Header Ads

Kalau Gak Janji Gak Menang..


Opini, Melani-- Secara substansial, kekuasaan adalah sebuah alternatif dalam mendistribusikan sumber daya (kesejahteraan) bagi seluruh masyarakat di dalam suatu wilayah. Itulah mengapa Partai Politik (Parpol) sering sekali berebut kekuasaan, baik dalam fungsi legislatif maupun eksekutif yang terdapat pada suatu sistem pemerintahan. Karena mereka yakin, mereka mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, bak seorang utusan Tuhan.

Namun, semua janji manis yang dilontarkan oleh partai politik sejatinya hanyalah sebuah kampanye belaka. Jelas kita tidak boleh mengimaninya dengan mentah-mentah, karena para politisi itu amatlah pandai bersilat lidah.

Dalam debat legislatif Pemira FISIP Unpas Rabu, 26 April 2018, masing-masing perwakilan Partai Mahasiswa memberikan argumentasi bahwa mereka akan memperjuangkan aspirasi dan tuntutan dari seluruh mahasiswa.

Kemudian saya bertanya kepada mereka di dalam debat tersebut, “bagaimana dengan nasib mahasiswa yang belum atau tidak mampu melunasi DPP?” Sementara kita ketahui, bahwa untuk mengikuti advokasi dibutuhkan syarat minimal pembayaran sebesar 85% dari jumlah total DPP masing-masing jurusan.

Jawabannya pun mengecewakan.

Perwakilan dari Pasfor misalnya, menjawab bahwa syarat minimal pembayaran sebesar 85% untuk mengikuti advokasi adalah peraturan yang diberikan oleh pihak kampus. “Kami hanya membantu mahasiswanya, kami tidak bisa mengubah sistem,” jawab Nandang, salah seorang kader Pasfor.

Pernyataan ini kemudian diamini oleh keempat partai lainnya; Jendela Kesatuan (JK), Jong Pasundan (JP), Konsolidasi Mahasiswa Pasundan (Kompas), dan Pinus.

Ketika mahasiswa tidak mampu membayar syarat minimal advokasi maka ia tidak bisa mengikuti aktivitas perkuliahan lagi, terkecuali apabila pihak kampus memberikan kebijaksanaan.

Terlepas dari hal tersebut, naiknya syarat minimal pembayaran untuk mengikuti advokasi dari 75% menjadi 85% seharusnya bisa dicegah oleh Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).

Menurut Konstitusi FISIP Tahun 2017-2018 Pasal 22 ayat (2) huruf (c),  dan Pasal 23 ayat (2) huruf (d) dengan tegas memerintahkan DPM dan BEM untuk, “turut aktif dalam menentukan kebijakan-kebijakan fakultas yang berkaitan erat dengan kepentingan-kepentingan mahasiswa”.

Lantas, apakah advokasi bukan lagi suatu kepentingan bagi seluruh mahasiswa?

Tak kalah menarik adalah jawaban dari Partai Pinus ketika salah seorang panelis debat, Vera Hermawan, bertanya maksud dari ‘kesejahteraan mahasiswa’ yang menjadi tujuan Partai Pinus. Jawabannya pun lagi-lagi membuat saya—selaku calon pemilih dalam Pemira—kecewa.

“Maksud kesejahteraan mahasiswa di sini adalah ketika banyak mahasiswa ikut berpartisipasi dalam program kerja lembaga kemahasiswaan,” ujar salah satu kader Partai Pinus dalam debat.

Padahal semestinya, Lembaga kemahasiswaan menyusun segudang program kerja guna memenuhi hak seluruh mahasiswa, dan bukan sebaliknya. Di mana mahasiswa hanya dipandang sebagai objek untuk memuluskan jalannya program kerja.

Namun, itu bukan berarti bahwa program kerja yang telah dilaksanakan oleh seluruh Lembaga Kemahasiswaan selama ini telah gagal dalam memenuhi kepentingan mahasiswa. Karena masih terdapat beberapa program kerja yang ­dicap pro terhadap kepentingan mahasiswa; Rapat Dengar Pendapat, Advokasi, Menolak Bungkam, Aspiration Day, Masa Reses, dan lain-lain.

Akan tetapi bagaimanapun juga program kerja hanyalah suatu simbolitas politik dari sebuah rezim, dan hal itu bukanlah substansi politik. Program kerja tidak dapat dijadikan tolak ukur untuk menilai pro atau tidaknya suatu Lembaga Kemahasiswaan terhadap kepentingan seluruh mahasiswa.

