Header Ads

Pemira 2017, Hegemoni Pasfor-Pinus di FISIP Unpas

Detik-detik Menuju Manifesto Sistem Oligarki
Opini, Rahadian--Telah kita ketahui bahwa Partai Solidarity For Revolusioner (Pasfor) telah mendapatkan kemenangan telak di Pemira Legislatif FISIP Unpas pada tanggal 8 Mei 2017 kemarin. Jumlah perolehan suara yang mereka dapat mencapai 1380 suara dari total suara sah yang berjumlah 2021 suara. Meskipun jumlah suara ketiga partai lain (Jong Pasundan, Kompas, dan Pinus) digabungkan, maka hasilnya tetap sama, Pasfor tetap keluar sebagai ‘pemenang’ dan berhak atas 21 kursi dari total 30 kursi yang ada di Legislatif.
Kemudian ditambah dengan fakta bahwa Pemira Eksekutif tingkat Fakultas untuk posisi Capres dan Cawapres (BEM) hanya diikuti oleh calon tunggal--pasangan calon yang diusung Pasfor dan didukung oleh sekutunya Partai Pinus--yang berarti prosesnya akan berlangsung secara aklamasi, dan sudah jelas akan dimenangkan oleh calon yang diajukan Pasfor-Pinus atau Koalisi Sinergi FISIP Unpas. Tidak hanya sampai di situ, hal ini bahkan terjadi di Eksekutif tingkat Jurusan terkecuali untuk Jurusan Hubungan Internasional di mana Partai Jong Pasundan ikut mengajukan calonnya untuk posisi Gubernur Himpunan Mahasiswa (HMJ) yang berarti kontestasi politik yang substansial hanya terjadi di distrik ini.
Sekarang kita lihat, kemenangan dari koalisi antara Pasfor dan Pinus bukanlah hanya sebatas kemenangan yang biasa, secara de facto mereka telah menjadi sebuah major powers di dalam sistem politik kampus.
Namun persoalannya bukan tentang “kenapa mereka harus menang?” (ini adalah logika yang tidak beradab) melainkan fakta bahwa koalisi Pasfor-Pinus mempunyai suara yang dominan--sekitar 77 persen suara dari keseluruhan-- di dalam Parlemen (DPM) dan juga telah berhasil mengambil alih kepemimpinan politik di tingkat Fakultas, maka dengan demikian, baik langsung atau tidak langsung, sudi ataupun tak sudi, masyarakat FISIP Unpas telah memberi mereka kewenangan untuk menentukan ‘arah aspirasi mahasiswa’ secara de jure.

Hari ini kenyataan telah menunjukan adanya sebuah kecenderungan ke arah hegemoni sistem politik kampus secara total. Namun ini bukanlah sesuatu yang buruk apabila kita mengikuti kerangka berpikir liberalism, karena hal-hal seperti hegemoni, dominasi, dan monopoli merupakan sebuah keharusan di dalam tradisi ini. Sederhananya koalisi Pasfor-Pinus mengemban tugas sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk melakukan maintenance of system agar visi dan misi yang telah mereka tetapkan dapat tercapai dengan baik, dan oleh karena keadaan ini dapat memberikan peluang yang besar kepada mereka untuk menghindari kegagalan sistem yang disebabkan oleh konflik internal-horizontal, serta sebagai pihak yang menghegemoni, mereka memiliki bargaining position yang tinggi terhadap oposisi (pihak eksternal) yang mencoba memengaruhi sistem.

Tetapi apabila kita mau berpikir selangkah lebih jauh, bukankah keadaan seperti ini lebih mirip dengan corak sistem pemerintahan oligarki daripada demokrasi itu sendiri? Tetapi mau bagaimanapun, keadaan hegemoni ini adalah sah secara normatif, namun di sisi yang lain sistem checks and balances menjadi semakin samar pengertiannya.

* * *
Ada beberapa kawan-kawan mahasiswa yang beranggapan bahwa akar persoalan dari situasi ini adalah karena absennya Kompas dan Jong Pasundan di dalam Pemira Eksekutif tingkat Fakultas dan juga karena rendahnya tingkat partisipasi mereka di dalam Pemira Eksekutif tingkat Jurusan. Asumsi ini mungkin terlihat cukup meyakinkan tetapi, sekali lagi, kita harus berpikir selangkah lebih jauh dari paradigma yang berkembang di dalam benak umum.

Di dalam kasus ini kita harus melihat bahwa, sebuah fenomena tidak mungkin terjadi secara kebetulan dan berdiri sendiri, karena selalu ada prakondisi-prakondisi yang mengawalinya; kondisi yang menjadi landasan bagi suatu fenomena.

