Bergerak Keluar dari Kelas Tertindas, Mewujudkan Politik Alternatif, Menuju Demokrasi Sejati !
Logo Aliansi Clara March Bergerak (Clamber) |
BPPM, Press Relese-- “Akulah
pembebas yang tak gentar akan apapun”—Audre Lorde
Problem
Pokok Perempuan di Indonesia
Hari
Perempuan Internasional sudah seharusnya
menjadi momen menuntut kembali hak-hak perempuan di Indonesia. Hingga hari ini,
perempuan masih disematkan stigma sebagai makhluk yang tidak berdaya. Perempuan
masih diidentikkan dengan “Kasur, Sumur, Dapur”. Dengan kata lain, perempuan masih
dilekatkan dengan kerja-kerja domestik.
Terlebih,
perempuan sering mendapat kekerasan dalam rumah tangga oleh suaminya. Laku patriarkal
ini diakibatkan oleh adanya relasi kuasa atas gender antara laki-laki dan perempuan,
dan sisi psikologis suami yang frustrasi
akibat tatanan kerja di bawah sistem kapitalisme.Tak jarang kasus kekerasan tersebut
berujung maut.
Tidak
hanya di ranah domestik, perempuan juga mendapat ketidakadilan dalam tempat kerja.
Upah kerja perempuan masih jaug lebih rendah dari upah laki-laki Pemberlakuan upah padat karya dan dberikannya
tunjangan anak adalah bentuk nyata diskriminasi perempuan di tempat kerja, Upah
renddah buruh perempuan adalah imbas ddari kebijakan rezim pro-neoliberal Jokowi PP 78 yang menentukan kenaikan upah buruh
harus ditentukan berdasarkan investasi asing dan hanya dapat naik tak lebih dari 8% merupakan contoh
nyata dari kebijakan ini. Baru-baru ini PP 78 telah iturunkan Gubernur
Jabar dengan menetapkan UMP 2019 hanya
ssebesar Rp. 1.668.372.83. Diskriminasi upah perempuan diperburuk dengan kondisi
tempat kerja yang tidak layak. Ini terbukti dengan tidak adanya jaminan kesehatan,
ruang menyusui, penitipan anak dan sering dijumpai pelecehan bahkan
kekerasan seksual terhadap perempuan di tempat kerja.
Nasib
serupa menimpa para petani perempuan. Kesenjagan upah antara buruh tani
laku-laki dan perempuan merupakan bentuk nyata dari diskriminasi di sektor
agraria. Seorang buruh tani perempuan ddapat ddiupah hanya sebesar
15.000-20.000 Rupiah. Kondisi kronis ini
tiddak terlepas dari monopoli tanah oleh segelintir perusahaan besar negeri dan
swasta. Perusahaan swasta sekaliber
Sinar Mas, PTPN, hingga BUMN sekaliber Perhutani merupakan beberapa gelintir
setan tanah yang menngakumulasi keuntungan dari
kondisi ini. Perempuan yang semula memiliki hak penuh atas tanahnya,
kini harus menjual segenap tenaganya untuk melauyani kepentingan para korporasi besar.
Monopoli
tanah bukan satu-satunya persoalan bagi petani perempuan. Perampasan tanah
akibat pembangunan infrastruktur di desa-desa juga menjadi masalah krusial bagi
petani perempuan. Pembangunan infrastruktur berujung pada kriminalisasi, hingga
pemisahan perempuan dari alam dan
alat produksinya. Kasus pembangunan NYIA ddi Kulon Progo dan Yu Patmi yang meningggal
karena mempertahankan uang hidupnya dari perampasan PT Semen Indonesia di
Kendeng aalah pemandangan nyata yang terjadi.
Tak
hanya di pedesaan, perampasan lahan yang turut merenggut hak-hak perempuan di
perkotaan. Lewat kongkalikong antara pemodal
dan negara, serta seperangkat aparatus kekerasannya, perampasan lahan
diamini. Negara yang adaptif dengan kepentingan pemodal membuat berbagai
kebijakan. Seperti program Kotaku. Kebijakan tersebut lahir lewat pinjaman
utang dari Asian Development Bank (ADB), Asian Infrastructure Invesment Bank
(AIIB), dan Islamic Development Bank (IDB) untuk menyokong pembangunan
infrastruktur yang berorientasi pada pasar. Di Kota Bandung khususnya, program
ini akan menyasar 415 titik. Penggusuran kampung kota dan ruang-ruang publik akan
berdampak pada pemiskinan perempuan secara
struktural.
Tak
hanya itu, pergruan tinggi negeri yang dinaungi oleh negara pun melegitimasi kekerasan
dan pelecehan seksual di lingkungan pendidikan. Pendidikan tinggi belum menyediakan
lingkungan yang ramah gender. Ini terbukti dengan tidak disediakannya lembaga
investigasi independen yang khusus menangani kasus-kasus pelecehan dan
kekerasan seksual. Oleh karena ituuntuk menorong realisasinya diperlukan
inisiasi kolektif perempuan yang berfokus menangani kasus pelecehan dan
kekerasan seksual.
