Organisasi Mahasiswa, bak Event Organizer
Potret aksi mahasiswa menuntut penurunan harga beras pada era pemerintahan Presiden Soekarno. |
Opini, Anisa-- Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 'maha' berarti sangat; amat; besar. Sementara 'siswa' artinya pelajar; orang yang belajar. Sehinga 'Mahasiswa' berarti pelajar yang 'sangat besar', dengan artian tidak berhubungan dengan fisik seorang pelajar. Besar disini maksudnya menyangkut tanggung-jawab dan amanah.
Menyandang kata 'maha' tidaklah mudah. Mahasiswa memang memilki artian yang hampir serupa dengan pelajar, tapi disini mahasiswa memiliki tanggung-jawab yang besar dan tidak hanya belajar seperti pelajar.
Tercantum dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, visi suatu perguruan tinggi melalui mahasiswanya. Diharapkan melalui perguruan tinggi nantinya akan melahirkan mahasiswa yang kritis, peka, disiplin, mandiri, kreatif dan inovativ.
Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, mahasiswa dapat menimba ilmu , dan mereka dituntut untuk mengamalkan isi dari UU tersebut;
1. Pendidikan dan Pengajaran
2. Penelitian dan Pengembangan
3. Pengabdia Kepada Masyarakat
Sudahkah Lembaga Kemahasiswaan Berkontribusi?
Ketika saya melihat Lembaga Kemahasiswaan (LKM) atau organisasi di setiap kampus berbeda, dan mereka punya caranya sendiri untuk menunjukkan eksistensinya sendiri. Contohnya saat mereka membuat acara (berupa panggung musik, diskusi, seminar, dsb) di kampus, mereka lalu bersuka-ria saat acara tersebut terwujud, lalu mengundang pengisi acara (artis yang sedang naik daun atau berusaha naik daun). Ketika acara tersebut dikatakan sukses mereka sangat amat bergembira. Hal ini berbeda jauh ketika mereka turun ke jalan dan harus menyerukan suara rakyat. Kebanyakan Lkm saat ini justru hanya menyatakan sikap belasungkawa dan semacamnya melalui media sosial lembaga masing-masing dengan penambahan tagar, seperti: #SaatnyaBeraksi #AksiNyata yang tidak menyentuh elemen masyarakat, malah ada beberapa pemikiran bahwa tindakan demikian hanya untuk 'mengisi proker'.
Teruntuk khusus di FISIP Unpas ketika melihat fenomena yang terjadi di masyarakat, adakah anggota kelembagaan hadir saat peristiwa terjadi? Mampukah LKm berdiri dibarisan paling depan mahasiswa ketika melawan birokrasi kampus yang kebijakannya merugikan mahasiswa? Mampukah LKm maupun organisasi berjuang melawan penjajahan 'elit' kampus tanpa mementingkan golongan, dan teman se-ideologi?
Kita tidak perlu terlalu jauh berbicara soal turun ke jalan, karena saat adik-adik kita dipasung suaranya karena kenaikan uang kuliah yang drastis, LKm hanya berdiam diri.
Apa perbedaan LKm dengan BEM?
Jika prestasi hanya dilihat dari pembuatan acara besar dengan mendatangkan artis papan atas, apa perbedaannya dengan Event Organizer?
Alasan-alasan; membangun silaturahim, mempererat tali persaudaraan, menjalin keakraban, dan semacamnya tapi tidak berhubungan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Sehingga kenyataanya mahasiswa saat ini benar-benar menjauh dari ide Agent of Change.
Maka ketika dihadapkan dengan kebijakan yang tidak berpihak pada keadilan, wajar saja LKm tidak peka terhadap itu, karena mereka dibentuk menjadi event organizer bukan dibentuk untuk melakukan perubahan.
Disini saya hanya menyampaikan apa yang saya rasakan, tulisan ini tidak untuk menyudutkan pihak manapun, apalagi menjatuhkan. Tulisan ini murni hanya sebuah reminder bahwa uang kuliah mahasiswa yang dialokasikan kedalam dana Lembaga Kemahasiswaan hendaknya digunakan lebih bijak lagi. Karena mahasiswa yang duduk dalam lembaga kemahasiswaan adalah perwakilan mahasiswa, bukan perwakilan golongan.
Tugas seorang pelajar 'besar' adalah jika melihat kesalahan maka harus bertindak, karena jika hanya bisa bicara, burung beo pun dapat berbicara.
Anisa Intan
Mahasiswa Hubungan Internasional
FISIP Unpas
Beri Komentar