Hidup Di Bawah Ancaman Menjadi Tunawisma
Opini, Rahadian—Menanggapi opini Ilyas yang berjudul, Nasib Milenial Di Bawah Sistem Kapitalisme yang terbit pada Senin, 19 November 2018, yang mana isi tulisan tersebut merupakan sejumlah pemaparan terhadap implikasi-implikasi yang dimungkinkan oleh sistem kapitalisme, baik secara langsung maupun tidak langsung, kepada kelas pekerja[1], atau dalam istilah Marxian disebut sebagai kaum proletariat[2]. Saya pikir, perlu adanya tinjauan yang lebih luas serta sebuah konsepsi yang memungkinkan bagi fenomena yang dijelaskan oleh Ilyas di dalam tulisannya tersebut.
Terlebih lagi, kebutuhan mendesak akan perlunya konsepsi
mengenai bagaimana sistem kapitalisme kontemporer mereduksi, mensubordinasi,
dan mengeksploitasi kepentingan masyarakat atas nama kapital.
Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi dalam tulisan
Ilyas mengenai fenomena kapitalisme dalam kaitannya dengan generasi milenial. Pertama, telah terjadi pergeseran makna
material terhadap istilah “rumah” dan
“kerja” di dalam kerangka kapitalisme
kontemporer. Kedua, hal ini
dimungkinkan terjadi oleh berlakunya hegemoni[3]
kelas penguasa terhadap kelas yang dikuasai, yaitu di mana kelas penguasa telah
mengambil alih kepemimpinan intelektual dan moral di dalam tatanan masyarakat.
Saya harap tulisan ini mampu memenuhi kebutuhan akan
konsepsi mengenai gerak kapitalisme kontemporer, serta agar pembaca dapat lebih
memahami apa yang menjadi pokok persoalan di dalam tulisan Ilyas: Nasib
Milenial Di bawah Sistem Kapitalisme.
Baca Juga : Nasib Milenial Di Bawah Sistem Kapitalisme
Persoalan I:
Redefinisi Rumah Dalam Kerangka Kapitalisme
Persoalan pertama yang diajukan oleh Ilyas adalah Milenial Terancam Tunawisma Di Bawah Sistem Kapitalisme. Secara harfiah,
tunawisma didefinisikan sebagai keadaan di mana seseorang tidak mempunyai
tempat tinggal, atau dalam hal ini adalah rumah.
Sebagaimana riset yang
dipublikasikan HSBC pada tahun 2017, menyatakan bahwa
sekitar 36 persen milenial yang sudah memiliki rumah di pelbagai belahan dunia,
mendapatkan bantuan finansial dari orang tua mereka masing-masing. Hal ini
mengindikasikan bahwa penghasilan yang diterima oleh masyarakat per individu
adalah tidak sebanding dengan harga sebuah rumah.
Jika harga sebuah rumah di kawasan Jakarta bertipe 45 dengan
luas tanah 90 meter persegi di banderol seharga Rp560 juta, dengan asumsi suku
bunga 8,75 persen. Maka, cicilan rumah tipe ini sekitar Rp4,9 juta per bulan
selama 20 tahun[4].
Sementara, jika mengacu pada UMP atau Upah Minimum Provinsi, misalnya Jakarta
yakni sebesar Rp3,35 juta, maka penghasilan buruh di kawasan tersebut adalah
tidak memungkinkan untuk memiliki sebuah rumah, terkecuali mereka mencari
penghasilan tambahan, berhemat, ataupun mencari rumah yang memiliki harga relatif
sebanding dengan penghasilan mereka—umumnya
terletak di daerah pinggiran kota.
Lantas, “bagaimana dengan para
buruh yang digaji bahkan hanya lebih sedikit dari upah minimum?”