Adanya
UUPT 12
memayungi PTNBH telah membatasi akses pendidikan bagi kalangan rakyat kelas
bawah. Status PTNBH telah memberlakukan UKT yang ternyata sama sekali tidak
berpihak pada rakyat kelas bawah. Ini karena UKT mengakibatkan semakin
tingginya biaya kuliah tentu menjadi hal yang menghambat anak perempuan dari
keluarga ekonomi rendahuntuk mengenyam pendidikan tinggi.
Atas
beragam kondisi tersebut aliansi Clamber menuju hari Perempuan Internasional
menuntut :
o Di
bidang ketenagakerjaan :
·
Cabut PP 78 tahun 2015
tentang pengupahan!
·
Jamin hak maternitas
buruh perempuan!
·
Wujudkan lingkungan
kerja yang aman, sehat dan terbebas dari pelecehan dan kekerasan seksual.
·
Hapuskan upah Padat
Karya!
o Di
bidang Agraria
·
Hentikan pembangunan
infrastruktur yang merampas tanah rakyat!
·
Wujudkan Reforma
Agraria sejati, hentikan sertifikasi lahan yang menjerat rakyat pada skema
utang.
·
Tarik mundur militer
dari ruang hidup rakyat, bubarkan komando territorial!
·
Wujudkan Kedaulatan
pangan bagi rakyat.
o Di
bidang pendidikan
·
Cabut UUPT No 12 tahun
2012, wujudkan pendidikan yang gratis, demokratis dan ramah gender.
·
Bangun lembaga
independen yang bertugas menuntaskan kasus-kasus pelecehan dan kekerasan di
pendidikan Tinggi.
·
Galakan pendidikan
kesehatan reproduksi dan seksual yang komprehensif dalam setiap jenjang
kehiupan.
·
Hapuskan diskriminasi
orientasi gender dan seksual.
Menilik
sejarahnya hari perempuan Internasional adalah momen peringatan persatuan
gerakan perempuan dan kelas-kelas tertindas. Bermula dari pertemuan kelompok
sosialis internasional di Kopenhagen, Denmark pada tahun 1910 yang memutuskan
untuk diadakannya Hari Perempuan Internasional sebagai momen perjuangan perempuan menuntut keikutsertaannya dalam partisipasi
politik.
Sebagai
upaya dari perlawanan terhadap Perang
Dunia 1, Perempuan Rusia untuk pertama
kalinya memperingati Hari Perempuan Internasional pada Minggu terakhir di bulan
Februari 1913. Di belahan Eropa lainnya, sekitar 8 Maret ditahun-tahun
berikutnya, perempuan melakukan aksi sebagai bentuk protes terhadap perang dan
ungkapan solidaritas kepada saudara-saudara perempuan di seluruh dunia.
Pada
1917 dua juta tentara Rusia terbunuh dalam perang. Krisis ekonomi yang
menyebabkan kelaparan berkepanjangan terjadi. Kondisi tersebut menyulut
perlawanan dari kelas pekerja perempuan.
Kelas pekerja perempuan merespon hal itu
dengan pemogokan di jalanan menuntut: “Roti dan Perdamaian. Pemogokan yang lantas
diikuti oleh peristiwa Revolusi 1917 di Rusia yang meruntuhkan monarki Tsar.
Empat hari kemudian—paska runtuhnya Raja Tsar Nicolas II—pemerintahan sementara
mengakui hak pilih perempuan dalam pemilu yang jatuh pada 8 Maret, dan kemudian
diakui sebagai Hari Internasional Perempuan.
Perhelatan
Hari Perempuan Internasional kali ini bertepatan dengan pemilu yang sebentar
lagi akan diselenggarakan. Namun sayangnya,setiap pergantian mereka tidak
pernah berpihak pada perempuan dan kelas tertindas lainnya. Pemerintah
mengelu-elukan demokrasi telah dialokasikan bagi perempuan namun mereka hanya
melihatnya sebatas pada keterwakilan 30% perempuan di kursi parlemen. Negara abai melihat permasalahan-permasalahan
perempuan dan kelas tertindas. Perempuan dan kelas tertindas masih berada
kondisi yang rentan terhadap kekerasan, kriminalisasi, dan pemiskinan secara
sistematis dan struktural.
Hal
inilah yang akan disuarakan bersama oleh Aliansi Clamber yang terdiri ari
berbagai kolektif yang merasa penghapusan ketidakadilan berbasis gender sebagai
suatu hal yang penting. Pernyataan-pernyataan ini akan disuarakan pada aksi IWD
(International Womens Day) yang akan dilaksanakan pada 8 Maret 2019. Aksi ini
akan dimulai dengan longmarch dari Monumen Juang – Dipati Ukur – Cikapayang –
Dukomsel – Jalan Diponegoro dan akan berhenti di gedung sate untuk menggelar
aksi yang akan diisi dengan panggung ekspresi
perempuan.
Mengusung
tema “Bergerak Keluar dari Kelas Tertindas Mewujudkan Politik Alternatif
Perempuan melalui Demokrasi Sejati” aliansi Clamber mengajak kawan-kawan untuk
menggalang persatuan mewujudkan pembebasan perempuan yang seutuhnya. Bergabunglah
dalam peringatan hari Perempuan Internasional pada tanggal 8 Maret 2019. Gelorakan
Api Perjuanganmu!
Bandung,
27 Februari 2019
Beri Komentar