Go To Hell With Your Aid!
Opini, Abdul-- Tahun ini Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan rezim ekonomi global yakni Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund-IMF) dan Bank Dunia (World Bank-WB). Pertemuan ini juga diikuti oleh bankir, akademisi, pengusaha, investor dan 189 perwakilan dari masing-masing negara anggotanya. Diadakan di Nusa Dua Bali, 8-14 Oktober, Indonesia sebagai tuan rumah telah membuat anggaran untuk pertemuan ini kurang lebih 800 miliar rupiah. Berbagai fasilitas telah disiapkan oleh pemerintah bagi tamu-tamu yang akan menghadiri agenda tersebut. Mulai dari perbaikan bandara, hotel, tempat pertemuan peserta, dll.
Ada lima isu krusial yang dibahas dalam Annual Meeting IMF-WB 2018 untuk merespon perkembangan ekonomi global. Pertama, penguatan International Monetary System (IMS). Kedua, ekonomi digital. Ketiga, kebutuhan pembiayaan pembangunan infrastruktur. Keempat, penguatan ekonomi dan keuangan syariah. Dan Kelima, sektor fiskal. Sejatinya, kelima isu tersebut, berangkat dari kesadaran akan tingkat kerentanan ekonomi global dan mengakui bahwa kapitalisme gagal dalam menyelesaikan masalah klasik: kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan.
Apa dan Siapa itu IMF dan World Bank?
Dalam sejarah pertemuannya sendiri, pendirian lembaga donor IMF dan World Bank ditandai oleh situasi krisis kapitalisme. Dalam konferensi Bretton Woods, di New Hampsrie, Amerika Serikat tahun 1944, kemudian didirikanlah lembaga itu, yang ditujukan untuk membantu pendanaan pembangunan Eropa yang kala itu hancur saat terjadi Perang Dunia II serta berperan untuk mengatasi persoalan makroekonomi dan struktural guna mengantisipasi terjadinya depresi di masa depan. Pada hakikatnya pendirian lembaga ini merupakan upaya untuk mempertahankan praktik eksploitasi lewat pemberian utang sebagai sarana ampuh untuk menjinakkan dan/atau menekan suatu negara untuk memuluskan kepentingan akumulasi kapital bagi kapitalis.
International Monetary Fund (IMF) atau Dana Moneter Internasional dan World Bank (WB) atau Bank Dunia tak lain berperan sebagai salah satu agen yang memfasilitasi korporasi kapitalisme global dalam melakukan ekspansi pasar, bahan baku, tenaga kerja, dll, yang semata-mata untuk kepentingan akumulasi kapital.
Dalam praktiknya, IMF dan WB meminjamkan uang kepada negara-negara. IMF untuk menggelontorkan utang untuk keperluan moneter, seperti ketika krisis. WB memberi utang rente untuk keperluan pembangunan, seperti untuk program mengurangi kemiskinan dan kesenjangan. Dalam utang rente ini, negara peminjam diharuskan mengembalikan uang pinjaman berkali-kali lipat atau biasa kita kenal dengan bunga, telah membuat si peminjam terjerumus lebih dalam ke jurang utang, berutang untuk membayar utang, gali lubang tutup lubang. Sistem ini bagai lingkaran setan, lantas jangan heran jika utang negara dari waktu ke waktu terus naik.
IMF dan World Bank Para Rentenir di Indonesia
Indonesia sendiri memiliki sejarah dengan keterlibatan IMF dalam sejumlah kebijakan yang mengakibatkan rakyat indonesia menjadi tulang punggung untuk membayar hutang negaranya kepada IMF. Tentu kita masih ingat, Bank Dunia lah yang memberikan utang kepada Indonesia sebesar 195 juta Dollar AS agar dapat membayar cicilan utang kepada Belanda. Itu adalah salah satu poin perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) yang ditandatangani yakni kewajiban Indonesia membayar utang Pemerintah Jajahan Hindia Belanda untuk kepentingan militer menghadapi perang kemerdekaan.