Prakondisi yang menjadi syarat paling utama di sini adalah soal basis massa, dan blok historis primordialisme di FISIP Unpas. Basis massa di sini dapat kita analisis dari jumlah ketersediaan surat suara pada Pemira Eksekutif bagi masing-masing Jurusan. Di urutan yang pertama, KPUM menyediakan 500 surat suara untuk Jurusan Hubungan Internasional, 200 surat suara untuk Jurusan Administrasi Bisnis, 600 surat suara untuk Jurusan Administrasi Negara, 200 surat suara untuk Jurusan Kesejahteraan Sosial, dan 1.000 surat suara untuk Jurusan Ilmu Komunikasi. Angka-angka di atas secara tidak langsung telah memberikan gambaran peta kekuatan politik kepada kita semua, bahwa pada dasarnya Jurusan Ilmu Komunikasi adalah aktor yang paling dominan di FISIP Unpas dengan jumlah massa terbanyak. Kenyataan inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa KPUM menyediakan jumlah surat suara yang berbeda-beda kepada tiap-tiap Jurusan.

Namun, memang perlu kita akui bahwa basis massa bukanlah satu-satunya penentu kemenangan dalam Pemira, karena hakikatnya setiap individu mempunyai pilihan politik yang berbeda-beda. Tetapi kita tidak boleh menjadi seorang yang naif, karena ‘pilihan politik’ yang di ambil oleh mahasiswa sangat dipengaruhi oleh peranan blok historis primordialisme yang ada di FISIP Unpas--pemilih rasional dan emosional. 

Hal ini tersimpul dengan jelas di dalam kehidupan politik kita di periode sekitar Pemira 2017. Sebuah kenyataan bahwa partai politik mempromosikan dan menyatakan dirinya secara implisit sebagai wakil dari kelompok sosial tertentu ataupun mengidentifikasikan dan mengklaim bahwa dirinya berasal dari Jurusan tertentu. Seperti proses-proses branding yang muncul di masa OPMB Jurusan Ilmu Komunikasi angkatan 2016, ketika slogan atau motto Pasfor: Hari ini, esok, dan seterusnya adalah perjuangan, terus diteriakan untuk membentuk suatu identitas bahwa Pasfor adalah Ilmu Komunikasi. Dan hal ini pun berlaku bagi Jong Pasundan, meskipun tidak terlalu tercium pergerakannya, namun branding yang dilakukan oleh Jong Pasundan terlihat jelas di Pemira Eksekutif tingkat Jurusan untuk Hubungan Internasional. Bagaimanapun juga Jurusan Hubungan Internasional adalah basis massa sekaligus blok historis primordialisme bagi Jong Pasundan.

Apakah proses branding atau penggiringan opini massa adalah sebuah kejahatan politik? Tentu saja tidak, karena di dalam real politics, ini merupakan salah satu fungsi dari eksistensi partai politik itu sendiri. Apabila ada kawan-kawan mahasiswa yang menolak keadaan ini, ada kemungkinan dia hanya mengerti politik secara teoritis tetapi tidak dapat memahami persoalan real politics yang dewasa, yang penuh dengan intrik, agitasi, propaganda, dan sistem komunikasi yang koersif.

* * *
Berkaca dari Pemira tahun 2016 sekaligus melihat konstelasi Pemira tahun ini, ternyata basis massa dapat dijadikan indikator dalam mengukur kemungkinan kemenangan partai politik di Pemira--meski bukan satu-satunya.

Persis seperti tahun sebelumnya, hasil siapa yang keluar sebagai pemenang di Pemira tahun 2017 nyatanya masih di tentukan oleh keberpihakan politik dari mahasiswa Jurusan Administrasi Negara sebagai moderate class tanpa partai. Di tahun 2016 mereka berpihak kepada Jong Pasundan sehingga Balance of powers dapat terwujud secara riil, namun kenyataan kini berbalik, mereka memberikan keberpihakannya kepada Pasfor, kepada Hegemonic powers.

Ketiadaan alternatif selain partai politik, telah membuat kehidupan politik di FISIP Unpas mengalami stagnasi yang luar biasa. Keadaan sistem partai-sentris yang berlaku di FISIP Unpas ini, mengharuskan seorang individu yang ingin berpartisipasi langsung di dalam sistem politik kampus (dalam hal ini Pemira) mau tidak mau harus menggabungkan diri dengan partai tertentu. Konsekuensi dari berlakunya blok historis primordialisme dan sistem partai-sentris yang seperti ini telah menuntun masyarakat FISIP Unpas ke arah sistem Oligarki daripada Demokrasi--sistem partisipasi yang pasif--Dominasi partai politk di dalam sistem dan tidak adanya alternatif lain membuat persoalan-persoalan seperti stagnasi sistem, apatisme, dan stratifikasi sosial-horizontal kian tumbuh subur.

Keadaan hegemoni secara total dan segala konsekuensinya sesungguhnya dapat kita hindari dengan menyediakan sebuah alternatif lain selain partai politik, yaitu dengan cara memberikan kesempatan kepada mahasiswa-mahasiswa independen untuk mencalonkan diri di Pemira tahun selanjutnya--sebagai peran penyeimbang--tanpa harus mengeekor kepada salah satu partai politik tertentu. Pilihannya hanya ada dua, Oligarki atau Demokrasi?

Tulisan ini saya buat untuk melakukan sebuah analisa objektif tanpa ada maksud untuk menyudutkan pihak tertentu. Salam Pembaharuan!

"Nobody can give you freedom. Nobody can give you equality or justice or anything. If you're a man, you take it" - Malcolm X

Rahadian
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional 2014
FISIP Unpas


Tidak ada komentar