Quo Vadis Ilmu Administrasi Negara: Membentuk Masa Depan
“New Public Management is dead. Long live digital era governance”
(Dunleavy, dalam Journal Public Administration Research and Theory, Oxford Press 2005)
Opini, Ihsan-- Ruang dan waktu memiliki dampak konsekuensial, termasuk perubahan-perubahan yang terjadi dalam ruang lingkup Ilmu Administrasi Negara.Apa yang diungkapkan oleh Patrick Dunleavy pada tahun 2005 diatas, setidaknya menjadi bukti ketika kita sekarang -13 tahun setelahnya- para civitas akademika seolah gagap membaca realitas (baca: ekologi) dalam ruang lingkup ilmu administrasi negara. Pertanyaan berikut sebagai sebuah penjelasan akan hal tersebut: berapa banyak hasil penelitian, skripsi, tesis dan disertasi yang dapat dijumpai di perpustakaan dan repositori yang mengakomodir topik dari isu-isu kontemporer, misalnya digital governance?
Pertanyaan substansialnya adalah, mengapa kita menyaksikan konsep dan teori seakan terpogoh dibelakang mengejar realitas dan akhirnya cukup untuk mendeskripsikan tanpa berusaha membentuknya?
Pada saat sesi istirahat dalam acara Rembuk Nasional 3 Tahun Jokowi-JK beberapa bulan yang lalu, saya berkesempatan ngobrol dengan Dr. Riant Nugroho - salah satu pakar kebijakan publik yang cukup dikenal di lingkungan civitas akademika Administrasi Negara, dengan semangat beliau mengatakan:
Di kita para analis kebijakan hampir tidak dipakai sebagai pertimbangan pengambilan keputusan. Dengan analisis kebijakan yang canggih, Amerika Serikat dapat memprediksi keputusan yang diambil sampai 20 tahun kedepan. Tetangga kita, Singapura bisa sampai 10 tahun kedepan
Bila ingin menelusuri fakta tersebut, ia sesungguhnya berawal dari hanya satu tempat: Perguruan Tinggi. Di negara-negara barat, perguruan tinggi memproduksi konsep dan teori dalam rumpun ilmu sosial dan politik dengan sangat progresif.
Tanpa perlu jauh mengambil contoh, negara tetangga Singapura memiliki Lee Kuan Yew School of Public Policy (LKYSPP), sekolah kebijakan publik terbaik di Asia menurut Times Higher Education (THE) dan peringkat 12 dunia menurut QS World Ranking 2017.
Mengembangkan Global is Asian – sebuah platform digital dengan fokus pada isu kebijakan –yang percaya diri memilih tujuan untuk membentuk pemikiran global dan mengarahkan percakapan yang berarti mengenai isu-isu kebijakan Asia, terutama dikalangan pembuat kebijakan dan sesama akademisi.
Inspirasi Konferensi Minnowbrook
Konferensi Minnowbrook I adalah aufklarung (pencerahan). Dwight Waldo melakukan 'pemberontakan intelektual' tahun 1967. Tidak berlebihan dikatakan demikian sebab ia menggegerkan masyarakat Administrasi Negara.
Dalam konferensi yang diadakan oleh American Academy of Political Science tahun 1967, ia mempertanyakan ketidak beranian ilmuwan Administrasi Negara untuk membuat ide, konsep dan teori baru yang positif untuk menangani permasalahan sosial yang aktual dan terkesan menghindari isu-isu kemiskinan dan tuntutan rakyat, serta nyaman dengan konsep-konsep lama.
Sejarah kemudian mencatat, Dwight Waldo melakukan konferensi tandingan dengan menggalang ilmuwan-ilmuwan muda untuk membahas prospek Administrasi Negara kedepan pada bulan September 1968 di Minnowbrook. Selang 20 tahun kemudian, pada tahun 1988 Konferensi Minnowbrook kembali diadakan. Walaupun memiliki ruh yang sama seperti Konferensi Minnowbrook I, konferensi kedua yang diorganisir oleh George Frederickson tersebut cenderung dikritik sebab menjadi dasar bagi liberalisasi, privatisasi dan globalisasi untuk menemukan 'kebenaran ilmiah'.
Konferensi Minnowbrook terinstitusionalisasi setiap 20 tahun. Konferensi ketiga kembali diadakan tahun 2008 yang diorganisir oleh Rosemary O’leary untuk menilai secara kritis bidang Administrasi Negara. Salah satu yang menjadi fokus perhatian adalah pentingnya pendekatan interdisiplin ilmu dan bagaimana posisi Administrasi Negara dalam menyikapi pesatnya teknologi informasi.
Sebagai sebuah konferensi yang 'merumuskan' arah Administrasi Negara global (teori dan praktek), literatur-literatur yang lahir pasca 2008 menunjukkan efek dari pentingnya teknologi informasi dalam tata kelola pemerintahan, sehingga mucul beberapa fokus baru seperti Open Government yang memanfaatkan teknologi informasi untuk mencapai akuntabilitas, transparansi dan partisipasi dalam pemerintahan.
Tahun 2028 mendatang, konferensi keempat akan kembali diadakan. Benang merah yang dapat ditarik dari rangkaian Konferensi Minnowbrook adalah pelajaran tentang bagaimana ilmu pengetahuan diarahkan untuk menjawab kegelisahan kondisi sosial masyarakat dengan ikut membentuk masa depan. Pertanyaannya, bagaimana kita dapat menuju kesana?
Sebuah Tawaran untuk Masa Depan
Lambannya negara mengambil kebijakan misalnya terkait pro dan kontra transportasi daring beberapa waktu yang lalu adalah kasus nyata betapa negara dan administrasi negara sebagai perangkat keilmuannya gagap memberikan arahan pengetahuan dalam menyikapi fenomena tersebut.