Ilyas mencoba menjawab
pertanyaan di atas dengan cara menjelaskan fleksibilitas buruh dalam
meningkatkan penghasilan mereka melalui kerja, serta melalui manajemen keuangan
personal. Hal ini memang sangat memungkinkan di dalam dunia kerja kapitalisme.
Terlebih lagi di dalam tulisannya, Ilyas menyuguhkan suatu studi empiris
melalui kisah Ipreng sebagai buruh-upahan.
Tetapi apa yang Ilyas jelaskan
belum sepenuhnya menjawab pertanyaan “bagaimana buruh dengan upahnya yang tidak
sebanding dengan harga sebuah rumah dapat memiliki rumah?” tentu jawabannya
bukanlah dengan cara mendapat bantuan finansial dari orang tua, melainkan melalui
penerapan mekanisme kredit yang memiliki korelasi secara langsung terhadap
konsep sewa.
Secara umum pengertian kredit mengacu kepada suatu mekanisme
pembayaran secara tidak tunai atau pembayaran ditangguhkan (diangsur)
berdasarkan kesepakatan yang disetujui oleh pihak debitur dan kreditur. Seperti
misalnya program Kredit Pemilikan Rumah
(KPR) dalam konteks pembelian, karena salah satu cara yang memungkinkan (selain
revolusi mode produksi) bagi seorang buruh-upahan untuk mendapatkan sebuah
rumah adalah dengan melalui pembelian secara kredit—dengan atau tanpa bantuan finansial dari
orang tua. Meskipun
mekanisme kredit hadir seolah-olah sebagai jawaban atas persoalan rumah bagi
buruh-upahan, namun secara esensial, kredit pembelian atas sebuah rumah
sejatinya merupakan sebuah konsep sewa beli, di mana seseorang yang
membeli secara mencicil (mengangsur), dan sebelum terbayar lunas dianggap sebagai
menyewa barang bersangkutan.
Jadi ketika seorang
buruh-upahan membeli sebuah rumah secara kredit dengan tenor selama 20 tahun,
maka selama itu pula ia dianggap sebagai penyewa rumah tersebut (bukan
pemilik). Kemudian apabila buruh-upahan tersebut tidak mampu membayar, maka
rumah yang dalam transaksi ini adalah komoditas yang diperdagangkan dan
sekaligus merupakan agunan atau jaminan, akan dimiliki oleh pihak kreditur
(biasanya adalah bank atau lembaga sejenisnya), dan pihak kreditur tidak akan
peduli apapun yang menjadi alasan di balik seseorang tidak mampu membayar
tagihannya, entah karena kehilangan pekerjaan, membiayai anggota keluarga yang
sakit, membiayai persalinan, membiayai uang perkuliahan, atau apapun itu.
Mekanisme kredit yang dibidani
oleh liberalisme-kapitalisme
kontemporer memang memungkinkan bagi seorang buruh-upahan untuk memiliki sebuah
rumah, tetapi tidak menjaminnya, apalagi melindungi kepentingan buruh-upahan
untuk memiliki sebuah rumah.
Hal ini jelas berlaku di dalam
konteks milenial, sebagaimana kita ketahui dalam UU No.13 Tahun 2003, di mana
hubungan kerja outsourcing mulai
diberlakukan secara legal-institusional di Indonesia. Pemberlakuan outsourcing merupakan pemberlakuan atas
sistem kerja yang berkembang seiring dengan kebutuhan pengusaha untuk hubungan
kerja yang fleksibel, mudah untuk merekrut dan mudah melakukan pemutusan
hubungan kerja (PHK) terhadap pekerjanya sebagai antisipasi persaingan global
yang sangat kompetitif sehingga dapat menjadi lebih efektif, efisien, dan
produktif[5].
Jelaslah, bahwa buruh-upahan
generasi milenial amat rentan menjadi seorang tunawisma, karena sewaktu-waktu
ia dapat menerima PHK dari tempat ia bekerja, yang akan menyebabkan hilangnya kemampuan
untuk melakukan pembelian rumah secara kredit, maka dengan itu pula habislah
harapannya untuk memiliki sebuah rumah.
