Mereka yang Terlupakan (Tamat)
Oleh: Ilyas Gautama
Tak lama setelah Wijay menyampaikan pidato dalam kampanye itu, kerumunan orang itu Akhirnya bubar dan menuju rumahnya masing-masing. Tak ada teriakan-terikan lagi, mereka lelah sedari tadi telah berpura-pura, bersandiwara. Hal ini merupakan hal yang ditunggu oleh Amin dan istrinya. Keduanya segera menuju gubuk mereka untuk beristirahat, menyiapkan energi untuk besok bekerja lagi, seperti semula. Bekerja dari pagi buta hingga petang tiba.
Pada hari pencoblosan keduanya menuju TPS. Amin memandangi foto kedua calon itu, ia kemudian mencoblos salah satunya secara acak. Berbeda dengan Amin, Sanikem mencoblos nomor 1. Bagi Sanikem, setidaknya ia sudah bertemu langsung dengan salah satu sosoknya. Sosok Wijay yang sudah ia lihat ketika hari kampanye itu.
*
Dua tahun kemudian, Amin dan Sanikem sedang duduk di sebuah gubuk reot. Dengan ukurannya tak seberapa gubuk itu terlihat mencoba bertahan dari terpaan angin dan hujan yang mengguyur. Mereka berdua duduk mengahadap keluar, seperti sedang memastikan setiap orang yang lewat akan mampir ke gubuk itu. Gubuk itu terletak di pinggir jalan, dengan posisi menghadap ke jalan. Kemudian seseorang datang dan memparkir motornya tak jauh dari gubuk itu. “Bu, rokok sebungkus dan kopinya satu ya bu” teriaknya kepada Sanikem. Hujan lebat disertai petir menyurutkan niatnya untuk terus melanjutkan perjalanan. Ia kedinginan, berharap secangkir kopi dan rokok dapat menghangatkan tubuhnya.
Tak berapa lama pesanan sudah jadi. Sambil meletakan secangkir kopi dan sebungkus rokok, Amin duduk di dekatnya. Kemudian keduanya mengobrol sambil diiringi suara petir dan lebatnya hujan, berharap obrolan mereka dapat membunuh waktu. “Sudah berapa lama pa berdagang disini?” tanya pria itu setelah berpindah dari satu topik ke topik lainnya. “Sejak satu tahun yang lalu, sejak dibangunnya vila-vila di desa saya” jawab Amin. Sejak Wijay menjabat sebagai wali kota di Kota Ruam, tempat itu kini menjadi kota metropolitan. Banyak sekali gedung-gedung mewah, perumahan-perumahan mewah yang kesemuanya dibangun selama kurun dua tahun masa jabatannya. Sawah milik Amin dan Sanikem tak luput pembangunan yang dilakukan oleh Wijay. Sawah mereka dijadikan salah satu vila, yang disediakan untuk orang-orang kota. Kini, hidup mereka bergantung pada warung kopi yang mereka dirikan sejak satu tahun lalu. Uang ganti rugi yang mereka dapat, hanya mampu mereka gunakan untuk membikin usaha warung kecil-kecilan.
Sambil mengapit sebatang rokok di jemarinya, pria itu kembali bertanya “Sudah denger pak kalo warung-warung di pinggir jalan sini mau digusur?”. Seketika angin bertiup kencang, menyebabkan hujan semakin lebat, petir menyambar beberapa pepohonan tak jauh dari gubuk itu. Amin dan Sanikem hanya diam mematung, menatap kosong setiap tetesan air hujan yang menghujam ke tanah. Seakan kalimat yang terlontar dari pria itu memiliki kekuatan magis, membuat kedua suami istri itu seakan menjadi patung. Lalu seakan dibangunkan dari tidur panjangnya, Amin tergeragap ketika pria itu menepuk bahunya sambil bertanya, “Pak..pak..bagaimana?”. “Yah...mau bagaimana lagi mas, orang kecil seperti kita ini cuma diingat ketika kampanye, lalu dilupakan setelahnya” jawab Amin.
Tamat
Beri Komentar