Sebagai civitas akademika, secara moral kita bertanggung-jawab. Sudah saatnya Ilmu Administrasi Negara bergerak ke arah penjangkauan di masa depan (foresight).
Premis foresight adalah bahwa masa depan masih dalam proses pembuatan dan dapat secara aktif dipengaruhi atau bahkan diciptakan, dan bukan apa yang telah diputuskan, hanya ada untuk menggali dan menemukan, dan secara pasif diterima sebagai sesuatu yang diberikan.
Pandangan ke masa depan memungkinkan pemerintah dan administrasi negara menyusun rencana kontingensi untuk skenario yang tidak diinginkan namun memungkinkan dan kemungkinan, sekaligus menciptakan kebijakan yang memanfaatkan kemungkinan transformasi berjangka, bergerak dari pandangan ke depan dan wawasan terhadap strategi dan tindakan.
Penjangkauan ke masa depan dan teknologi beririsan. Aspek teknologi telah mendisrupsi hampir semua disiplin ilmu, pun perguruan tinggi sendiri. Akademi Ilmuwan Pengetahuan Indonesia (AIPI), misalnya telah mengidentifikasi tantangan dan peluang Perguruan tinggi menghadapi era disrupsi dengan faktor utamanya teknologi digital.
Menurut Rhenal Kasali, disrupsi bukan sekedar fenomena hari ini (today), melainkan fenomena "hari esok" (the future) yang dibawa oleh para pembaharu ke saat ini, hari ini (the present). Negara-negara maju, yang selama ini menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menghadapi perubahan yang melaju deras tak tertahankan dan tidak gampang diatasi dengan instrumen yang ada hari ini (Barber, Donnelly, dan Rizvi, 2013).
Mengatasi tantangan tersebut, dalam perspektif kebijakan publik -tataran teori, praktek dan contoh sukses- hadirnya think tank (wadah pemikir/lembaga riset/pusat studi) menjadi kebutuhan mendesak untuk melakukan penjangkauan di masa depan sebagai jembatan penghubung pengembangan keilmuan di perguruan tinggi dan advokasi kebijakan untuk mempengaruhi pembentukan realitas.
Sebenarnya, hadirnya think tank dalam bentuk pusat studi (dengan fokus tema/isu tertentu) bukanlah sesuatu yang baru di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Sebagai contoh, Universitas Indonesia mempunyai Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) sebuah think tank di bidang ekonomi yang didirikan tahun 1953. Nama-nama seperti Sri Mulyani Indrawati, Bambang Brodjonegoro, dan Chatib Basri 'mengawali' kariernya sebagai Menteri dalam pemerintahan dari gemblengan LPEM UI.
Dalam sejarahnya, kita pernah mempunyai think tank yang bernama CEPLAS (Centre for Political and Local Autonomy Studies) FISIP Unpas. Namun, jejak dan perkembangannya kurang diketahui oleh publik, khususnya mahasiswa.
P3M (Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) yang ada sekarang belum memberikan kontribusi kultur dalam kajian pengembangan ilmu pengetahuan dan riset. Pengalaman selama ini, P3M cenderung berfungsi sebagai wadah penampung hibah penelitian yang diturunkan oleh Kementerian dan bersifat “elitis”, sebab kurang melibatkan mahasiswa untuk mendapatkan pemahaman dan pengalaman riset yang baik.
Pada sisi tertentu, ada kekhawatiran think tank dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk melegitimasi kebijakan pemerintah misalnya, namun tanpa perlu terlalu khawatir secara berlebihan akan hal tersebut, sangat penting untuk melihat setidaknya ada dua dampak positif bila think tank dibentuk pada setiap program studi atau fakultas.
Pertama, secara internal think tank akan mendongkrak perbaikan ekosistem riset yang selama ini menjadi salah satu masalah utama di perguruan tinggi. Kedua, think tank memiliki posisi strategis bagi perguruan tinggi untuk mengintervensi kebijakan yang berdasarkan analisis dan bukti yang kuat dan pada akhirnya ilmu pengetahuan mengambil kembali perannya: membentuk masa depan. Dengan kata lain, paradigma yang dibentuk melalui pengembangan keilmuan melahirkan proyeksi realitas yang diinginkan.
Upaya ini memang tidak mudah. Perlu political will yang lebih untuk melakukannya. Jika secara institusi perguruan tinggi belum dapat membentuk think tank, kajian terhadap fokus yang spesifik baik secara sekuensial maupun temporal di lembaga kemahasiswaan atau dalam koordinasi jurusan terkait dapat menjadi pemantik awal lahirnya kultur akademik yang menopang sebuah think tank.
Akhirnya, pesan penting tulisan ini seperti pernyataan David Puttman di Massachusetss Institute of Technology (MIT) pada Juni 2012:
'It’s tragic because, by my reading Should we fail to radically change our approach to education, the same cohort we're attempting to "protect" could find that their entire future is scuttled by our timidity”. (Terjemahan bebasnya: Ini tragis karena, pembacaan saya, jika kita gagal secara radikal mengubah pendekatan kita terhadap pendidikan, kelompok (belajar/studi/mahasiswa) yang sama yang kita coba “lindungi” dapat menemukan bahwa seluruh masa depan mereka ditenggelamkan oleh rasa takut kita sendiri).
Akhirnya selamat datang di revolusi industri keempat, perguruan tinggi!
Maulana Ihsan
Mahasiswa Administrasi Negara
FISIP Unpas
Mantap sepakat
BalasHapus