Header Ads

Hari "Kesaktian"








Opini, Ilham-- Satu Oktober terdapat sebuah keterangan yang berbunyi hari kesaktian Pancasila. Apa yang sakti? Sakti sebagai alat pembodohan sekaligus legitimasi ?

Di penghujung September dan awal Oktober (1 Oktober) adalah sebuah narasi-narasi heroik, patriotisme, dan aksi kepahlawanan. Soeharto dengan segala senjata dan uang, berhasil menumpas percobaan kudeta dalam waktu kurang dari 24 Jam. Dan, pada tanggal 1 Oktober diperingati sebagai hari kesaktian pancasila. Namun, itu hanyalah sebuah permukaan saja, kamuflase, atau penghalusan kata.

Dalam sebuah buku aku teringat akan sebuah tren, yakni Homo Sacer. Homo Sacer kurang lebihnya adalah individu yang berada di luar hukum positif atau UU, namun dia dapat meniadakan hukum positif tersebut. Sehingga, peniadaan atau penihilan dari fungsi hukum diakibatkan oleh gejolak politik yang begitu masif dan luar biasa hebatnya. Dan, berujung pada sebuah transformasi pemerintahan. Sehingga hukum tidak dapat berfungsi dalam gejolak politik tersebut. Sebut saja, kasus 65' dan penggulingan Allende. Dimana dalam dua kasus tersebut, hukum positif tidak berlaku selama transformasi pemerintahan, dengan banyaknya yang di penjara tanpa pengadilan atau yang lebih buruk, yakni dilenyapkan.

Terlebih, adanya perusakan nalar dari transformasi politik, dari demokrasi ke rezim totaliter. Dalam film yang berjudul Arendt, Hannah Arendt menghadiri sidang di Israel dengan terdakwa seorang algojo Nazi, yaitu Adolf Eichmann. Dari hasil sidang tersebut, Arendt menulis mengenai Banality of Evil atau Banalitas Kekerasan. Banalitas Kekerasan dapat terjadi karena rusaknya alam pikiran kita oleh narasi-narasi tunggal yang diwacanakan oleh rezim totaliter. Seperti yang ditulis oleh Agus Sudibyo yang berjudul Politik Otentik: Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hannah Arendt, yakni program totaliter adalah krisis permanen yang tidak hanya berlangsung secara eksternal, yaitu dalam hubungan – hubungan sosial-politis, melainkan secara internal, yakni mentalitas warganya, yang mengakibatkan hancurnya akal sehat.

Sehingga, peran masyarakat sipil atas politik menjadi hilang, yakni dalam setiap rumusan kebijakan akibat tindakan represif oleh aparatus negara. Dan, kerusakan mental serta sesat dalam berpikir, sehingga kita tidak mampu bertindak secara spontan.

Dede Ilham 
Mahasiswa Hubungan Internasional
FISIP Unpas

Tidak ada komentar