Header Ads

Buruh, Sepak Bola dan Politik


Opini, Ihsan-- Sejarah sepak bola adalah sejarah kaum buruh dan kelas pekerja. Maka, memisahkan analisis kondisi sosial, politik dan ekonomi buruh dengan gemerlapnya industri sepak bola saat ini adalah suatu kekeliruan.

Raison d’etre atau alasan keberadaan sepak bola berawal dari rasa jenuh buruh dan kelas pekerja akibat dampak dari industrialisasi. Selepas bekerja, sore atau malam hari adalah waktu yang tepat bagi kaum buruh dan kelas pekerja untuk melepas penat, bermain atau menonton pertandingan sepak bola. Pertanyaannya, mungkinkah strategi perjuangan buruh saat ini untuk mendapatkan hak-haknya dimulai dari “merebut kembali” sepak bola?

Klub-klub terkenal Inggris seperti Manchester United, Liverpool dan Arsenal lahir dari kaum buruh dan kelas pekerja ketika revolusi industri pada abad ke-18 tengah berlangsung di Inggris. Di Bundesliga Jerman, yang panas bukan rivalitas antara Bayern Muenchen dengan Borussia Dortmund sebab cenderung dipoles media, tetapi rivalitas panjang antara Borussia Dortmund dan Schalke 04 adalah yang unik, sebab merupakan perseteruan antara dua klub yang sama-sama berbasis kaum buruh.

Inter Milan versus AC Milan di Serie A, disebut sebagai representasi kaum miskin (proletar) melawan kaum kaya (borjuis) di kota Milan. Brazil yang melahirkan banyak pemain kelas dunia tidak jauh berbeda, sepak bola dikembangkan oleh kaum buruh dan kelas pekerja, sehingga sepak bola begitu merakyat. Pun di Spanyol, Athletic Club de Bilbao tidak bisa dipisahkan dari peran kaum buruh dan kelas pekerja. Di Indonesia, klub seperti Semen Padang dan Gresik United lahir dari kawasan industri dan pada awalnya melibatkan kaum buruh.

Hari ini, sepak bola sebenarnya bukan sekedar olahraga semata. Ia menjelma menjadi industri dalam definisi yang sesungguhnya. Bukan rahasia umum lagi para pemilik kapital berlomba-lomba menginvestasikan dana yang tak sedikit untuk mengakuisisi sebuah klub sepak bola atau merogoh kocek agak dalam demi membeli pemain terbaik dan memecahkan rekor transfer pemain yang bernilai fantastis.

Industri lainnya seperti fashion, media, makanan dan minuman, asuransi, perbankan dan lain-lain saat ini menikmati “berkah” dari industri sepak bola. Alibaba, raksasa e-commerce milik Jack Ma juga tak mau ketinggalan. Dilansir dari bolasport.com, pada Juni 2014 Alibaba mengakuisisi 40 persen saham Guangzhou dengan mahar 192 juta dolar.

Bukan usaha yang sia-sia memang, fenomena para taipan China yang jor-joran berinvestasi dalam sepak bola sesuai dengan akumulasi kapital yang didapat. Data dari Forbes menunjukkan, bila ditotal, China melangkahi semua liga-liga di dunia dalam hal transfer pemain. Dua liga teratas China menghabiskan dana 430 juta dolar AS (Rp5,79 triliun) di bursa transfer, 315 juta dolas AS (Rp 4,24) di antaranya dihabiskan untuk pemain asing saja.

Mengambil contoh Evergrande Guangzhou yang menjuarai Liga Super China tiga tahun berturut-turut dan bahkan menjadi klub China pertama yang memenangi Asian Champions League, menurut majalah Forbes nilai keuntungan 282 juta dolar AS didapat oleh Guangzhou yang disebut sebagai “los galacticosnya” China. Jumlah ini sebanding dengan beberapa klub top di Eropa. Lalu, bagaimana dengan kaum buruh dan kelas pekerja?

