamat kapitalisme.
Martin Suryajaya mengutip tesis David
Harvey bahwa “…tidak ada kapitalisme tanpa gerak.” Sederhananya, roda
kapitalisme digerakkan oleh pabrik-pabrik yang tetap bekerja. Suryajaya melihat
penjarakan sosial (social distancing) —buruh dirumahkan, tidak ada yang
pergi ke bioskop, serta terbang dan berwisata— di seluruh dunia dalam waktu
yang bersamaan, adalah sakratulmaut kapitalisme.
Dalam keadaan itulah, sosialisme akan
bangkit dari peti mati yang dipaku Francis Fukuyama. Sosialisme akan menjadi
juru selamat umat manusia.
Perkembangan rezim pengawasan dan big data yang disebutkan Harari
sebelumnya, diterjemahkan oleh Suryajaya sebagai transformasi dari demokrasi
menuju datakrasi. Datakrasi dibayangkan olehnya sebagai sebuah tata kelola
pemerintahan yang dikelola secara impersonal, tanpa individu ataupun kelompok
pemimpin, sepenuhnya berdasarkan artificial
intelligence dengan berbasiskan big
data yang terhimpun dari seluruh aktivitas warga negara.[8]
Dapat disimpulkan, bahwa Suryajaya
mengawinkan dimensi ekonomi dan politik dalam sebuah Sosialisme Datakratis. Tatanan
alternatif yang membayangkan sakratulmaut status quo (baca: kapitalisme) dalam
dunia pasca-Coronavirus.
Di tengah bayang-bayang dunia pasca-Coronavirus, penulis merasa bahwa Coronavirus bisa jadi “momentum emas”
dalam sejarah, seperti wabah pes yang menyebabkan Revolusi Petani pada abad
ke-14 di Inggris dan penyakit cacar yang membuka peluang kolonialisme di Amerika.
Dalam buku Mengapa Negara
Gagal: Awal Mula Kekuasaan, Kemakmuran, dan Kemiskinan, “momentum emas” adalah kejadian-kejadian luar
biasa yang menggoyahkan ekuilibrium
politik-ekonomi, yang mampu mendorong perubahan radikal bagi umat
manusia.
Umat manusia bisa menciptakan dunia
barunya, entah itu sosialisme datakrasi, rezim pengawasan totaliter, atau tetap
mempasrahkan diri dalam tatanan neoliberalisme.
Dan pandemi Coronavirus, mungkin adalah titik balik sejarah yang menentukan.
Catatan
:
[1] Jared Diamond. 2013. “Bedil,
Kuman & Baja: Rangkuman Riwayat Masyarakat Manusia”. Jakarta: KPG. Hlm.
84-85.
[2] Daron Acemoglu dan James A. Robinson. 2017. “Mengapa Negara Gagal:Awal Mula Kekuasaan,
Kemakmuran, dan Kemiskinan”. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Hlm. 104.
[3] Ibid. Hlm. 105.
[4] David Wallace-Wells. 2019. “Bumi
Yang Tak Dapat Dihuni: Kisah Masa Depan”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
[5] https://www.ft.com/content/19d90308-6858-11ea-a3c9-1fe6fedcca75
[6] https://www.ft.com/content/19d90308-6858-11ea-a3c9-1fe6fedcca75
[7] https://www.martinsuryajaya.com/post/membayangkan-ekonomi-dunia-setelah-korona.
[8] https://www.martinsuryajaya.com/post/membayangkan-politik-dunia-setelah-korona.
Chandra Septian
Mahasiswa Hubungan Internasional 2017 - FISIP Unpas
Beri Komentar