Header Ads

Mastermind of International Women’s Day

Peringatan International Women's Day 2020 di Jakarta (Sumber: mediaindonesia.com)


Sejak tahun 1977, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperingati secara resmi tanggal 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional. Tujuannya untuk memperjuangkan hak perempuan dan mewujudkan perdamaian dunia. Terlepas dari tujuannya, kita tidak dapat lepas dari sejarah mengapa ditetapkan hari peringatan tersebut.

Kita dapat melihat fakta bahwa hari ini (IWD) menjadi kesempatan bagi para perempuan untuk berkumpul merayakan pencapaian, mulai dari aspek politik hingga sosial yang mempunyai misi utama yaitu menyerukan Kesetaraan Gender. Aksi yang dilakukan setidaknya mampu menyatukan perempuan dari seluruh profesi yang dikemas dalam aksi unjuk rasa, penampilan karya seni, orasi, dan pawai.

Tahun 2020 ini tema yang diusung adalah #EachforEqual dan bisa dibilang merupakan tahun yang “penting” untuk kesetaraan gender, dikarenakan bertepatan dengan beberapa momen seperti: momentum peringatan ke-25 Deklarasi dan Platform Aksi Beijing, 10 tahun berdirinya Perempuan PBB, dan peringatan 20 tahun resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 tentang perempuan, perdamaian dan keamanan (cnnindonesia.com).

Namun dibalik fakta-fakta yang dibalut sedemikian rupa, terdapat pemikiran yang mungkin bagi banyak orang tidak kasat mata, namun tidak sedikit juga orang di dunia ini mampu secara sadar melihat setiap persoalan dalam sudut pandang yang berbeda dengan menganalisis ke arah solusi yang tepat.

Kesetaraan gender, sebagai tujuan ke-5 SDGs, adalah penjajahan Barat yang diselubungi utopi kesejahteraan perempuan. Semua ‘permufakatan’ internasional tentang gender—baik CEDAW, BPfA, ICPD, MDGs ataupun SDGs—sebagaimana UU internasional yang digagas Barat adalah sumber malapetaka. ‘Kemajuan’ gender yang dipropagandakan hanyalah mantra sihir yang menyuburkan mimpi perempuan dan keluarganya untuk meraih kebahagiaan semu. Lihat saja, semua parameternya hanya bernilai materialistik.

Realitasnya, kapitalis yang serakah terus-menerus mengeksploitasi perempuan demi mewujudkan totalitas hegemoni atas dunia. Dunia yang disetir oligark pengendali Multi National Corporation (MNC) strategis telah menguasai SDA vital dan bisnis global. Tentu mereka membutuhkan SDM untuk mengelola produksi barang dan jasa di korporasi miliknya. Tenaga kerja perempuan memiliki keunggulan komparatif.

Karena itu ditebarkanlah propaganda demi memobilisasi keterlibatan mereka yang akan menjadi sumbangsih bagi kesejahteraan keluarga dan bangsanya. Selain menggerakkan roda ekonomi, perempuan adalah pasar potensial produksi barang dan jasa. Karena itu perempuan yang mandiri secara finansial akan mengalirkan keuntungan bagi brankas bos-bos MNC. Karena itu pula Barat menciptakan ukuran untuk menilai keseriusan setiap negara menderaskan kesetaraan gender.

Capaian pendidikan bagi perempuan diperlukan untuk mendapatkan akses ekonomi, baik lapangan kerja, permodalan ataupun pasar. Adapun pemberdayaan politik dibutuhkan untuk membuat regulasi yang berpihak pada mobilisasi perempuan. Mobilisasi—tepatnya eksploitasi—tenaga kerja perempuan harus lebih didongkrak demi target efisiensi. Karena itu saat angkatan kerja perempuan hanya mengisi 46,9% ceruk lapangan kerja, sementara laki-laki mengisi 76,1 %, mereka tak bisa menerimanya. Ilusi Barat adalah mewujudkan Planet 50:50, kesetaraan paripurna pada semua bidang. Barat mengiming-imingi dunia, bahwa jika perempuan memiliki peran identik dengan laki-laki di lapangan kerja, hal itu bakal meningkatkan PDB global pada tahun 2025 sebesar USD 28 trilliun.

