Header Ads

9 Februari, Hari Pers Nasional atau Hari Lahir PWI?



Tanggal 9 Februari kerap diperingati sebagai Hari Pers Nasional (HPN). Hal tersebut merujuk kepada Keputusan Presiden (Keppres) No.5/1985[1], tentang Hari Pers Nasional yang dikeluarkan oleh Presiden Indonesia saat itu, Soeharto.

"Bahwa tanggal 9 Februari merupakan peristiwa bersejarah bagi kehidupan pers nasional Indonesia karena pada tanggal tersebut dalam Tahun 1946 terbentuklah organisasi Persatuan Wartawan Indonesia yang merupakan pendukung dan kekuatan pers nasional," bunyi salah satu butir pertimbangan Keppres nya.

Maka sejak keluarnya Keppres tersebut sampai hari ini, sebagian kalangan pers bersama pemerintah rutin menggelar peringatan HPN yang berlangsung di tempat yang berbeda setiap tahunnya. Untuk tahun ini Kalimantan Selatan jadi tuan rumahnya dengan tema yang diangkat adalah “Pers Menggelorakan Kalimantan Selatan Gerbang Ibu Kota Negara”

Ya, Anda tidak salah saat baca kalimat “sebagian kalangan pers” diatas, karena memang faktanya tidak semua komunitas pers sepakat dengan penetapan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) adalah diantara yang vokal menentangnya.

Dalam wawancaranya dengan salah satu media online[2], Abdul Manan, ketua umum AJI mengatakan bahwa mereka tidak mengakui 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional karena tanggal tersebut adalah hari lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Pada momen HPN 2019 misalnya. Alih-alih ikut merayakan, AJI malah memilih untuk mendatangi kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk menyerahkan petisi penolakan remisi terhadap pembunuh jurnalis Radar Bali. Usaha yang pada akhirnya membuahkan hasil, karena Presiden Joko Widodo membatalkan remisi tersebut.

Perbedaan Pendapat

Jika kita memahami konteksnya, yang dipersoalkan AJI sebetulnya bukan cuma soal pemilihan tanggal (meskipun ini juga penting karena berkaitan dengan legitimasi sejarah), tapi juga yang tidak kalah penting adalah soal sikap dan keberpihakan.

Dulu, organisasi wartawan yang dibolehkan cuma satu, yakni PWI. Pengurus PWI “disetir” oleh pemerintah. Maka bisa ditebak, dalam perjalanannya PWI seringkali terlalu akrab dengan penguasa sehingga cenderung mengafirmasi tindakan penguasa termasuk yang merugikan pers itu sendiri, seperti pemberangusan terhadap pers yang dianggap tidak sejalan dengan pemerintah.

Wartawan senior Goenawan Mohamad pernah menyinggung ini dalam cuitan twitternya[3]. Sembari memberikan ucapan selamat, ia juga memberi kritik kepada PWI “Hari ini hari ulangtahun PWI. Semoga PWI belajar dari kesalahan2-nya thd kemerdekaan pers, di masa Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru.” Kata GM.

Sementara itu, AJI datang dari arus yang berlawanan. Mereka lahir untuk menentang rezim yang otokratik. Pembredelan kepada beberapa perusahaan pers akhirnya memicu perlawanan-perlawanan yang akhirnya mengkristal dengan berdirinya organisasi ini. Dan ya, tentu saja, pada masa Orde Baru mereka termasuk dalam organisasi yang terlarang.

Dalam kaitannya dengan momen perayaan HPN, perbedaan prinsip tersebut bisa kita baca dengan jelas. PWI selaku penyelenggara acara, mengambil tema soal pemindahan ibukota Negara. Tema yang sebetulnya tidak terlalu mendesak bagi insan pers itu sendiri.

Padahal, seperti dalam catatan akhir tahun 2019 yang dirilis AJI, isu soal kekerasan terhadap jurnalis atau soal regulasi yang berpotensi mengancam kebebasan seperti beberapa pasal dalam RKUHP lebih mendesak untuk dibicarakan.

Maka menjadi pertanyaan yang penting untuk diajukan kepada penyelenggara acara, kenapa tema itu yang diangkat? Apakah tema tersebut sudah mewakili keresahan sebagian besar insan pers? Kan katanya ini Hari Pers Nasional?

Sudah Saatnya Revisi

Kembali ke soal pemilihan tanggal, ada banyak pertanyaan yang bisa diajukan. Misalnya, dari sekian banyak organisasi wartawan kenapa hari lahir PWI yang dipilih? Apakah karena yang paling berkontribusi untuk negara? Jika iya, apa indikatornya?

Soal kepeloporan, memang benar PWI adalah organisasi profesi wartawan pertama di Indonesia. Tapi apa signifikansi nya? Diluar serikat wartawan, ada banyak perusahaan pers juga sosok-sosok yang punya andil besar dalam kemajuan pers di Indonesia, dan itu banyak yang jauh lebih dulu dibanding PWI.

Misalnya, sejarah mencatat nama Tirto Adhi Soerjo dengan media yang dirintisnya pada tahun 1907, yakni Medan Prijaji. Ini merupakan tonggak penting bagi sejarah pers dan kebangkitan nasionalisme di Indonesia karena disebut-sebut sebagai media pribumi pertama. Riwayat Tirto dan Medan Prijaji –nya ini, dikisahkan dengan baik oleh Pramoedya Ananta Toer dalam buku “Sang Pemula”.

Nah, kenapa misalnya bukan tanggal lahirnya Tirto atau tanggal terbitnya Medan Prijaji yang dijadikan patokan sebagai Hari Pers Nasional? 

Tujuan kita disini sesungguhnya bukan untuk membanding-bandingkan siapa yang lebih berjuang atau siapa yang lebih berperan, tapi lebih kepada upaya untuk berlaku adil kepada sejarah. Biarlah setiap kita mengisi posisi sesuai peran yang telah kita torehkan dalam sejarah. 

Selamat hari lahir PWI! Eh… Hari Pers Nasional!

Azmi Fathul Umam


[1] http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/arsip/ln/1985/kp5-1985.pdf
[2] https://www.suara.com/news/2019/02/08/201628/tak-ikut-merayakan-aji-indonesia-kritik-hari-pers-nasional-pwi
[3] https://twitter.com/fikrie/timelines/696940054955089921

Tidak ada komentar