Pada 1953 pemerintah Indonesia mulai mengajukan pinjaman kepada IMF sebesar 55 juta dolar Amerika Serikat pada 1956. Sejak itu sebanyak empat kali pemerintah Indonesia mengajukan pinjaman. Karena pinjaman IMF dirasa memberatkan, Indonesia keluar dari keanggotaan dan menolak bantuan IMF pada Agustus 1965. Indonesia bergabung kembali menjadi anggota IMF pada 21 Februari 1967 dan sebulan kemudian menjadi anggota Bank Dunia. Pada 1968 Indonesia mendapatkan kucuran bantuan hutang sebesar 51,75 dolar Amerika Serikat.
Pada krisis yang terjadi di Thailand yang ikut menyapu perkeonomian indonesia pada tahun 1990an, Soeharto mengadu kepada IMF yang kemudian disambut dengan menyarankan penutupan bank-bank bermasalah serta menaikan suku bunga antara 10 persen hingga 60 persen. Akibatnya, sebanyak 8.504 buruh bank kehilangan pekerjaan. Selanjutnya, perusahaan-perusahaan manufaktur kesulitan likuiditas dan menutup produksi. Hasilnya, menurut Kadin (Kamar Dagang Indonesia), 125 perusahaan tutup dan 1,5 juta orang kehilangan pekerjaan.
Di tahun-tahun berikutnya pun IMF melakukan hal yang sama dengan menutup puluhan bank dan berdampak pada pemecatan puluhan ribu buruh. Penutupan bank atau merger merupakan bagian dari Letter of Intent/Surat Kesepakatan (LoI) antara Pemerintah Indonesia dengan IMF untuk melakukan kebijakan restrukturisasi perbankan. Pemerintah menerima saran IMF tersebut sebagai syarat untuk menerima pinjaman senilai 7.338 juta dolar AS, yang dicairkan bertahap hingga 2003. Pada rentang antara tahun 1997 hingga 2003, Pemerintah Indonesia telah menandatangani 26 kali LoI.
Berdasar LoI itu pula, pada 2003 keluar Undang-Undang Nomor 19 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN). Di dalamnya mengatur mengenai metode privatisasi badan-badan usaha milik negara. Privatisasi dilakukan dengan menjual sebagian atau seluruh saham BUMN atau memenggal (unbundling) jenis-jenis usahanya dengan mendirikan anak perusahaan. Privatisasi bukan hanya mengubah orientasi BUMN, juga memangkas hak-hak buruh. Salah satu kasus yang cukup menonjol adalah pemecatan lebih dari 9000 orang buruh PT Dirgantara Indonesia pada 2003.
Sementara itu privatisasi BUMN membawa dampak buruk dalam jangka panjang, yakni komersialisasi layanan publik dan pengurangan hak-hak dasar buruh karena berlakunya hubungan kerja fleksibel. Dengan diprivatisasi dan mendirikan anak perusahaan, BUMN secara massif merekrut buruh outsourcing atau buruh kontrak yang dipekerjakan secara terus menerus. Per 2014, jumlah buruh outsourcing di BUMN mencapai 200 ribu orang. BUMN-BUMN pun melakukan pemecatan ilegal, membayar upah di bawah upah minimum, tidak membayar upah lembur, menghilangkan hak cuti, melakukan pungutan ilegal, tidak menyediakan alat perlindungan diri bagi para buruh, dan tidak mendaftarkan buruhnya sebagai peserta jaminan sosial dan pemberangusan serikat buruh
Di ranah isu urban perkotaan, IMF, World Bank, AIIB dan Islamic Development Bank juga tak ingin ketinggalan untuk terus menghisap nilai-lebih dari ruang-ruang yang ada di perkotaan. Salah satuny adalah program City Without Slums atau kota tanpa kumuh. Program ini dicanangkan untuk membuat kota bersih dari apa yang mereka sebut sebagai “kumuh” guna ramah bagi investasi bisnis properti dan jasa. Dampaknya adalah terpinggirnya warga kampung kota ke pelosok-pelosok yang tentu saja didahului dengan perampasan lahan dan penggusuran sebagai syarat penting bagi akumulasi modal di segelintir orang.