Dunia memang gagal dalam menyelesaikan semua masalah. Ini adalah akibat sistem sekular yang mereka terapkan. Termasuk gagal dalam menyelesaikan masalah perempuan. Bagaimana tidak disebut gagal bila konseptor ide gender tak pernah tulus menghargai martabat perempuan, kecuali hanya menjadikan perempuan sebagai obyek ekonomi dan pelengkap penderita atas permasalahan utama dunia kapitalistik.

Kerusakan sendi-sendi hubungan sosial kemasyarakatan, baik di sektor privat ataupun publik, menjadi realitas yang kini dihadapi. Masyarakat dunia serempak memiliki penyakit sosial yang berawal dari pembangkangan mereka atas aturan syariah Islam kaffah. Padahal aturan syariah sungguh sederhana sekaligus kompleks dalam menjaga keharmonisan relasi sosial antar anggota masyarakat dan keluarga.

Watak liberal yang disandang Kapitalisme turut memberi andil terhadap penghancuran peran sentral setiap anggota keluarga. Persaingan ekonomi yang keras menekan perempuan untuk memasuki dunia kerja. Mereka dipaksa mengadopsi peran laki-laki sebagai pencari nafkah sekalipun jika mereka ingin tinggal di rumah dan merawat anak-anak. Peradaban kapitalis juga telah mereduksi nilai perempuan; hanya dianggap berharga bila mandiri secara finansial.

Inilah fenomena kerusakan yang dirasakan di seluruh penjuru dunia. Bagaimanapun Kapitalisme beserta turunannya—demokrasi, liberalisme hingga kesetaraan gender—adalah sistem destruktif hingga mampu menghancurkan tatanan masyarakat. Untuk menghentikan destruksinya, butuh solusi struktural bukan individual ataupun komunal.

Konon Mahasiswa adalah agent of change yang kritis, dapat melihat fakta dengan benar lalu tercetuslah analisis-analisis yang kreatif lagi membangun, dan seharusnya mampu untuk mengeluarkan solusi-solusi yang tepat bagi problematika keadaan dunia saat ini. Atas nama mahasiswa yang objektif, lalu melihat dengan berbagai sudut pandang hingga mampu menganalisa kemudian menyimpulkan dari setiap peristiwa, jangan mudah termakan isu Kesetaraan Gender, karena senyatanya justru yang didapat hanyalah kesengsaraan bagi perempuan.

Untuk seluruh mahasiswa, terkhusus mahasiswa Muslim dimanapun berada, Islam adalah agama yang sempurna memang telah menempatkan perempuan dalam kedudukan yang mulia, Islam tidak membedakan perempuan dengan laki-laki karena yang membedakan hanyalah taqwanya. Adapun jika ada hukum yang berbeda anatara perempuan dan laki-laki. Senyatanya karena qadrat keduanya berbeda. Oleh karena itu, mahasiswa Muslim, generasi milenial wajib menyerukan #tolakidekesetaraangender.

Masalah perempuan harus diselesaikan dengan solusi yang tepat, yang berdiri di atas keadilan yang hakiki. Solusi itu bukanlah ide kesetaraan gender, karena solusi yang hakiki harus berangkat dari Sang Maha Adil. Bagaimana mungkin kita dapat melupakan aturan sang pencipta yang menciptakan segala isi alam semesta ini?

Sang Pencipta yang mengetahui benar hal yang tepat untuk setiap makhluk-Nya, namun manusia dengan kesombongannya melupakan hal yang mendasar ini, justru manusia berlomba membuat hukum karangannya sendiri agar dapat diterapkan ditatanan dunia karena terdapat kepentingannya yang harus diperjuangkan. Alhasil semuanya tak pernah berlaku adil, tak pernah merata, hanya sebagian kalangan yang merasa adil karena bercokol dengan kepentingannya.

Sadarkah kita? kita memerlukan Negara yang memiliki wibawa untuk menolak ketundukan pada undang-undang kufur internasional dan memiliki kemandirian untuk melaksanakan hukum Islam secara kaffah. 


Annisa Rahma S
Mahasiswi Hubungan Internasional - FISIP Unpas
Ketua Kemuslimahan Rumeli Hisari

Tidak ada komentar