Memahami Politik yang Otentik dan Masyarakat Komunal yang Melawan Kapitalisme
F. Budi Hardiman dalam buku Agus Sudibyo, Politik Otentik, Manusia dan
Kebebasan dalam Pemikiran Hannah Arendt
Opini, Ilyas--Apakah politik itu? Bagaimana Politik dipahami? Ketika membicarakan politik, yang ada di benak kita kurang lebih adalah bagaimana pergulatan partai politik, para politisi, DPR, pemerintah dalam proses pemenangan pemilu, legislasi undang-undang, perebutan jabatan strategis pemerintah serta penguasaan sumber-sumber daya publik. Politik terlanjur dipahami dalam kategori penguasaan, pengendalian, dominasi dan pertarungan kepentingan. Politik mempunyai konotasi tindakan instrumentalistik yang identik menggunakan perangkat kekuasaan (undang-undang, regulasi, dan mekanisme birokrasi) guna mengejar kepentingan pribadi atau kelompok. Dalam konteks hubungan warga negara dan negara, politik lazim dipahami sebagai otoritas maksimal negara untuk mengatur kehidupan masyarakat, termasuk dengan memonopoli kegiatan koersif. Negara dan aparatnya merasa berhak memaksakan norma dan kewajiban apapun kepada warganya [1].
Sejarah peradaban manusia menunjukan bahwa politik penuh dengan penundukan, dominasi, teror, kekerasan dan penjajahan, sebagaimana terjadi dalam totalitarianisme dan imperialisme serta Perang Dunia I dan II.
Menurut Arendt, kondisi ini digerakan karena adanya ketidakpahaman atau prasangka tentang politik, sehingga politik justru menimbulkan bencana bagi kebebasan individu, bagi perikemanusiaan secara lebih luas. ketidakpahaman ini telah menimbulkan selubung politik yang antipolitik: pemaksaan, kekerasan, diskriminasi, dominasi, penundukan dan penyeragaman. Hal inilah yang menimbulkan dan melahirkan hirarki yang berkuasa dan yang dikuasai, lalu dikotomi antara yang kuat dan dominan di satu sisi, dengan yang lemah dan terdeterminasi di sisi lain. Arendt menyebut ini sebagai Penyimpangan Hakikat Politik.
Ada dua hal yang dapat disimpulkan dari latar belakang terjadinya Penyimpangan Hakikat Politik, penerapan kategori-kategori Ruang Privat ke dalam Ruang Publik dan bertahannya common sense sebagai perantara identifikasi dari politik yang berlandaskan tradisi.’
Ketidakpahaman Ruang dan Bertahannya Common Sense
Dalam buku Agus Sudibyo, Politik Otentik, Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hannah Arendt, disebutkan, untuk menghilangkan tindak penguasan dan penindasan dalam politik, menurut Arendt politik tidak boleh dicampuri urusan Ruang Privat (oikos). Lalu apa itu Ruang Privat dan Ruang Publik?Konsep Ruang Publik dan Ruang Privat Arendt, merujuk pada kosmologi Yunani, oikos dan polis.
Oikos, merupakan konsep ruang privat, di mana individu di dalamnya bertindak atas kepentingan pribadi atau keluarga. Di dalam ruang privat manusia hanya berfokus memenuhi urusan privat: produksi konsumsi. Jika prinsip ini diterapkan pada Ruang Publik, yang terjadi adalah manusia menjadi kehilangan sensibiltas terhadap kelas atau kelompok, serta tidak memiliki referensi tentang Ruang Publik.
Berbeda dengan oikos, polis atau ruang publik, tindakan dan ucapan dimaksudkan untuk kepentingan bersama. Tujuan ruang publik adalah mengaktualisasikan kebebasan yang tak dimungkinkan oleh oikos. Di dalam polis, semua orang setara. Mereka dapat bebas menyatakan pendapat aktif, kreatif, partisipatoris dan tanpa tekanan. Di bagian selanjutnya kita akan bahas, bagaimana penerapan kategori-kategori ini dalam bentuk masyarkat komunal.
Faktor lainnya adalah bagaimana common sense dapat menjadi sebuah pemicu Penyimpangan Hakikat Politik.
Common Sense (Logika Umum) adalah nilai, norma, simbol atau pemahaman yang berlaku pada suatu masyarakat sebagai sistem keniscayaan dalam kehidupan bersama. Hannah Arendt mendudukan common sense ini sebagai suatu perantara identifikasi eksistensi tradisi dalam Politik. Kategori dan standar masa lalu, seringkali tidak relevan dengan masalah saat ini. Eksistensi (hadir, adanya) tradisi dalam politik terletak pada indentifikasi (pengenalan, rekognisi) terhadap masa lalu. Identifikasi yang terjadi melalui perantaraan common sense terlihat dari daya tahan kategori-kategori tradisional dalam kehidupan publik yang tak lekang oleh berbagai perubahan.