Tamansari, Bandung menjadi salah satu contoh bagaimana proses perampasan ruang hidup diperkotaan dibawah program KOTAKU (Kota Tanpa Kumuh) yang dikomandoi oleh Dirjen Cipta Karya. Atas nama penataan kota dengan menawarkan Rumah Deret, sebuah rumah susun untuk warga kampung kota, warga di Tamansari dipaksa angkat kaki dari ruang hidupnya.
Di sektor Tani juga tak kalah mengerikannya, kita tentu masih ingat bagaimana IMF merampas tanah dan memiskinkan kaum tani demi pembangunan proyek infrastruktur seperti waduk Kedung Ombo di Jawa Tengah dan waduk Jatigede di Jawa Barat pada kurun 1980-an yang didanai oleh mereka.
Tolak Hutang Rente dan Bangun Gerakan Perlawanan!
Apa yang terjadi pasca penandatanganan kesepakatan peminjaman dan dikte yang dilakukan IMF dan World Bank kepada negara yang tak sanggup mebayar hutang mereka merupakan suatu bentuk nyata bahwa pertemuan lembaga-lemabag donor tersebut gagal menyelesaikan problem klasik dari kapitalisme: kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Dan semakin menunjukan kepada kita bahwa kapitalisme menyelesaikan krisis dengan menciptakan krisis lain.
Namun, sebagaimana kita tahu bahwa di setiap krisis itu pula rakyat merupakan sosok yang kerap menjadi korban. Tak hanya menjadi korban oleh mega proyek infrastruktur dan juga kebijakan perburuhan, rakyat juga menjadi tulang punggung negara untuk melunasi hutang-hutangnya. Padahal di lain waktu, pada proyek yang juga didanai oleh para lembaga donor dan dikomandoi oleh negara, rakyat kerap dijadikan biang keladi dari apa yang mereka sebut sebagai problem yang mesti diselesaikan, misalnya kekumuhan.
Meski rakyat dijadikan sebagai objek penindasan dan penghisapan bagi para pemodal dan juga negara yang sebagai pihak yang memfasilitasinya, kita tak boleh lupa dengan apa yang berhasil diraih oleh rakyat di berbagai negara dalam melawan itu semua. Revolusi-revolusi yang pecah diberbagai negara telah mengajarkan kepada kita bahwa rakyat memiliki kekuatan untuk bisa menumbangkan kapitalisme. Rakyat yang mana? Ialah rakyat yang sadar akan posisi dan kekuatannya dalam siklus kapitalisme. Terdiri dari barisan para buruh, kaum tani dan rakyat miskin kota yang terorganisir.
Untuk itu penting kiranya bagi kita untuk sesegera mungkin untuk membangun gerakan perlawanan itu. Menjadikannya meluas dan membesar untuk melawan kapitalisme yang kian hari kian menghisap setap lini dari kehidupan kita. Mengorganisir di setiap ruang yang ada, di pabrik, di sekolah, di kampus, di ladang bahkan di stadion.
Kepustakaan:
http://majalahsedane.org/bagaimana-imf-dan-grup-bank-dunia-merampas-hak-buruh/
https://indoprogress.com/2018/10/mengapa-kita-harus-tolak-pertemuan-tahunan-imf-wb/
https://historia.id/modern/articles/utang-imf-zaman-sukarno-antara-stabilisasi-dan-intervensi-6jowd
https://m.liputan6.com/bisnis/read/3608725/pertemuan-imf-bank-dunia-di-bali-bakal-jadi-yang-terbesar-sepanjang-sejarah
Abdul
Mahasiswa Administrasi Publik
FISIP Unpas
Beri Komentar