Dalam hal kenaikan syarat Advokasi misalnya, ketika langkah-langkah diplomatis mengalami kebuntuan maka DPM dan BEM seharusnya mengambil tindakan politis berbentuk penolakan secara tertulis, atau bahkan melakukan aksi demonstrasi untuk memengaruhi kebijakan birokrasi yang tidak pro mahasiswa. Karena tidak semua persoalan dapat diselesaikan dengan argumentasi dan manifesto politik semata—program kerja.

Namun sayangnya, kita semua tahu bahwa wakil-wakil kita telah dikalahkan oleh otoritas birokrasi, dan bahkan mereka secara terang-terangan mengakui kalau mereka sebenarnya tidak mampu menentang kebijakan kampus—yaitu, otoritas birokrasi.

Keadaan seperti ini tentu amat menakutkan mahasiswa-mahasiswa ‘kecil’ yang tidak mempunyai kuasa di FISIP Unpas. Alih-alih menjanjikan akan memperjuangkan kepentingan seluruh mahasiswa, calon-calon legislatif malah lebih tunduk terhadap otoritas birokrasi.

Hal tersebut terjadi bukan tanpa sebab-sebab yang jelas, melainkan itu semua disebabkan oleh kegagalan di dalam jaringan kebijakan yang ada, baik itu terdapat di dalam individu, golongan dan kelompok, ataupun sistem itu sendiri.

Salah satu persoalannya adalah kenyataan bahwa mereka semua (calon legislatif) tidak akan pernah bisa melepas atribut partai mereka ketika duduk di parlemen sebagai sebuah fraksi, dan itu memang merupakan konsekuensi logis dari penerapan sistem kepartaian di FISIP Unpas.

Perlu saya akui, memang benar partai politik adalah instrumen dalam mencapai kekuasaan. Namun, itu bukan berarti parpol diperbolehkan untuk terlibat aktif dalam urusan pengambilan keputusan (decision making). Tetapi jawaban dari masing-masing calon justru membenarkan bahwa selama ini partai mahasiswa selalu mencampuri urusan lembaga kemahasiswaan, khususnya dalam pengambilan keputusan—partai mencengkeram dengan kuat kader-kadernya yang duduk di parlemen.

Padahal semestinya proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Lembaga Kemahasiswaan harus terbebas dari campur tangan partai mahasiswa. Mereka yang duduk di parlemen tidak hanya harus tegas, tapi juga berani menjadi tameng mahasiswa. Karena memperjuangkan hak dan kepentingan mahasiswa, sama artinya dengan melawan otoritas birokrasi.

Tapi mungkinkah calon-calon yang akan duduk di legislatif berbuat demikian tanpa menghiraukan kehendak partai dan birokrasi?

Jika kuasa partai terlalu dominan di dalam parlemen, maka pada akhirnya kebijakan publik yang selama ini dibuat hanyalah semata-mata sebagai tindakan preventif dalam mengamankan jaring kekuasaan dan elektabilitas partai, tidak lebih daripada itu.

Mengutip apa yang dikatakan oleh salah seorang politikus asal Amerika Serikat, Jesse Ventura, “sejatinya politikus bukanlah perwakilan rakyat, namun mereka adalah sekelompok geng yang mementingkan golongannya, bukan bangsanya,”.

Jika keadaan seperti ini terus dipertahankan, maka secara konseptual tuntutan-tuntutan yang berasal dari grass root (seluruh mahasiswa) akan terabaikan dalam perumusan kebijakan dan di dalam implementasinya. Karena secara fundamental, semua nilai dan preferensi politik ditentukan oleh the rulling class/elite; otoritas birokrasi dan elit partai mahasiswa.

Legislatif dan eksekutif semestinya tidak bertingkah seperti seorang anak kecil dalam kerangka budaya patriarki; di mana sang anak hanya mampu tunduk dan patuh kepada orang tuanya, terlebih lagi kepada ayahnya—sekali kamu takut, kamu kalah.

Lalu, apa yang bisa kita harapkan dari seorang individu dan suatu kelompok yang telah kehilangan otonominya sebagai makhluk politik?

Melani Hermalia
Mahasiswa Hubungan Internasional
FISIP Unpas 

Tidak ada komentar