Karena pengaruh common sense ini, setiap orang yang berhadapan dengan peristiwa partikular (bertentangan, pertentangan, yang bertentangan) pertama-pertama tidak melakukan refleksi atau penilaian otonom, berdasarkan hati atau pengalaman pribadi, tetapi menakar dan memahami yang partikular berdasarkan tata nilai atau modus pemahaman yang telah baku, universal dan telah bersama-sama diterapakan bersama manusia yang lain.
Common sense, tidak mengondisikan indvidu-indvidu untuk melakukan penalaran secara kritis. ia hanya menyediakan metode praktis untuk mengingat masa lalu, tanpa inisiatif untuk mempersoalkannya.
Pemikiran politik tradisional merujuk kepada tindakan menggunakan kategori-kategori privat pada ruang publik, hal ini melahirkan praktek memerintah orang lain dan diperintah orang lain. Kondisi tersebut menimbulkan garis demarkasi, antara who know (mereka yang tahu) dan who do (mereka yang tidak tahu namun harus melaksanakan perintah). Kondisi ini, melahirkan seorang individu yang mengalami “Kesepian Terorganisir”. Ia, individu di dalam sistem tersebut tidak mampu mengambil keputusan yang berada di luar konteks common sense. Akibatnya individu tidak mampu berpikir dan hanya merepetisi sistem.
Dalam bukunya Agus Sudibyo, Politik Otentik, Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hannah Arendt, dijelaskan bagaimana Kesepian Terorganisir ini terjadi pada diri Adolf Eichmann.
Eichmaann, salah satu tokoh yang melakukan rekayasa pembunuhan jutaan orang Yahudi, bukanlah monster atau setan, melainkan “cuma” seorang yang menjalankan tugas kesehariannya untuk meraih karier dalam hierarki Nazi. Tindakan membunuh baginya sudah bukan persoalan moralitas lagi, tapi hanya sebuah rutinitas, dalam menjalankan tugas untuk karir kemiliterannya. Menurut Arendt, Eichmaan tidaklah jahat atau bengis, yang terjadi padanya adalah kondisi absennya pikiran, dan ini bisa terjadi pada siapapun. Orang seperti Eichmann, menurut Arendt, takut untuk berpendirian sendiri, merasa hampa tanpa perintah atau arahan, mengalami dirinya tersingkir dari organisasi. Maka tak ada soslusi psikis lain baginya selain menyerahkan diri pada cara berpikir kerumunan dan tunduk pada perintah rezim.
Maka jika berbicara bagaimana individu merespon situasi tersebut, pertama-tama ia harus berani memisahkan dirinya dari common sense. Dengan begitu ia mampu mengambil sikap terhadap apa yang sudah disediakan oleh sistem.
Gerakan Politik Yang Otentik dalam Masyarakat Komunal Melawan Kapitalisme
“Politik Otentik bukan berasal dari panggung politik itu sendiri,” tulis F. Budi Hardiman dalam buku Agus Sudibyo, Politik Otentik, Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hannah Arendt. Politik menurut Arendt haruslah mampu membebaskan masyarakat dan indvidu dari segala belenggu penguasaan, baik yang bersifat politik, ekonomi, religius maupun kultural. Politik harus mampu mendorong warga untuk mengespresikan dirinya secara aktif, kreatif tanpa adanya tekanan dalam ruang publik yang pluralistik. Politik harus mendorong individu keluar dari domain indvidualitas, keluarga maupun kelompok, untuk kemudian berpartisipasi dalam perdebatan tentang persoalan di luar dirinya, berdialog dengan yang lain, berempati pada situasi orang lain.
Maka ‘Yang Politik’ menurut Arendt adalah keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan yang mengupayakan pembebasan dari belenggu penguasaan, baik yang bersifat politik, ekonomi, religius maupun kultural. Tindakan-tindakan solidaritas yang bersumber dari empati nurani terhadap situasi orang lain adalah politik otentik. Upaya-upaya menciptakan Ruang Publik yang bebas dari pemaksaan, kekerasan, diskriminasi, dominasi, penundukan dan penyeragaman, adalah sebuah wujud dari Politik Yang Otentik.
Apakah melawan sesuatu yang besar dan telah meresap ke lubuk hati yang paling dalam, seperti kapitalisme, itu mungkin? Apa bisa sistem sebesar kapitalisme dilawan dengan tindakan-tindakan kecil? Bukankah sebuah totalitas sistem harus dilawan dengan totalitas juga? [2]
Komunal atau Komune adalah sebuah sistem masyarakat dengan hidup harmoni yang dibentuk oleh relasi produksi yang membebaskan, egaliter, dan berbasis solidaritas tanpa mengindahkan ada/tidaknya ikatan darah, perbedaan ras, gender, bahkan orientasi seksual.
