Header Ads

Memukul Balik Krisis Iklim



Apa yang akan terjadi dengan umat manusia apabila terjadi pemanasan global di angka dua derajat, tiga derajat, hingga empat derajat? Bagaimana cara hidup kita di planet Bumi yang lebih panas dan permukaan lautnya lebih tinggi di akhir abad ini?
Dalam ketidakpastian bagaimana manusia dan sistem iklim saling menyesuaikan diri itulah, David Wallace-Wells mendedah proyeksi umat manusia bertahan hidup dalam Bumi yang dipenuhi unsur-unsur kekacauan. Melalui Bumi Yang Tak Dapat Dihuni: Kisah Masa Depan, Wallace-Wells menggarisbawahi bahwa krisis iklim akan menjadi malapetaka yang mengubah cara hidup manusia.
Krisis iklim yang dirasakan hari ini bukan hanya soal pemanasan global yang mempengaruhi Artika dan kenaikan permukaan air laut yang menenggelamkan Polinesia. Lebih dari itu, krisis iklim adalah persoalan yang “lebih buruk daripada yang Anda pikirkan”, tulis Wallace-Wells. Sebab, krisis ini bukan saja mampu mengakhiri keadaan normal antara manusia dan “alam”, bahkan bisa mengantarkan kita pada kepunahan massal keenam.
Wallace-Wells menggambarkan krisis ini sebagai “drama dengan dua kemungkinan yang sama-sama buruk. Hasil terbaik dalam drama tersebut adalah kematian dan kesengsaraan setara dengan dua puluh lima kali skala Holocaust, dan hasil terburuknya adalah kita, umat manusia, berada di ambang kepunahan keenam.”
Wallace-Wells menunjukkan bahwa kita sedang memperburuk pemanasan global lewat produksi gas rumah kaca. Ia mengurai fakta mengkhawatirkan yang tidak ingin kita dengar, bahwa semuanya —masa depan yang dipenuhi dengan kelaparan, kemiskinan, kekeringan, wabah penyakit, kerusuhan politik, krisis ekonomi, dan matahari yang membakar kita hidup-hidup— mungkin terjadi jika kita tidak secara radikal memukul balik krisis iklim.
Buku ini mengajak pembaca mengimajinasikan dunia distopia yang ada dalam film-film seperti Interstellar, Children of Men, dan Mad Max: Fury Road. Film-film tersebut memberikan kita gambaran bumi yang tidak layak dihuni akibat krisis iklim. Yang tidak pernah terbayangkan adalah, hari ini umat manusia sedang berada di pintu gerbang teater fiksi masa depan tersebut.
Dalam buku ini, Wallace-Wells memberikan ragam tentang bagaimana krisis iklim akan memengaruhi cara hidup manusia, yang akan mendekatkan kita pada apa disebut “keadaan normal baru”. Dimana planet Bumi memaksa kita untuk bertahan hidup dalam panas maut, kelaparan akut, udara yang tidak bisa dihirup, globalisasi wabah penyakit, hingga kejatuhan ekonomi. Sehingga, buku ini dapat dijadikan alarm untuk memahami betapa luas dan dramatisnya ancaman ini.
Rentetan kejadian-kejadian akibat iklim memaksa pembacanya untuk sadar bahwa pembakaran bahan bakar fosil dan gaya hidup konsumtif umat manusia benar-benar telah membuat alam menjadi “binatang buas yang marah” atau “mesin perang” yang setiap hari kita perkuat persenjataannya lewat produksi gas rumah kaca ke atmosfer dengan laju yang tinggi.
Lebih dari separuh konsentrasi gas rumah kaca yang kita lepas ke atmosfer akibat pembakaran bahan bakar fosil baru dilepas dalam tiga dasawarsa belakang. Dalam periode tersebut, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah melaksanakan Konferensi Stockholm yang mengangkat isu keamanan lingkungan di tingkat internasional pada 1972 dan menetapkan mekanisme pengurangan emisi gas rumah kaca dalam Protokol Kyoto pada 1997. Kesimpulannya, umat manusia tetap melakukan kerusakan ketika sudah tahu planet ini sedang sekarat.
Pada titik itulah krisis iklim menuntut kita untuk mempersiapkan kepunahan massal keenam apabila kita tetap menutup mata dan telinga dengan fakta ini.
Hentikan Business as Usual!