Antara Inggris dan Indonesia

Selain sepak bola, sejarah Inggris kaya dengan gerakan buruh. Dua kekuatan utama politik Inggris saat ini memiliki ideologi kontras: Partai Konservatif yang berhaluan tengah kanan (liberalisme) dan Partai Buruh yang berhaluan tengah-kiri (sosialisme). Menariknya, Jeremy Corbyn sebagai pemimpin Partai Buruh adalah fans Arsenal. Secara resmi dalam manifesto politik Partai Buruh yang berjudul, “For the Many Not the Few” tahun 2017, partai buruh memberikan pandangan politiknya terkait sepak bola. Partai buruh meyakini bahwa olahraga tidak hanya dijalankan sesuai kepentingan para pelakunya, tetapi juga orang-orang yang memang mencintainya: supporter termasuk kaum buruh dan kelas pekerja.

Partai Buruh berjanji akan mengupayakan agar suara supporter didengar para pemilik klub. Mereka akan memilih kolektif pendukung klub resmi, dan orang-orang di dalamnya memiliki suara untuk memilih dan memecat paling tidak dua orang direktur klub. Selain itu, orang-orang dalam kolektif ini nantinya berhak membeli saham ketika terjadi pergantian pemilik (footballtribe.com).

Pada halaman 24 manifesto Partai Buruh tersebut tertulis: “Sport must be run in the interests of those who participate in it and love it, not just for a privileged few. We will give football supporters the opportunity to have a greater say in how their clubs are run. We will legislate for accredited supporters trusts to be able to appoint and remove at least two club directors and to purchase shares when clubs change hands. We will push sports authorities to make rapid improvements on access provision for fans with disabilities."

Ancaman kepemilikan klub sepakbola oleh segelintir pemilik kapital yang diangkat oleh partai buruh tersebut patut diapresiasi. Bagaimana di Indonesia? pada pertengahan Maret 2018 Tirto.id menurunkan 5 seri laporan mendalam tentang sejarah transformasi kepemilikan klub kebanggaan masyarakat Jawa Barat, Persib Bandung. Awalnya, Persib Bandung adalah konfederasi sejumlah organisasi, yaitu klub-klub sepak bola lokal yang berjumlah 36 klub lokal sebagai representasi klub.

Namun, sampai saat ini hak 36 klub lokal tersebut tidak jelas nasibnya.

Pada saat bersamaan, relasi antara sepak bola dan buruh akhir-akhir ini dikhawatirkan semakin merugikan buruh. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Hanif Dzakiri menginisiasi Liga Sepak Bola Buruh Nasional yang dikuti 544 klub sepak bola dari kalangan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) dan perusahaan akan memperebutkan Piala Presiden Joko Widodo. Kompetisi tersebut merupakan rangkaian kegiatan May Day 2018. Bagi beberapa kalangan, kompetensi ini ditakutkan disusupi oleh agenda politik tertentu.

Isu lainnya yang harus menjadi konsentrasi adalah perlindungan terhadap nasib pemain sepak bola. Sebagai bagian dari kelas pekerja, sampai saat ini jaminan asuransi dan tunggakan gaji adalah masalah klasik.

Di Indonesia, hak pemain untuk mendapatkan asuransi sudah ada regulasinya yang tercantum dalam Pasal 6 ayat (3) regulasi kompetisi PT Liga Indonesia Baru (LIB) yang berbunyi: “Klub diwajibkan untuk menyediakan proteksi terhadap para pemain baik dalam bentuk asuransi maupun proteksi lainnya.”

Namun bentuk perlindungan berupa asuransi masih sebatas “hak”, karena yang wajib berdasarkan regulasi di atas adalah “proteksi” dari klub. Hal ini menimbulkan kerancuan karena bentuk proteksi itu bisa bermacam-macam. Selain itu, BPJS belum memberikan perhatian kepada pemain sepak bola.

Asosiasi Pemain Sepak Bola Profesional Indonesia (APPI) telah melakukan audiensi dengan Menpora mengenai hal tersebut dan berkomitmen untuk mulai mengatur regulasi asuransi pemain sepak bola. Mudah-mudahan ini adalah awal yang baik bagi sepak bola, buruh dan kelas pekerja di Indonesia.

Buruh, kelas pekerja dan supporter sepakbola, bersatulah melawan oligarki politik!

Maulana Ihsan
Mahasiswa Administrasi Negara
FISIP Unpas

Tidak ada komentar