Namun, seperti menurut Marx kapital bukan benda, tapi ia adalah relasi sosial. Bentuk relasi yang dibangun oleh manusia terhadap manusia lain dan terhadap alam, dengan satu tujuan, yaitu akumulasi melalui produksi komoditi. Maka jika kapital adalah relasi sosial, kekuatannya adalah kekuatan sosial (de Angelis, 2007). Kekuatan sosial tidak semata-mata dibangun dengan pengorganisasian, tetapi lebih dari itu, dibangun oleh aspirasi (kognisi dan afeksi), keyakinan, nilai-nilai, tradisi, ritual, serta hasrat. Aspek terakhir ini menjadi arena perjuangan yang paling berat melawan kapital. Selain mengubah pengorganisasian sosial secara mendasar, medan perjuangan yang harus dihadapi adalah meruntuhkan dogma, keyakinan dan tradisi yang dibentuk oleh hukum besi etika kapital; individualisme, kompetisi, dan akumulasi. Kedua medan perjuangan ini, relasi sosial dan nilai-nilai, bukan pilihan berdasarkan peringkat prioritas, melainkan perjuangan yang hanya bisa dijalani secara bersama dan bersamaan. Dijalani bersama karena bersendiri kita lemah, dan dijalani bersamaan karena relasi sosial dibentuk oleh nilai, dan nilai-nilai dibentuk oleh relasi sosial. [3]
Komune perkotaan di Rusia pasca Revolusi Oktober 1917 atau Komune Paris 1871, misalnya, dilandaskan pada imajinasi dan praktik nilai komunal atas dasar relasi sosial produksi yang setara (Willimott, 2017). Meskipun di sisi lain, primordialisme—dalam bentuk gerakan masyarakat adat—juga terbukti mampu membawa gerakan Zapatista di Chiapas, Mexico, membentuk komune yang otonom (Subcomandante Marcos, 2005). Oleh sebab itu, para pemikir gerakan anti-kapitalisme, termasuk Marx, selalu memandang pembentukan komune sebagai proses historis yang sangat partikular, tergantung dari kondisi-kondisi yang memungkinkannya lahir. [4]
Membangun sebuah masyarakat komunal adalah salah satu cara bagaimana melawan sistem Kapitalisme; pemaksaan, kekerasan, diskriminasi, dominasi, penundukan dan penyeragaman berlangsung atas nama modal. Sebab membangun komunal adalah salah satu upaya untuk menumbuhkan relasi sosial alternatif yang ada dari sistem kapitalisme. Sebuah langkah perlawanan lahir dari negasi atas dunia hari ini dan bertindak untuk membuat bentuk dunia yang berbeda, berapa pun skalanya. Bahkan, yang paling penting adalah dimulai dari teriakan penolakan diri sendiri terhadap cara hidup hari ini
Membentuk komune sekaligus merupakan upaya menorehkan sejarah partikular, yaitu proses mencari dan membentuk working existence dari komune itu sendiri di ruang-waktu kita berada. Komune bukan ruang klangenan atau arus hipster kekinian, tetapi butuh solidaritas, unit ekonomi politik, dan sosial-ekologis. Komune baru bisa bermakna sebagai penanding ketika mampu membangun relasi sosial egaliter yang membebaskan. Menautkan jejaring kerja produksi desa dan kota secara kolektif. Membentuk tata produksi dan konsumsi selaras alam. Serta membangun nilai-nilai komunal sebagai laku-tanding terhadap kejahatan kapitalisme. [5]
CATATAN KAKI
[1]
Agus Sudibyo,
Politik Otentik, Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hannah Arendt
(Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2012) hlmn 1
[2] ekspresionline.com/2017/05/02/komune-sebagai-budaya-tanding-memungkinkan-ketidakmungkinan/ hlmn 1
[3] Ibid
[4] ekspresionline.com, op.cit. hlm 2
[5] ekspresionline.com, op.cit. hlm 8
DAFTAR PUSTAKA
Sudibyo, Agus. 2012.
Politik Otentik, Manusia dan Kebebasan dalam Pemikiran Hannah Arendt. Marjin Kiri: Tangerang Selatan.
ekspresionline.com/2017/05/02/komune-sebagai-budaya-tanding-memungkinkan-ketidakmungkinan/
Subcomandante Marcos. 2005.
Atas dan Bawah:Topeng Keheningan, Komunike-komunike
Zapatista Melawan
Neoliberalisme
. Resist Book: Yogyakarta.
Willimott, Andy.2017.
Living the Revolution, Urban Communes & Soviet Socialism, 1917–1932
. Oxford University Press:Oxford
De Angelis, Massimo. 2007. The Beginning of History: Value Struggles and Global Capital,
Pluto Press:London
Ilyas Gautama
Mahasiswa Administrasi Negara
FISIP Unpas
Ilyas Gautama
Mahasiswa Administrasi Negara
FISIP Unpas
Beri Komentar