Krisis iklim semakin dipertegas melalui temuan-temuan otoritas ilmiah seperti Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). IPCC membantu negara-negara dalam mengenal dampak perubahan iklim serta opsi-opsi untuk mitigasi dan adaptasi berdasarkan pertimbangan ilmiah.
Namun, ada saja pemimpin dunia yang menyangkal krisis iklim. Misalnya saja, Donald Trump yang memutuskan keluarnya Amerika Serikat dari Perjanjian Paris dan bersikap skeptis terhadap krisis iklim dalam twitnya. Padahal, Amerika Serikat adalah salah satu negara penyumbang emisi karbon terbesar di dunia.
Trump tidak sendiri, banyak sekali kelompok penyangkal yang terdiri dari para politisi maupun pebisnis dengan modal media massa yang mampu membentuk opini publik. Kepentingan ekonomi mendominasi logika berpikir kelompok penyangkal ini. Umumnya, mereka adalah pebisnis atau politisi yang digerakkan oleh industri bahan bakar fosil yang terancam oleh disrupsi akibat krisis iklim.
Kelompok penyangkal ini mampu untuk menghambat dan membatalkan kebijakan negara dalam memukul balik krisis iklim. Oleh karenanya, jalan buntu kesepakatan global untuk membatasi peningkatan suhu hingga 1,5 Celcius di atas tingkat pra-industrial akan sangat politis.
Artinya, berkontribusi dalam memukul balik krisis iklim bukan hanya dilakukan melalui mengurangi jejak karbon pribadi. Kita harus bergerak dari pilihan individual menuju perubahan kebijakan. Maka dari itu, untuk menyelamatkan iklim, sikap politik dan suara kita dalam pemilu jauh lebih penting daripada menaiki moda transportasi umum. 
Wallace-Wells menuntut pembaca melihat isu krisis iklim sebagai isu politis. Sehingga penting bagi kita untuk mendukung politikus yang berkomitmen dalam perjuangan menyelamatkan planet.
Buku ini juga mengajak pembaca mengetahui solusi dari kekacauan akibat krisis iklim. Wallace- Wells menyinggung Protokol Kyoto dan Perjanjian Paris —yaitu kesepakatan internasional bagi negara-negara untuk berkomitmen mengurangi gas rumah kaca dalam rangka menahan kenaikan suhu global dibawah dua derajat Celcius. Serta, teknologi penyedot karbon dari udara, yaitu Carbon Capture and Storage (CSS) yang dinilai oleh ilmuwan dan futuris masih lebih dekat dengan fantasi untuk saat ini, serta upaya georekayasa lain dalam kemungkinan solusi iklim.
Di bab terakhir buku ini, Wallace-Wells mengingatkan kita bahwa dalam upaya adaptasi dan mitigasi krisis ini, kita punya segala alat yang dibutuhkan hari ini: investasi energi bersih, praktik agrikultur berkelanjutan, pajak karbon, dan perangkat politik untuk menghentikan pembakaran bahan bakar fosil seperti Green New Deal.
Umat manusia punya kuasa untuk memperbaiki segala dosa iklim hari ini. Untuk itu, kita harus menyerukan kepada masyarakat dunia untuk bertindak sebagai satu kesatuan. Seperti  yang dikatakan Wallace Wells, bahwa “Anda tidak bisa memilih planet, karena hanya yang ini satu-satunya yang bisa kita sebut sebagai rumah.”
Berhadapan dengan situasi demikian, Wallace-Wells menyerukan kembali akan sebuah bahaya yang ada di depan mata, yang menuntut kita menghentikan business as usual. Sudah seharusnya ancaman ini menciptakan sistem solidaritas global yang sejati dan membongkar kotak-kotak nasionalistik. Umat manusia tidak bisa lagi mundur dari tanggung jawab bersama ini.
Terakhir, Wallace-Wells mengajukan pertanyaan kepada umat manusia: Apakah manusia mampu memukul balik krisis iklim? Apakah manusia mampu bertahan hidup dalam planet Bumi yang kacau? Pertanyaan-pertanyaan itulah yang perlu segera dijawab.

Identitas Buku
Judul: Bumi Yang Tak Dapat Dihuni: Kisah Masa Depan, Penulis: David Wallace-Wells (alih bahasa oleh Zia Anshor), Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Terbit: 2019, Tebal: 331 halaman.

Chandra Septian
Mahasiswa 
Hubungan Internasional 2017 - FISIP Unpas

Tidak ada komentar