Pemira, Sikap dan Mental Mahasiswa Saat Ini
Suasana Pemilu di Indonesia tahun 1955. |
Editorial, BPPM-- Pemilihan Umum Raya (Pemira) FISIP Unpas sudah memasuki tahap kampanye legislatif yang dimulai sejak Kamis hingga Jumat hari ini. Berbagai suguhan menarik disajikan oleh partai politik (parpol) yang telah lolos seleksi, mulai dari orasi, musikalisasi puisi, penampilan musik, tari tradisional hingga penampilan cheerleaders yang kesemuanya bertujuan untuk menarik massa sebanyak-banyaknya.
Semakin menarik suguhan yang disajikan dalam kampanye, maka semakin banyak pula massa yang saat itu menyisihkan waktunya untuk melihat. Entah nantinya massa itu akan ikut memilih partai yang mana, hal terpenting adalah mahasiswa (sebagai massa) harus ikut andil dalam Pemira dengan cara menggunakan hak pilihnya. Karena suara mahasiswa FISIP Unpas akan menentukan bagaimana kemajuan FISIP nantinya.
Pertanyaan mendasar adalah, kenapa mahasiswa saat ini cenderung bersikap golput bahkan menjadi apatis-acuh tak acuh- dalam pesta demokrasi FISIP Unpas? Bukankah mahasiswa disini sebagai massa yang mendukung keberlangsungan Pemira? Bagaimana jika hanya ada kurang dari 50% dari jumlah mahasiswa aktif FISIP dalam suara yang masuk saat penghitungan nanti? apakah bisa dianggap sah?
Kita harus sadar, pemira diadakan sebagai ajang pembelajaran dalam dunia politik di Kampus FISIP Unpas, bukan ajang untuk menunjukkan siapa yang memiliki massa terbanyak, bukan sekedar persaingan antar jurusan, antar partai, antar mahasiswa, bukan juga sekedar ajang perebutan kekuasaan.
Keramaian di media sosial karena beberapa komentar dari mahasiswa (entah partai atau bukan) juga seharusnya tidak jadi permasalahan yang nantinya menimbulkan konflik antar golongan, hanya karena berbeda warna dan kelompok. Setiap orang berhak dan boleh menyuarakan pendapatnya, yang tertuang dalam pasal 28 UUD 1945. Bahkan tidak boleh ada intervensi dari pihak manapun karena intervensi berarti pelarangan kebebasan berbicara. Baiknya hal-hal seperti ini diselesaikan dengan cara kekeluargaan, agar tidak menjadi konflik berkepanjangan yang diturunkan pada generasi (kader/mahasiswa non partai) selanjutnya. Bukankah lebih baik menjaga perdamaian dan persatuan mahasiswa untuk membangun FISIP yang lebih baik? Bagaimana membangun FISIP yang lebih baik jika internalnya saja bermusuhan?
Perihal suara mahasiswa yang kurang dari 50% dari jumlah mahasiswa FISIP Unpas, semoga tidak terjadi. Karena hal tersebut menunjukkan berapa jumlah mahasiswa yang tidak ikut memilih, mungkin berhalangan atau memang tidak perduli sama sekali. Situasi ini akan menunjukkan seberapa tinggi mahasiswa enggan terjun langsung dalam dunia politik. Padahal politik tidak bisa dipisahkan dikehidupan sehari-hari, dan menjadi ilmu yang dipelajari di kelas. Bagaimana bisa mahasiswa FISIP enggan berpolitik? Apakah FISIP Unpas akan menjadi cermin keadaan Indonesia dibagian ini? Semoga tidak terjadi.
Mahasiswa boleh, dan harus ikut berpikir kritis untuk kemajuan FISIP. Mahasiswa boleh mengkritisi keadaan DPM, BEM, dan HMJ, bahkan BPPM sendiri, ketika kinerja kami dirasa kurang dan tidak sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Visi dan misi yang menyertai setiap parpol pun bertujuan untuk membangun FISIP menjadi lebih baik walau dengan cara yang berbeda-beda. Hal ini harusnya menjadi catatan penting mahasiswa untuk bisa bertindak sebagai pengawas lembaga kemahasiswaan.
Walaupun golput adalah sebuah pilihan, tapi ikut memilih adalah pilihan yang paling bijak sebagai titik awal berdirinya demokrasi dimana kedaulatan sebuah negara berada sepenuhnya pada tangan rakyat.
BPPM Pasoendan
Beri Komentar