Tetapi kapitalisme, sebagai sebuah sistem kerja sosial telah menawarkan
suatu alternatif dalam menanggapi persoalan tunawisma, yaitu melalui proyek rumah susun berbasis sewa. Sebagaimana UU No.20 Tahun 2011
di dalam pasal 1 ayat 7, menjelaskan
bahwa Rumah Susun Umum adalah rumah
susun yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi masyarakat
berpenghasilan rendah.
Maka di dalam hal ini konsep
sewa-lah yang telah mengubah makna material terhadap rumah yang aktual menjadi rumah yang representasional. Konsep kepemilikan rumah
oleh masyarakat yang secara substansial adalah “dimiliki secara legal-institusional” digeser menjadi “disewa secara legal-institusional”.
Baik itu adalah Rumah Susun
Umum yang secara esensial adalah sewa, maupun Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang
berlandaskan kepada kredit (sewa beli), selama hal tersebut mengandaikan konsep
sewa di dalam mekanismenya, selama itu pula masyarakat dan buruh-upahan hidup
sebagai bukan pemilik—dimungkinkan menjadi tunawisma.
Telah dijelaskan di atas
bagaimana ancaman menjadi tunawisma memang bukanlah isapan jempol belaka, di
mana ancaman tersebut hadir oleh berlakunya konsep mengenai sewa di dalam sistem
kerja sosial masyarakat Indonesia. Pembahasan mengenai redefinisi kerja dan
bagaimana sistem hegemoni bekerja akan dilanjutkan di dalam tulisan
selanjutnya.
Sajak Kepada Bung Dadi karya
Wiji Thukul akan menjadi penutup untuk tulisan ini,
“Ini Tanahmu Juga
Rumah-rumah yang berdesakan manusia dan
nestapa
Kampung halaman gadis-gadis muda
Buruh-buruh berangkat pagi pulang sore
dengan gaji tak pantas
Kampung orang-orang kecil yang dibikin
bingung oleh surat-surat izin dan kebijaksanaan
Dibikin tunduk mengangguk bungkuk
Ini tanah airmu
Di sini kita bukan turis”
Rahadian
Mahasiswa Hubungan Internasional
FISIP Unpas
Catatan Kaki :
[1] “Mereka yang tidak memiliki kapital tidak bisa menjual apa-apa
kecuali tenaga kerjanya”. James A. Caporaso & David Levine, Theories of Political Economy diterjemahkan
oleh Suraji (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2015), hlm. 134.
2 Yang dimaksud
dengan kaum proletariat ialah kelas buruh-upahan modern yang karena tak
memiliki alat-alat produksinya sendiri, terpaksa harus menjual tenaga kerja
mereka untuk bisa tetap hidup. [Catatan
oleh Engels dalam Manifesto Partai Komunis untuk edisi bahasa inggris yang
terbit tahun 1888]
3 Hegemoni bukanlah
hubungan dominasi dengan menggunakan kekuatan, melainkan hubungan persetujuan
dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni adalah suatu
organisasi konsensus. Roger Simon, Gramsci
Political Thought diterjemahkan oleh Kamdani dan Baehaqi (Yogyakarta:
Insist Press, 2004), hlm. 19.
4 Wan Ulfa Nur
Zuhra, Sepertiga Milenial Membeli Rumah dengan Uang Orang Tua, diakses dari https://tirto.id/sepertiga-milenial-membeli-rumah-dengan-uang-orang-tua-ckFj,
pada tanggal 19 Desember 2018 pukul 01.00
5 I Nyoman Putu
Budiarta, Hukum Outsourcing: Konsep Alih
Daya, Bentuk Perlindungan, dan Kepastian Hukum (Malang: Setara Press,
2016), hlm. vi.
Beri Komentar