Header Ads

Genosida 1965 dan Pembunuhan Akal Sehat








Opini, Ilham-- Hannah Arendt merupakan keturunan Yahudi yang lahir di Jerman pada tahun 1906. Hannah Arendt merupakan seorang perempuan dengan gagasan yang luar biasa serta menghasilkan tulisan – tulisan kontoversial dan cerdas. Tulisan dan sikap kontroversial tatkala Arendt melakukan pembelaan kepada algojo NAZI yakni Adolf Eichmann. Ketika Adolf Eichmann disidangkan atas pembunuhan terhadap bangsa yahudi, Arendt hadir dalam persidangan tersebut. Dari hasil persidangan tersebut, Arendt menulis “banality of evil”, yang dimana Adolf Eichmann menjadi subyek telitinya. Bagi Arendt, Eichmann hanyalah seorang algojo dan manusia biasa yang menjalankan tugas kesehariannya. Apa yang dilakukan oleh Eichmann, bagi Arendt adalah kejahatan “banal” atau dangkal karena orang ini melakukannya sebagai bagian rutinitasnya. Bagi Arendt, apa yang dilakukan Eichmann merupakan suatu ketidakmampuan untuk berpikir dan mengundang rasa ingin tahu yang mengakibatkan Eichmann berada dalam absennya pikiran. Kerusakan parah akal sehat yang diidap di dalam sistem totaliter itu bersifat sistematis sehingga kesalahan tidak lagi disadari sebagai kesalahan.

Kasus Adolf Eichmann merupakan sebuah kejahatan yang disebabkan oleh absennya pikiran. Jadi absennya pikiran ialah hilangnya nalar kritis manusia akibat dari propaganda – propaganda dan terror. Arendt berpendapat bahwa rezim – rezim totaliter mengisolasi warga mereka dari dunia luar dan lewat propaganda menegakkan sebuah sistem tertutup sebagai realitas palsu yang berlawanan dengan akal sehat. Keadaan yang dihasilkan oleh program totaliter adalah krisis permanen yang tidak hanya berlangsung secara eksternal, yaitu dalam hubungan – hubungan sosial-politis, melainkan secara internal, yakni mentalitas warganya, yang mengakibatkan hancurnya akal sehat.  Sehingga, mengakibatkan akal sehat manusia menjadi tumpul dan secara otomatis menjadikannya robot yang telah terprogram sistematis.

Jadi, propaganda mereproduksi ide dari status quo yang telah menjadi bagian keseharian masyarakat yang didominasinya. Sebagaimana dalam masyarakat normal ada larangan membunuh karena membunuh adalah kriminal. Lain cerita bila membunuh dinormalkan atau menjadi hal wajar, ketika membunuh merupakan sebuah perintah demi menyelamatkan negara, maka membunuh tidak lagi disadari sebagai kejahatan melainkan perintah. Dalam film The Act Of Killing atau Jagal, kita akan melihat para Adolf – Adolf Eichmann lainnya dan yang paling gilanya mereka mencabut nyawa para korban dengan rasa senang. Dan, sang pelaku (Anwar Congo) membunuh sembari menari – nari ria. Sedangkan di film Senyap, para pelakunya pun melakukan adegan ulang tanpa adanya rasa bersalah.

Dalam hal ini, propaganda serta terror dari pihak militer membuat masyarakat mengalami rasa insecure dalam menjalankan kehidupan sehari – hari. Maka, untuk melepaskan rasa insecure-nya, masyarakat ikut membantu pihak dalam menumpas kader, simpatisan, bahkan mereka yang tidak memiliki ikatan apapun dengan PKI dengan rapi dan terorganisir. Dalam hal ini, masyarakat coba melepaskan diri dari cap – cap komunis yang akan dilabelkan oleh negara beserta aparaturnya. Dengan propaganda yang dilancarkan oleh militer, yakni dengan membantu tugas militer, merupakan langkah terbaik dalam guna  melindungi negara dari kudeta PKI dan paham – paham komunis. Di dalam Tragedi 1965 terjadi rutinitas pembunuhan dalam menumpas kader dan simpatisan PKI serta dalam program penyelamatan negara dari paham – paham komunis.

Secara tidak langsung terjadi sebuah kedangkalan berpikir, akibat adanya propaganda dan terror – terror yang dilancarkan pihak militer terhadap masyarakat. Sehingga terjadi sebuah pembunuhan rakyat Indonesia (yang dianggap PKI) oleh rakyat Indonesia lainnya sebagai sebuah penyelamatan negara. Dengan demikian, Tragedi 1965 bukanlah sebuah tragedi yang dapat diwajarkan melainkan sebuah tragedi yang luar biasa yakni sebuah genosida yang tersusun rapi dan terorganisir, dimana negara hadir dalam penghilangan nyawa manusia. Dan, lebih parahnya membunuh akal sehat manusia. Dalam proses pembunuhan akal sehat tersebut, negara melakukan proses-proses pembelokan sejarah dan dehumanisasi menggunakan saluran-saluran yang dimilikinya, seperti film, pendidikan, budaya bahkan menggunkan pancasila sebagai ideologi dalam proses dehumanisasi.

Di era pemerintahan Soeharto, film G30SPKI menjadi sebuah film yang wajib ditonton pada tanggal 1 Oktober untuk memperingati Hari Kesaktian Pancasila atau yang lebih tepatnya Hari Kesaktian Soeharto. Selama 32 tahun film tersebut selalu diputar oleh pemerintah dan wajib ditonton oleh masyarakat Indonesia dari anak – anak hingga orang dewasa. Selain dengan film G30SPKI, pemerintah Soeharto membuat suatu penafsiran mengenai Pancasila atau yang dikenal sebagai P4. Fungsi P4 sendiri merupakan sebuah penafsiran Pancasila ala Orba untuk membunuh nalar berpikir masyarakat Indonesia. Karena P4 masuk dalam kurikulum pendidikan saat itu dan P4 perguruan tinggi. memiliki kekuatan absolut, maka selain penafsiran dari pemerintahan semuanya adalah salah. Dan P4 merupakan sebuah alat propaganda pemerintahan Soeharto yang ditanamkan kepada masyarakat sedari sekolah dasar.

Dede Ilham
Mahasiswa Hubungan Internasional
FISIP Unpas

Tidak ada komentar